"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Dad!"
Roger memutar bola mata malas. "Hanya 2 hari. Biarkan Eric menghabiskan waktu dengan adiknya."
Lucian menatap silet pada Roger yang kini berdiri di depan meja kerjanya. Ia bangkit mendekati lelaki setengah baya itu.
"Jika hasil DNA itu tidak keluar sampai besok. Aku pastikan, Eric tak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Lufi."
"Hei bodoh, Eric itu kakaknya!" Roger mengeplak lengan Lucian, sedikit terkekeh rendah. Tidak habis pikir dengan anaknya. "Sedangkan kau, suami saja bukan!"
Lucian mendengus tak suka. Roger selalu memojokkan dirinya.
Roger melangkah ke sofa, dibuntuti pula oleh Lucian. Mereka duduk saling berhadapan dengan meja membatasi di tengah-tengahnya.
Roger menyilangkan tangan di dada. "Bagaimana pun Lufi itu anak Egan. Kau harus terima takdir tuhan."
Lucian menghela nafas kasar. Lelaki itu memilih memejamkan mata sejenak diiringi punggung membentur sandaran sofa. Lucian memikirkan hidupnya. Semua semakin runyam, semenjak kehadiran Egan yang mengaku sebagai ayah kandung Lufi.
Sial sekali. Bagaimana bisa, takdir tuhan serumit ini. Dunia seakan kotakan lahan sawah, bertumpu pada satu tempat. Sempit dan hanya memiliki empat sudut.
Jika dipikir dengan otak kosong, mana mungkin Lufi adalah anak dari si brengsek Egan. Namun, jika dipikir kembali oleh akal sehat. Ya, memang semua ucapan Egan menjurus ke sebuah fakta menyakitkan. Egan adalah ayah Lufi. Dan Egan adalah kakak dari ibunya. Itu artinya Lufi adalah adik sepupunya. Sungguh rumit.
Satu fakta mengejutkan lagi. Eric adalah anak pertama Egan. Sialnya, Lucian sudah tahu itu sejak kecil. Setiap kali mengunjugi Lufi, dirumah gadis kecilnya itu. Lucian pasti mampir sebentar kerumah Nonna Emeline untuk sekedar berjumpa dan memainkan senjata milik Nonno Egor. Rumah Nonna dan Nonno berada tepat di samping rumah Lufi.
Ah, Aunty Anna sungguh hebat menyembunyikan rahasia besar ini dalam waktu yang lama.
"Eric sudah tahu semuanya." Celetuk Roger. Tangan lelaki setengah baya itu menuangkan wine ke gelas kaca untuk dicicip.
Lucian hanya berdehem tanpa membuka matanya yang tertutup.
"Tenanglah. Eric tidak akan menyakiti Lufi." Ucap Roger terbilang sangat santai.
Lucian langsung membuka mata. Ia membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. "Kau tak tahu, bahaya selalu menyertai clan Miller. Aku hanya ingin Lufi baik-baik saja."
Roger menyimpan kembali gelas kaca ke meja. Ia berdecih remeh. "Kau meragukan TMA? Atau kau meragukan Eric yang bisa saja menyentuh Lufi, heh?" Ia menaik-turunkan kedua alisnya, menggoda Lucian.
Lucian membuang wajahnya ke samping. "Keduanya."
Roger terkekeh disertai gelenggan kepala. Ia bangkit dari posisi duduknya, menghampiri Lucian kemudian menepuk pundak tegap lelaki itu.
"Segera ikatlah Lufi dengan janji suci. Dengan itu, Lufi akan sepenuhnya menjadi milikmu."
|▪︎|▪︎|▪︎|
"Bayimu berkembang dengan baik, Lufi. Dia normal dan sehat ."
Dokter Shannon dan Lufi sama-sama terkikik, saat melihat gumpalan daging di layar USG. Belum terlalu jelas, namun sudah cukup menunjukan kehidupan di dalam sana.
Shannon mengelus lengan Lufi. "Tidak perlu berpikir negatif. Kau dan bayinya pasti selamat. Lihat, sudah empat bulan kalian masih sehat bahkan sangat sehat. Jadi, tidak usah cemas lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
LUFICIAN
Romance• SEBAGIAN PART DI PRIVAT! TERBUKA BILA MEM-FOLLLOW. • FOLLOW DULU BARU BACA. !! WARNING 21+ !! • MENGANDUNG BAHASA KASAR, KEKERASAN DAN SEKSUALITAS. • HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. _________________________________________ Lucian Dhe Costra, kembal...