Usai meninggalkan Sena di taman batu dekat tangga tadi, Aksa justru segera menghilang tanpa banyak bicara. Tahu-tahu begitu datang, dia sudah berjongkok di depan Sena dan menyingkirkan heels Sena, menggantinya dengan sandal selop yang dia bawa. Di tempatnya, Sena masih belum bisa berkata-kata dengan perilaku yang Aksa tunjukkan. Belum ada setengah jam lalu Aksa bersikap tidak menyenangkan buat Sena. Sekarang, pria di depannya justru terang-terangan peduli dan perhatian pada Sena, yang justru menumbuhkan seribu curiga.
Sena terkesiap dan segera berdehem saat Aksa mendongak dan menyadari kalau tadinya Sena tidak melepas pandangan dari Aksa.
"Mau diurut?" tawar Aksa.
Entah kenapa, alih-alih menjawab, dia justru mulai mematik api diantara keduanya lagi. "Saya kira mau bilang, siapa yang suruh kamu pakai heels ke kampus?" Nada suara Sena penuh sindiran. Sena ingin melihat reaksi Aksa yang justru menunduk dengan bahu yang terlihat sedang membuang napas.
"Kalau mau, saya ambilkan minyaknya." Dan jangankan merespons, Aksa justru ikut mengalihkan. Bibir Sena menipis, Aksa mencoba menahan kesal?
"Nggak perlu, Mas," kata Sena lebih kalem sambil menarik kakinya saat Aksa hendak menyentuhnya, membuat pria tersebut mendongak lagi.
"Nggak biasa di urut. Nanti juga sembuh sendiri," jelas Sena begitu menyadari Aksa menatapnya penasaran dengan penolakan Sena.
"Ah, begitu," respons Aksa sambil manggut-manggut. Lalu, hening tiba-tiba mencekam keduanya. Padahal, tadi mereka adu mulut dan biasa begitu kan? kenapa sekarang justru terpekur dengan diam.
"Kamu masih marah, Na?" tanya Aksa akhirnya.
Memilih diam, Sena justru menggeleng. Rasa sakit di kakinya mengalihkan kekesalan batinnya. "Sudah biasa saja, sudah saya keluarkan tadi, jadi sudah lega," aku Sena.
Tidak menutup kemungkin membuat Aksa merasa bersalah. Bohong kalau dia tidak melihat air mata Sena tadi walau hanya sebuah ungkapan kekesalan.
"Maaf." Yang akhirnya Aksa ungkapkan.
Pandangan Sena beralih pada Aksa.
"Maaf karena sudah keterlaluan sama kamu," lanjut Aksa.
Harusnya Sena tegas, tapi saat Aksa bilang begitu, bibir Sena justru cemberut. "Baru sadar?"
Aksa mengangguk.
"Sejauh ini nggak ada mahasiswa yang berani menegur saya. Saya pikir itu cukup membuat mereka jera. Tapi mungkin saya salah kalau menerapkan pada kamu yang justru bukan mahaswa aktif di Cendekia."
"Bagus kalau sadar danMas itu beneran ngeselin ya? Pantes kelasnya hening."
Aksa hanya meringis.
Ganteng-ganteng kok galak coba. Pantes jomlo, ejek batin Sena.
"Koreksi kamu akan saya pertimbangkan buat kedepannya."
Sena mengangguk saja.
"Jadi ... dimaafkan?"
"Nggak semudah itu," kata Sena cepat dan membuat Aksa melotot.
"Na," peringat Aksa karena suasana menjadi lebih cair sebab Sena sudah bisa mengeluh begitu.
"Ya terserah saya, dong. Kan saya yang berhak."
Aksa mendesah. "Okay. Saya kasih apa pun." Aksa mengalah yang langsung merekahkan senyum Sena. "Oke, kalau gitu saya mau lihat penelitian Mas. Boleh?" tanya Sena tanpa basa-basi.
Kontan saja, Aksa melotot. Lho, kok ujung-ujungnya penelitian?
"Nggak!" Dia menggeleng tegas.
"Ya udah. Nggak di maafkan." Sena memalingkan wajah. Sementara Aksa mendesah. Nyatanya Sena benar-benar sangat ingin, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You | TAMAT ✔
RomanceGara-gara tidak bisa log in repository kampus sebelah, demi mendapat referensi untuk skripsinya, Sena rela mencari info dan menghubungi langsung Danadhyaksa, pemilik penelitian incaran dia. Masalahnya, sudah bicara baik-baik, eh, dibilang Kang Calon...