MAHASISWA KARATAN [1]

9.7K 598 24
                                    

Sambil menenteng cup holder berisi dua es americano, Keana mendekati Sena yang tengah duduk membelakanginya. Sahabatnya tersebut sudah mendekam di Lab HI sejak dua jam lalu. Berkutat dengan buku, jurnal, laptop dan ponsel. Maklum, mahasiswa karatan. Semester akhir butuh kejelasan kapan segera selesai penelitian skripsi.

Menarik kursi di sambung Sena, Keana lalu duduk berikut mendorong salah satu americano buat Sena. "Americano lo, Na."

Hening.

Keana memindai. Sena itu kalau sudah menghadap laptop sambil memakai kacamata minus dua setengahnya, seperti persahabatan yang circlenya sulit banget ditembus.

Dengan agak ragu, Keana membuka obrolan lagi dengan Sena. "Gimana? Belum berhasil, ya?" Takut-takut kalau Sena kembali menggila pasca tidak dapat ACC Pak Ade karena hipotesanya lari-lari dalam kata lain tidak fokus pada studi kasus dan judulnya tidak  HI banget, istilah yang sering dosen berikan bagi mahasiswa yang mengerjakan skripsi keluar jalur Hubungan Internasional. Memang sih, anak HI masa ngerjain skripsi ekonomi. Bukan hanya lintas jurusan, lintas tujuan sekalian.

Dan seingatnya, sebelum Keana ke kafe, Sena tengah menghubungi salah satu mahasiswa universitas sebelah. Melihat bagaimana ketegasan rahang Sena sekarang, bau-baunya kabar buruk.

"Na," panggilnya lagi. Dia nggak lagi mengobrol dengan mayit hidup, kan? Takut Sena udah mati aja.

"Maaf, anda belum berhasil, silakan coba lagi."

Tawa Keana meletup hingga terpingkal-pingkal. "Njir! Emang game?" Lalu dia segera mengatupkan bibir karena sadar kalau sudah keceplosan. Kalau sama orang galau, jangan diketawain. Duh, Keana lupa.

Boleh, deh. Sena menganggap kalau mengejar referensi dari Danadhyaksa serupa terjebak dalam game. Menang enggak, kalah iya. Batin Sena terus mengomel, lagipula apa susahnya mengizinkan Sena membacanya? Kalau pun harus di depan Danadhyaksa, Sena bersedia kok. File tidak boleh di pindah ke laptop dia juga nggak apa-apa.

Kalau sudah begini, jadi penasaran seperti apa rupa Danadhyaksa itu. Pasti cowok berkaca mata yang gendut dan kutu buku. Ngeselin gitu. Ambis dan enggak mau berbagi. Pasalnya Sena belum pernah melihat, sebab cowok itu sama sekali tidak menerima permintaan pertemanannya di instagram. Sekadar membalas pesannya saja. Tidak tahu bagaimana rupa lewat postingannya. Lagipula, postingan dia pasti isinya jurnal semua.

Keana berdehem, lalu menyentuh bahu Sena. "Kata gue, lo cari referensi lain, deh. Gue kasih tahu ya, Na. Nggak ada orang yang mau jadi referensi secara terang-terangan, termasuk Dana Dana Bank itu."

Bagus. Akhirnya ada pelesetan nama.

Sena menatap Keana lalu mengangguk. "Lo bener banget."

"Good." Lalu dia menggeser laptop Sena mendekat padanya. "Kalau gitu, kita cari referensi lain, pasti banyak kok. Jangan cuma cari di Google schoolar, itu laman anak SMA. Paham? Cari yang lain." Keana sudah berkutat dengan laptop Sena.

Sena mendekat lalu mengangguk begitu mendapat pecutan dari Keana. "Lo bener! Semangat!"

"Iya! Semangat Pejuang Wisuda Maret tahun depan!"

Alih-alih dapat pencerahan, dua jam berlalu, tidak ada yang berubah. Sepuluh referensi literatul asing sudah dia baca, lima literatur lokal sudah dia babat, hanya menambah Dua paragraf, itu pun belum mencakup topik pembahasan yang Sena ambil.

"Na," cicit Keana.

Sena menopang kepalanya dengan tangan dan sikunya bertumpu pada meja. Dia remas rambutnya kuat-kuat. Kenapa sih dulu dia ambil topik sesusah ini?

Kenapa juga dia harus nyemplung ke Hubungan Internasional? Atau, kenapa dia iseng ambil topik begini, begitu sudah ikut seminar proposal, susah banget mau ganti topik. Mana pengujinya kasih revisinya serupa teka-teki. Bikin Sena mumet. Sementara itu, dosen pembimbing susah banget diminta kerja sama untuk memberikan masukan. Jangankan masukan, di masa pandemi begini, bimbingan online yang digadang bisa 24 jam buat mahasiswa justru beralih dua minggu sekali baru bisa dihubungi.

"Na, ingat kata D'masiv di lagunya," kata Keana pelan.

"Gue menyerah aja deh, Ke."

"Naaaaaa," rengek Keana frustrasi sambil menggoyangkan bahu Sena.

"Udah, mending kita cari topik lain. Banting stir, Na. Diplomasi budaya aja. Gimana? Topiknya drama lunch box yang dulu pernah boom banget. Gimana?" Keana membujuk sambil mengelus punggung Sena.

"Sena jangan marah-marah. Sena jangan marah-marah," lanjutnya dengan nada bernyanyi karena Sena serupa banteng di tengah-tengah arena yang melihat lambaian kain merah.

"Ngulang ada awal, dong?" kesal Sena.

"Mau gimana lagi?"

Sena cemberut. Lalu menggeleng. "Nggak."

"Terus lo mau gimana?"

"Ke kampus Dana Dana Bank itu."

Keana melotot. "Jangan bercanda deh."

Dengan ekspresi datar di balik kaca matanya. Sena menatap Keana saksama. "Emang muka gue, muka bercanda ya?"

Keana nyengir. "Hehe, enggak sih."

"Nah!"

"Kalau di tolak lagi?"

Sena terdiam, hanya mampu menatap Keana. Iya, bagaimana kalau di tolak lagi?

"Gue pasti bakal sinting."

Desahan Keana lolos. "Na, pokoknya kalau nanti ditolak lagi, lo harus jauh-jauh dari jembatan, tali tambang, dan balkon. Paham?"

Tidak ada jawaban.

"Sena!"

"Iya! Iya!"

Lagian, Sena frustrasi, namun masih takut mati kali.[]

Catatan Penulis:

Setting waktunya pas pandemi ya, karna penelitian Sena juga nyangkut soal covid hihi. Yuk kerjain skripsi bareng Sena 😆

Chasing You | TAMAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang