XLV

4.5K 244 158
                                    

"Lazuar cepatlah, buddy." Lucian bangkit dari kursi, diikuti Lazuar dengan semangat berjingkat bangun.

"Yes, Daddy!"

Hari ini merupakan hari pertamanya masuk kelas di Preschool.

Lufi beranjak seraya menyampirkan tas punggung pada putranya. "Lazuar ingat. Jangan nakal dan jangan berbuat ulah, oke buddy?"

Lazuar mengangguk. "Iya, Mommy. Aku akan menjadi anak baik." Katanya disertai senyuman penuh makna. Mom, yang benar saja, seorang Lazuar menjadi bocah baik!

Cup Cup Cup

Lazuar mengecup kedua pipi dan bibir Lufi, lalu mengelus perutnya. "Hai adik. Hari ini kakak akan pergi ke sekolah. Cepatlah lahir, aku tak sabar ingin menggendong kalian." Setelah mengucapkan itu, kaki kecilnya berlari semangat keluar rumah menuju mobil yang sudah terparkir apik di depan.

Begitulah sifat Lazuar. Bocah laki-laki dengan pemikiran di atas anak seusianya. Jenius, tanggap dan ya, licik. Turunan sang ayah.

Lufi dan Lucian saling melempar tatap, lalu terkekeh bersamaan. Ah rasanya baru kemarin, bayi tampan itu menangis di pangkuan. Sekarang, Lazuar sudah tumbuh menjadi anak laki-laki tampan, cerdas dan penurut. Untuk kata terakhir, Lazuar hanya melakukannya pada sang ibu. Lazuar sangat patuh dan penurut pada Lufi. Anak itu tidak pernah membantah perintahnya.

Lima tahun sudah, kisah keluarga kecil mereka berlabu. Tidak ada perubahan signifikan, hanya beberapa prahara kecil antara suami dan istri.

Lufi sangat bersyukur atas semua kebahagiaan yang Tuhan berikan. Walau begitu, masih ada sisi kesedihan menyelinap. Kondisi Aline tak kunjung membaik setelah lima tahun melakukan rehabilitasi. Aline sering meneriaki nama seseorang di masa lalunya. Aline kadang mengamuk, memukul dan membanting apa saja yang ada di sekitar. Ia juga sering menangis menanyakan Emeline— ibunya yang telah wafat. Puji Tuhan, Aline memiliki suami sabar dan setia seperti Roger. Pria setengah abad itu, senantiasa merawat dan menunggunya di Campania.

"Sayang aku berangkat. Jangan lupa kunci pintu." Lucian mengecup lama kening Lufi. Lelaki itu merendahkan tubuh berjongkok tepat di depan perut Lufi. "Hi twins, jaga Mommymu, jangan nakal-nakal di dalam sini ya." Lucian mengelus lalu mengecup perut buncit itu.

Kehamilan kedua Lufi. Kali ini, berotasi jauh berbeda dengan kehamilan pertamanya dahulu. Jika saat hamil Lazuar, Lufi menyukai darah dan pistol, sekarang ia lebih senang bermanjaan dengan sang suami. Lucian hampir setiap hari mengunjungi mereka. Di trimester awal memang Lufi lah yang mengalami morning sick, tapi tak apa, gadis itu menerima dengan senang hati. Bisa merasakan gejala ibu hamil merupakan sebuah anugerah.

"Bibi Maria dan Mery kapan kembali?" Tanya Lucian memastikan seraya berjalan keluar rumah. Ia akan mengantarkan Lazuar ke sekolah terlebih dulu sebelum pergi ke kantornya.

Lufi yang mengekori suaminya menjawab. "Bulan depan. Daddy bilang, Bibi Maria harus melakukan beberapa pekerjaan untuk menyelesaikan masa kontraknya."

Untuk sekedar informasi, Maria dan Mery sudah hampir dua bulan berada di markas utama TMA di Las Vegas. Kontrak kerja Mery selama lima belas tahun lamanya, akan berakhir 30 hari ke depan.

Lucian mengangguk. "Datanglah ke kantor saat jam makan siang."

"Okay .., Daddy." Ucap Lufi dengan nada lembut sensual.

Lucian langsung membalikkan badan menghadap istrinya. Sial, ini masih pagi, tapi Lufi sudah berani memulai gencatan. "Ulangi, sayang."

Lufi mendekat. "Yes, uh .., Daddy." Ia membelai dada bidang Lucian dengan putaran abstrak, juga mengigit bibir bawahnya menggoda.

LUFICIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang