XXXVIII

5.5K 300 40
                                    

"Benarkah?"

"Iya. Kemarin dia menangis kencang sampai aku pun ikut menangis, saking khawatirnya."

"Lalu, bagaimana bisa Lazuar kembali tenang?" Tanya Lucian cemas dalam panggilan video mereka.

Lufi mendaratkan bokongnya di bangku taman belakang. "Eric membawanya masuk ke ruang senjata, seketika Lazuar berhenti menangis lalu tersenyum ceria lagi." Jawabnya geleng-geleng kepala.

Lucian terbahak di sebrang sana, tak habis pikir dengan anak mereka itu. Insting Lucian menyatakan bahwa, Lazuar dewasa akan menjadi penerus clan mafia terhebat sedunia.

"Sudah makan belum, sayang?"

Lufi mengangguk. "Sudah. Apa kau masih di kantor?"

Lucian berdehem menimpali. Tampak lelaki itu tengah sibuk membuka lembaran-lembaran kertas dengan satu tangannya.

"Yasudah, aku tutup panggilannya. Jangan pulang terlalu larut, besok kan um ... k-kita akan menikah." Pipi Lufi berubah semu merah jambu setelah mengatakan itu.

Senyum simpul Lucian terbit. Besok adalah hari yang sangat ia nantikan.

"Baiklah. Jaga diri baik-baik, Mommy."

Lufi mengangguk mengiyakan. Setelah saling melempar flying kiss, sambungan telepon tertutup. Lufi menyimpan benda pipih canggih itu di meja bundar samping kursinya.

Lufi bangkit, kakinya ia bawa berjalan menyusuri taman bunga di halaman belakang mansion Nonna Emeline.

Sudah dua hari, Lufi tinggal disini. Alasan klise dengan mitos, "sesama mempelai dilarang berpijak di satu atap yang sama, atau jika melanggar akan terjadi suatu mala petaka."

Sebab itu, Lufi dan Lucian berjauhan, terbentang jarak puluhan kilometer.

"Lufi," panggil Emeline pelan. "Apa yang kau lakukan?" Ia mengusap punggung gadis yang tengah menatap kosong hambaran bunga di depan.

Lufi tersentak kecil, menolehkan kepala melirik Emeline. "Hanya melihat bunga."

Emeline terkekeh mendengar jawaban polos gadis itu. Semua orang juga tahu, Lufi pasti sedang melihat bunga. Namun, maksud Emeline tidak dicerna sempurna oleh sang empu.

"Sudah mencoba gaunmu?"

Lufi menggerakkan kepala ke atas dan bawah. "Sudah, sangat pas." Gadis itu tersenyum manis.

Kemarin pagi, gaun untuk pernikahan miliknya datang. Gaun itu Lucian pesan khusua ke perancang terkenal dunia, sesuai dengan keinginan Lufi. Hasilnya, begitu menakjubkan. Lufi hanya menjelaskan model gaun keinginannya dengan kata, namun dengan mahir si perancang itu menyerap ide kemudian mendesign ulang menjadi sebuah gambaran nyata.

Emeline ikut tersenyum hangat. "Aku hanya bisa memberkatimu dengan doa."

"Itu sudah cukup, Nonna. Aku tidak mengharapkan apapun, selain doa dan berkatmu." Ungkap Lufi mampu membuat Emeline terharu.

"Apa kau tidak tidak ingin sedikit saja mengambil hartaku, Lufi?" Celetuk Egan bergabung di sisi kiri Lufi.

Lufi menggeleng sembari tersenyum jahil. "Sepertinya tidak, sebab calon suamiku sudah sangat kaya. Maka dari itu aku tak butuh lagi uangmu, Daddy."

Egan mendengus, sebelum sedetik kemudian mengecup sayang surai putrinya dari samping. "Jika Lucian menyakitimu, jangan sungkan ajukan gugatan cerai."

Lufi terkikik geli. "Mana bisa seperti itu, Dad! Aku hanya ingin menikah satu kali seumur hidup. Dan itu, akanku lakukan bersama Lucian."

"Kau seperti anak remaja Indonesia."

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang