Matahari kembali terbit dari upuk timur. Sinarnya menerangi bumi yang berevolusi menggelilingi orbit sang surya. Siapapun akan terusik karena cahaya silau itu menusuk setiap irisan mata manusia di permukaan gravitasi.
Lufi perlahan membuka kelopak matanya. Ia terdiam untuk sekedar mengumpulkan nyawa. Lufi merasakan jemari panjang membelai halus pipinya. Lufi mendongak melihat siapa pelaku itu.
"Good morning." Sapa Eric serak dan dalam, khas orang bangun tidur. Lelaki itu menatap Lufi lekat dihiasi senyum manis di bibirnya.
Lufi tersenyum balik. "Good morning, Brother." Balasnya juga serak.
"Sejak kapan kau terbangun, Kak?" Tanya Lufi, matanya tidak lepas memandang iris tajam milik Eric yang terus menyapu jemari di pipinya.
"Satu jam yang lalu," Eric membawa tubuhnya untuk duduk. "Maybe." Jenakanya, terkekeh pelan.
Lufi mendengus, memajukan bibirnya seperti bebek. Ia bangkit lantas melangkah ke kamar mandi. Lufi memiliki kebiasaan baik yang tertanam sejak kecil. Jika bangun tidur, ia akan langsung cuci muka dan gosok gigi, atau bisa saja langsung mandi.
Eric melihat pergerakan Lufi dengan perasaan berseri. Semalaman penuh, Eric memandangi wajah damai Lufi yang terlelap. Ah ya, Eric mengidap insomnia akut. Tak jarang dirinya terjaga sepanjang malam.
"What a good fate is this." Gumam Eric tersenyum lebar. Sungguh, takdir Tuhan sangat mengejutkan.
Eric melangkah berbelok ke arah barat, tepatnya letak kamar mandi berada. Eric mengetuk pintu terlebih dahulu. Di dalam sana terdengar jelas gemericik air shower.
"Lufi, apa kau sedang mandi?" Teriak Eric bertanya.
Lufi menekan tombol off pada shower. "Tidak, belum. Tapi, aku ak— "
BRAK!
Belum sempat Lufi melanjutkan ucapannya, Eric sudah lebih dulu mendobrak pintu kamar mandi. Eric tidak selancang itu menerobos tanpa ijin, tapi setelah mendengar kata 'tidak' dari Lufi. Ia dapat menyimpulkan asumsinya benar.
Manik Eric dan Lufi bertemu. Eric mematung dengan bibir terbuka lebar, matanya pun melotot sempurna.
Lufi segera menutup gunung kembar dan aset mulusnya dibawah. Wajahnya merah padam bak kepiting rebus.
"ERIC AKU TELANJANG! KENAPA KAU MASUK SEMBARANGAN, SIALAN!!!"
|▪︎|▪︎|▪︎|
Lufi menyipitkan mata setiap manik Eric berusaha mencuri-curi pandang kepadanya. Lufi masih merajuk atas apa yang terjadi beberapa puluh menit ke belakang.
Sejujurnya, Lufi merasa malu dan marah. Malu karena Eric telah melihat tubuh polosnya, juga marah karena Eric tak menunjukkan raut menyesal. Lelaki itu malah semakin sering menggodanya. Argh, menyebalkan!
"Lufi, kau ingin kentang goreng atau roti bakar?" Tanya Nonna memilih menu sarapan untuk cucu bontotnya itu.
Lufi mengalihkan pandangan. "Aku ingin bubur ayam." Jawabnya ketus. Tangan Lufi pun sudah berada di dada dengan dagu terangkat tinggi.
Nonna Emeline dan Eric saling tukar pandang. Mereka menghembuskan nafas pelan. Kenapa dengan ibu hamil itu?
Melihat keterdiaman Nonna dan Eric, Lufi jadi merasa bersalah. Tidak seharusnya Lufi bersikap buruk seperti tadi. Ia menurunkan tangan perlahan, meremas ujung dress selututnya. Lufi merunduk dalam dengan bibir tertekuk. Tak lama terdengar isakan mengaung di ruang makan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUFICIAN
Romance• SEBAGIAN PART DI PRIVAT! TERBUKA BILA MEM-FOLLLOW. • FOLLOW DULU BARU BACA. !! WARNING 21+ !! • MENGANDUNG BAHASA KASAR, KEKERASAN DAN SEKSUALITAS. • HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. _________________________________________ Lucian Dhe Costra, kembal...