TAWARAN [48]

2.4K 227 2
                                    


           “Dulu sebelum menikah, di antara mama dan papa, siapa yang paling hebat?”

Begitu pertanyaan barusan meluncur, mata mama memincing pada Sena yang masih memasukkan tanah dengan sekop kecil ke pot putih berukuran sedang supaya tanamannya tidak rubuh. Sebenarnya, mamanya sudah curiga sewaktu Sena mau-mau saja menemani memindahkan beberapa tanaman hias dari satu pot kecil ke pot lainnya yang lebih besar di taman belakang. Karena mamanya masih saja diam, pandangan Sena naik. “Siapa, Ma?”

           Mama mengambil pot kosong dan kembali memasukkan tanah juga tanaman yang sudah dia cabut dari pastik pembibitan. “Kenapa tanya begitu? Ya tentu lebih hebat mama, dong.”

           Gerakan tangan Sena berhenti. “Tapi papa dulu pernah jadi atasan di kantornya.”

“Sewaktu mama dan papa kuliah, mama yang jadi ketua BEM, papa kamu cuma jadi anggota. Tapi sewaktu kami sudah menikah, mama bisa melahirkan dua anak dan merawat kalian tanpa babby sitter. Hebat mama, kan?”

           Bibir Sena berkedut geli. Sekaligus kagum, mamanya memang selalu hebat.

“Na, buat apa coba tanya begitu? Lagipula kalau dipikir-pikir, mama atau papa, punya kehebatan masing-masing di tempat yang tepat,” lanjut mama. Mamanya benar.

           “Kamu merasa nggak hebat?”

Sena menunduk. Apa kelihatan sekali? Apa karena seorang ibu selalu bisa peka terhadap situasi anaknya? Padahal sekuat tenaga dia berusaha lupa dengan isi kepalanya yang tidak berhenti memenjara percaya dirinya.

           “Lagi pengen kurang pede aja, sih, Ma. Aduh!” Sena mengaduh saat lengannya di pukul Sang Mama.

           “Ma!”

“Biar pede.”

           Bibir Sena berkedut kesal. “Aku takut kalau suamiku nanti dapat sindiran orang karena aku nggak hebat, sementara dia hebat banget.”

Tawa mama lolos. “Udah mikir suami aja, lulus juga belum.”

Mamanya saja yang tidak tahu bakal dapat calon mantu potensial. “Ya kan bayangin dulu.”

Mama geleng-geleng heran. “Na, kamu tahu sendiri kan, manusia nggak akan bebas dari sindiran. Kehidupan yang kamu takutkan, mau nggak mau emang harus kamu jalanin. Nanti, membuat kita semakin dewasa.” Mama menatap saksama putri satu-satunya yang kini sudah beranjak dewasa, dia tersneyum manis. “Kamu lagi ada masalah?”

           Sena hanya tersenyum tanggung. “Nggak papa nggak cerita sekarang, tapi apa pun yang terjadi, kamu punya dua bahu kuat, jangan lemah hanya karena omongan orang, ya?”

***

           “Ayah-Ibu benar mau ke Jakarta lagi?” Aksa duduk di depan ponselnya yang dia sandarkan pada gelas, sambil menyantap pasta, Aksa melakukan panggilan video call dengan kedua orangtuanya.

“Kamu kok jadi kayak melarang kita ke Jakarta sih, Mas? Kan ibu mau bertemu keluarga besar kita. Mau lihat nikahan Gadis.” Bukan melarang, Aksa justru memikirkan kesehatan ayah-ibunya yang harus bolak-balik Jogja-Jakarta.

“Kemarin kan sudah ketemu, Bu.” Aksa ingat sewaktu datang kasih kejutan padanya di unit, keluarganya sempat sambang ke beberapa sepupu di Jakarta termasuk keluarga Gadis, kakak sepupunya yang minggu depan akan melangsungkan pernikahan.

“Kamu pikir Ayah sama Ibu udah tua? Cucu aja belum ada, gimana tua,” tantang ayah yang sontak membuat Aksa kicep. Kunyahannya jadi melambat. Ada saja cara ayah untuk menyentil perihal menantu atau cucu.

Chasing You | TAMAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang