XLVI

6.2K 269 47
                                    

DOR

Tepat setengah detik sebelum Mery menekan trigger shotgun miliknya, Eric telah lebih dulu menembak lengan gadis belia itu hingga refleks pistol di genggamannya terjatuh.

"MOMMY!" Lazuar berteriak sembari berlari. Bocah tampan itu menabrak tubuh tak geming Mery.

Untuk pertama kali di usia balitanya, Lazuar menangis. Anak laki-laki itu pantang menunjukan sikap bersedih sebab menurutnya lelaki harus kuat dan tidak boleh cengeng.

"Mom!" Lazuar memindahkan wajah terpejam Lufi pada tekukan lutut kecilnya. "Mom, please wa-wake up hiks .., hiks." Ia mengecup seluruh wajah sang ibu.

Tubuh Lufi dingin, seperti tiada aliran darah hangat kehidupan. Mata terpejam damai, serta bibir menutup rapat. Cairan kental memenuhi hampir keseluruan tubuh ibu hamil itu. Lazuar tak bisa mendeskripsikan bagaimana buruknya kondisi sang ibu. Anak laki-laki itu terus menangis pilu, tangan kecilnya menepuk-nepuk pipi Lufi, berusaha menyadarkan. Sudah seratus dua puluh detik berlalu, tidak ada perubahan.

Eric melangkah lebar mendekati pelaku. Ia menampar Mery menggunakan body pistol. Tamparan itu sangat keras menyebabkan sudut bibirnya terobek, serta merta darah segar mengalir dari sana.

"ANJING!"

PLAK!

Sekali lagi, Eric menampar wajah Mery, kali ini dengan tangan kosong.

Tubuh Mery tersungkur, namun anehnya gadis itu tak berucap satu patah kata apapun. Ia seperti patung yang hanya bisa diam membatu.

"Fixed blade." Telapak tangan Eric terbuka meminta benda itu pada para bodyguard TMA di belakangnya. Salah satu bodyguard memberikan pisau bergerigi ke telapak tangan Eric.

Amarah setan yang sudah berada di ujung batas itu, tak bisa Eric cegah. Ia berjongkok, kelima jari kosongnya menangkup rahang Mery, mencengkramnya teramat kuat. Tatapan Eric tidak main-main gelap nan kesat. Tatapan itu tak kalah tajam dengan pisau di tangan kanannya.

Iris Eric tak lengah mengunci manik hampa Mery. Eric tertawa rendah, Mery tersadar dari lamunannya sebab itu. "Mari kita cek, kau Mery asli atau robot Mery."

SLEB

Mata Mery membulat sempurna, pisau bergerigi itu mendarat tepat di tiga jari inti; telunjuk, jari tengah dan jari manis. Mery menjerit kesakitan, Eric tak peduli.

SREK SREK SREK

"AKHHH!" Mery menjerit semakin nyaring saat pisau bergerigi yang tertancap di tangannya bergerak memotong tulang di dalam. Sungguh, ini sangat menyakitkan.

Eric tersenyum lalu memanggut-manggutkan kepala. Tiga jari Mery putus setengah, terlihat tulang, daging dan darah bersatu padu disana. "Upsss, ternyata kau Mery asli."

Eric memutar fixed blade knife, ia melepas cengkraman di rahang Mery, berubah mengetuk dagunya seolah berpikir.

"Pilih, Mer." Kata Eric. Mery menatap Eric dengan sorot sendu palsunya. "Mati termutilasi atau mati terbakar?"

Mery meneguk ludah kasar. Tuhan memang tidak adil padanya. Tidak bisa kah Tuhan memberikan kelancaran pada aksinya tadi? Dia ingin mati bersama Lufi, bukan seperti ini. Apakah mencintai merupakan sebuah kesalahan? Mengapa, mengapa hidupnya selalu sial? Mery meneteskan air mata. Setelah kabur dari rumah sakit jiwa, Mery berusaha keras menghidupi dirinya sendiri. Mengamen, menjual koran, bahkan makan di tempat sampah dari sisa makanan bekas orang lain, Mery pernah merasakannya. Maria, ibu angkat sekaligus sosok berjasa dalam hidupnya telah ia lenyapkan demi bisa hidup berdua bersama orang tercinta. Tapi mengapa semua hal itu tak bisa menebus kebahagiaannya walau sesaat? Lantas, harus dengan cara apalagi dia mencoba berbahagia?

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang