XXIII

8.5K 369 23
                                    

Dokter Shanon keluar dari ruang pemeriksaan khusus. Ia melangkah ke arah Lucian yang juga mendekatinya.

"Bagaimana keadaan Lufi?" Tanya Lucian dengan raut cemas tercetak jelas di wajah datarnya.

Shanon menghela nafas. "Lufi dan bayinya baik-baik saja. Dia hanya syok dan kecapean."

Lucian baru bisa bernafas lega setelah penuturan Shanon. "Thanks god."

Shanon melotot atas ucapan Lucian. "Ka-kau percaya Tuhan? Se-sejak kapan?" Shanon bicara tergagap.

Pasalnya, sedari lahir. Lucian tidak pernah percaya akan adanya Tuhan.

"Sejak Lufi mengajakku beribadah ke gereja bulan lalu."

Lucian berlalu melewati dokter itu dan tiga orang di kursi tunggu yang menganga dibuatnya. Mereka, Jorick, Cath dan Eric tidak percaya apa yang barusan mereka dengar.

Lucian, lelaki itu kini bukan lagi seorang ateis.

"Jo, sebaiknya kita harus segera bertobat. Hari kiamat sudah dekat. Terbukti, Tuan Lucian yang jalmaan iblis pun sudah mulai beribadah." Tutur Cath. Jorick hanya menggangukkan kepala tercengang.

|▪︎|▪︎|▪︎|

Lucian duduk di kursi samping brangkar. Lufi masih terlelap dengan infus tertancap di punggung tangannya.

Lucian menggenggam tangan Lufi, mengelusnya perlahan menyalurkan kehangatan. "Maaf sayang. Aku sudah membuatmu kesakitan."

Lucian membenamkan wajahnya di celah tangan gadis itu. "Hiks ... hiks ... maaf."

Lufi terusik. Mendengar suara isakan itu membuatnya mengerjap mata.

"Lu-Luci." Lufi tersenyum kecil, ia membawa satu tangan bebasnya untuk mengelus rambut Lucian yang merunduk. "Kenapa menangis?"

Lucian menggerakkan kepala ke kiri dan kanan. "Ak-aku merasa bersalah padamu. Ak-aku merasa tidak cocok menjadi ayah untuk anak— "

"Sttt, kau bicara apa? Melantur sekali." Lufi memotong perkataan Lucian yang menurutnya aneh.

"Lufi." Lucian mengangkat kepalanya hingga netra keduanya bertemu.

Lufi mengangkat satu alis bingung.

"Lufi, aku takut kau pergi meninggalkanku hiks ... "

"Eric sudah kembali. Aku takut ka-kau lebih memilih pergi dengannya dari pada hidup bersama lelaki brengsek seperiku."

Mereka masih terpaku pada manik masing-masing. Lufi tidak bersuara, yang terdengar hanya sisa isak tangis Lucian.

"Apa jika aku pergi, kau akan— "

"JIKA KAU PERGI AKU AKAN BUNUH DIRI!" Ucap Lucian lantang.

Lufi memejamkan mata kaget. Belum sampai akhir kalimat, namun lelaki itu dengan tak tahu malu menerobos ucapannya.

"Jika aku— "

Lucian menggeram kesal. "Tidak! Tidak! Tidak!" Ia lagi-lagi memotong ucapan Lufi.

Lucian memajukkan bibirnya. Melipat kedua tangan di dada. "Tidak ada jika, tidak ada kalau, tidak ada seandainya! Kau akan tetap bersamaku!"

Lufi terkekeh pelan. "Iya, iya. Aku tidak akan pergi, aku hanya akan selalu bersamamu."

Lucian mengembungkan pipinya dengan tangan masih setia mendekap dada. Lelaki itu terlihat sangat menggemaskan, ditambah wajah dan telinga yang berubah merah, mungkin karena rasa kesal atau senang? Entah.

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang