XLIII

4.5K 194 19
                                    

"Aku akan ke kamar, tidurkanlah Lazuar di box kamarnya." Lufi melangkah lebih dulu memasuki lift di mansion Dhe Costra.

Lucian menatap nanar Lufi-nya yang berubah menjadi dingin.

Terhitung sudah lima hari, Lufi tidak mau menggendong Lazuar. Walau begitu, Lufi tidak pernah absen memberi ASI eksklusif untuk Lazuar. Gadis itu rutin mem-pumping air susunya setiap pagi.

"Aku tidak sanggup. Aku takut Lazuar melihat ibunya menangis, lalu bayi itu berpendapat bahwa aku ibu yang lemah." Itu lah alasan yang Lufi ucapkan. Lucian hanya bisa bergumam mengerti, tak mampu membantah.

Mereka baru saja kembali dari rumah duka— Mansion Miller. Setelah dua hari lalu Nonna Emeline dimakamkan, pagi tadi dilakukan puja dan pemberkatan untuk mendiang. Tradisi itu akan berjalan hingga hari ketujuh.

"Bi Mar," panggil Lucian lantang namun tetap menjaga volume. Lazuar tertidur pulas di dalam stroller yang di dorongnya. "Tolong tidurkan Lazuar di kamarnya."

Bibi Marni mendekati Lucian. Ia membungkuk hormat. "Baik, Tuan."

Setelah kepergian Bibi Marni beserta Lazuar, Lucian melangkah gontai menuju halaman belakang. Mungkin, melesatkan beberapa peluru dapat sedikit meredam emosinya.

Lucian menarik asal salah satu pistol yang tersusun rapih di dinding sudut, mengisi amunisi kemudian berancang membidik kelinci dan tikus-tikus kecil di dalam celah kandangnya di depan sana.

DOR

Satu kelinci berbulu cokelat tewas.

DOR

Kini giliran tikus putih kecil yang tertembak.

Lucian melanjutkan kegiatannya, tak peduli sinar mentari telah lenyap berganti rembulan.

Lucian dilanda kebingungan. Ia kira setelah menjalin ikatan resmi antara dirinya dan Lufi, semua akan berjalan lebih indah. Namun, lain di angan lain di tandang. Takdir tuhan memanglah sebuah rahasia. Lufi tidak lagi sehangat dulu, Lufi tidak lagi selemebut itu, ia berubah asing. Lufi bahkan tidak mau Lucian sentuh. Tragis bukan? Dimana seharusnya pasangan suami-istri melakukan hubungan intim yang saling mendamba di awal pernikahan mereka, tetapi Lufi dan Lucian tidak.

Lucian sempat berpikir bahwa Lufi tidak bahagia atas pernikahan mereka. Lagi-lagi, lelaki itu dibuat overthinking oleh dugaan-dugaan tak benar.

Suara derap langkah pelan terdengar di gendang telinga Lucian, namun lelaki itu tak acuh. Lucian lebih memilih melanjutkan kesenangannya.

"Lucian. Kita perlu bicara." Lirih Lufi di belakang punggung tegap sang suami.

"Bicaralah." Timpal Lucian tanpa menoleh, masih fokus dengan lesatan peluru.

Lufi menghela nafas pelan sebelum mengutarakan kegundahannya.

"Aku ingin ... "

|▪︎|▪︎|▪︎|

"Pilih dua puluh anak laki-laki berbakat di AHM. Terbangkan mereka ke Las Vegas untuk pelatihan." Kata Eric berwibawa. "Satu lagi, carikan rumah sederhana di Perugia."

"Baik, Tuan." Jawab Jack patuh.

Jack, pria berusia sekitar kepala tiga itu, sekarang berstatus sebagai asisten Eric. Jack awal mulanya tergabung di divisi 1A Guard TMA.

Jack mengecek keadaan AHM melalui tablet canggih yang tersambung langsung dengan cctv disana. Anak-anak tengah melakukan pemujaan di aula utama, sedang acara itu dipimpin oleh Maria— sang kepala pengasuh panti. Setipa inci pergerakan anak-anak disana jelas tertangkap kamera tersembunyi. Ada peraturan baru di AHM, yaitu anak-anak wajib menggunakan tanda pengenal di setiap lengan bajunya. Tanda itu hanya berupa campuran kode angka dan huruf. Usut punya usut, tanda itu diciptakan oleh Eric, guna memudahkan pengamat memilah anak mana saja yang patut menjadi The next members TMA.

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang