"Tenanglah."
Lufi menggeleng tak bisa, derai air mata tak henti-hentinya turun. Egan memeluk Lufi dari samping. Tak ada kata yang dapat menggambarkan betapa kacaunya gadis itu. Bercak darah memenuhi wajah serta sekitar leher. Letupan timah panas dari seseorang disampingnya tadi, membuat Lufi ikut terkena semburan cairan merah kental itu. Bahkan, dress wedding miliknya, ia robek hingga hanya menyisakan bodysuit hitam tanpa lengan.
"Lufi," Egan meremas kecil bahu anaknya, sang empu melirik sendu. "Jangan seperti ini. Lihat, Lazuar ikut bersedih." Lanjut Egan.
Lufi merunduk, melihat Lazuar di dalam pangkuannya. Bayi tampan itu membuka mata sayup dengan bibir menekuk. Terlihat sekali, Lazuar bersedih. Namun bayi tampan itu, layaknya orang dewasa yang mencoba untuk tegar.
"D-Dad." Lirih Lufi memanggil.
Egan menarik Lufi ke dalam pelukan. Lufi semakin meraung di dada ayahnya tanpa bisa mengontrol keadaan. Sungguh, kejadian penembakan itu sangat diluar dugaan.
"Sttt, mereka akan baik-baik saja." Egan menenangkan Lufi. Ia terus mengusap surai rambut anaknya lembut.
"D-Dad, L-Lu— "
"Sttt, Lucian akan baik-baik saja. Percaya padaku." Potong Egan cepat-cepat.
Bohong jika Egan tidak kalut. Ia hanya menutupi kesedihannya, agar Lufi tidak bertambah panik. Kondisi Lufi paling utama. Egan tidak mau, tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk.
"Kemari, biar Lazuar aku titipkan pada Maria." Egan mengurai dekapan. Ia membawa bayi tampan itu pelan-pelan. Lazuar terlihat menutup mata, namun bibir mungil itu masih setia tertekuk sedih.
Egan bangun, melangkah menjauh dari sofa ruang tamu. Sekarang ini, mereka sudah ada di villa. Setelah penembakan itu, semua orang digiring kesana. Tidak ada acara lanjutan, seperti pernikahan biasanya.
Saat itu, Eric dan Roger langsung bergerak. Keduanya ditemani beberapa bodyguard yang tersisa, mencari si pelaku. Atas tebing, adalah tempat dicurigai perkara. Sebab disana, dereta divisi keamanan sekaligus penembak jitu TMA gugur. Mereka semua mati dengan cara menggenaskan. Bukan tubuh yang tertembak, melainkan kepala yang tertebas. Badan dan kepala terpisah dari asalnya. Tiga puluh kepala manusia dibanjiri darah kental tergeletak di sudut-sudut tebing.
Sedang, Lufi dan Egan berserta sisanya segera menuju villa, membawa tiga korban untuk dilakukan penanganan pertama.
Tiga korban itu; Emeline, Aline dan Lucian. Masing-masing tertembak di titik berbeda.
Satu hal yang Egan tangkap. Lucian menyelamatkan Lufi dari tancapan peluru itu. Setelah memutar otak, Egan paham. Si pelaku, sebenarnya menargetkan para perempuan dari clan Miller.
Langkah Egan memelan di depan sebuah kamar berpintu cokelat tua. Dari luar pun, Egan dapat mendengar tangisan pilu bersumber dari dalam. Maria dan anaknya menangis. Mereka memang sudah Egan anggap keluarga. Begitu juga dengan Emeline, Emaline, dan Eric, memperlakukannya adil.
Egan mengetuk pintu tiga kali. Tak butuh waktu lama, Maria keluar dengan mata sembab dan hidung memerah.
"A-ada yang bisa saya bantu, T-Tuan?" Maria bertanya dengan sedikit isakan tersisa.
Egan mengangguk singkat. "Aku titip Lazuar. Tolong jaga baik-baik, cucuku." Ia memindahkan bayi mungil itu kepada Maria.
Maria menyambut hangat. Mengecup sekali pipi gembul Lazuar, ia menunduk hormat lalu berkata mantap. "Pasti, Tuan. Saya akan menjaga Tuan kecil Lazuar sebaik mungkin."
Egan menggerakkan kepala turun naik. "Terima kasih."
Egan membalikkan badan, kembali melangkah menuju ruang tamu, dimana anaknya sedang masih setai meraung di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUFICIAN
Romance• SEBAGIAN PART DI PRIVAT! TERBUKA BILA MEM-FOLLLOW. • FOLLOW DULU BARU BACA. !! WARNING 21+ !! • MENGANDUNG BAHASA KASAR, KEKERASAN DAN SEKSUALITAS. • HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. _________________________________________ Lucian Dhe Costra, kembal...