Hai, balik lagi yaaa. Oh, ya aku udah update bab baru di karyakarsa ya. ada 4 bab, 50-53, merupakan 4 menuju epilog hihi.
happy reading ^^
Hari berikutnya, Sena baru ingat kalau tasnya tertinggal di mobil Aksa, itu keinget begitu dia mencari dompetnya dan sama sekali tidak menemukannya, hanya menemukan ponsel yang setelah dia ingat memang dia masukan saku, sementara tasnya, dia taruh di bagian dekat kaki kemarin. Dia berdesis, karena sibuk dengan kucing Aksa semalaman, Sena sampai kelupaan begitu. Sehabis memberi makan kucingnya, Sena mencoba mengirimkan Aksa pesan kalau tasnya tertinggal, sebab Aksa tidak juga menghubunginya, sepertinya Aksa tidak sadar, sedihnya, menunggu dua jam juga tidak ada balasan dari pria tersebut. Kening Sena berkerut, dia mengecek jam pada ponsel, sudah hampir jam sepuluh, masa belum balas karena masih tidur? Atau packing buat dinas seperti yang pria itu bilang?
"Nggak biasanya, lho."
"Eh!" kejut Sena, saat menunduk, senyumnya merekah, segera dia mmebungkuk untuk mengambil Aksa yang terus merapat pada kakinya. Sena pangku Aksa sambil mengecek ponsel. "Aksa, papa kamu kenapa nggak balas, ya?" gumam Sena sebelum dia terdiam sejenak dan terkekeh. "Papa? Yang bener aja." Dia geleng-geleng sendiri.
"Jangan bilang kamu udah laper lagi, lho," katanya pada kucingnya.
"Nanti, ya. Jangan banyak makan, nanti kamu obesitas," geli Sena lalu dia meletakkan ponsel disamping telinga. Menelepon Aksa.
"Kenapa nggak ngangkat coba?" gumam Sena. Panggilan tidak terjawab. Apa Aksa mematikan ponselnya? Bibirnya menipis sejenak. Seharusnya dia bisa santai, kan? Akan tetapi kenapa dia mendadak kahwatir ya?
"Tuh dosen enggak sakit kan ya habis hujan-hujanan?" Habis Aksa kemarin kan basah kuyup, berbeda dengannya yang sempat mengenakan jaket kulit dan melindungi tubuhnya. Sena sedikit menimang, di rumah juga sangat sepi. Seingatnya mama tadi juga membuat cake dan masih ada di kulkas. Sena segera menurunkan kucingnya dari pangkuan dan menaruhnya pada ranjang.
"Ke sana aja kali, ya," putus Sena segera beranjak. Bawa cake ke apartemen Aksa nggak masalah, kan? Berhubung Aksa juga banyak membantu, hitung-hitung balas budi karena sudah membantu dia dan kucingnya semalam. Jadi, Sena mengambil beberapa potong cake yang dia masukkan ke tempat makan, melorot paper bag yang disimpan di buffet. Senyum Sena merekah. Sebelum berganti cemberut. "Awas saja kalua sampai ketemu dia masih ngebo," katanya sebelum Kembali ke lantai dua untuk menukar piyamanya dengan pakaian lebih sopan.
"Aksa putih, pergi dulu, ya," pamit Sena lalu mencium kucingnya dan segera beranjak.
•••
Di Apartement Aksa
Telepon rumah beberapa saat lalu saja membuat kepala Aksa semakin pening, dia mengeram kesal saat bel unitnya berbunyi tanpa ampun. Mulanya Aksa menutup kepala dengan bantal, kali ini, dia melempar bantalnya ke lantai. Tubuh lemasnya bangun ogah-ogahan dan memaki tamunya kali ini. Dengan sempoyongan, rambut yang sudah mirip singa, Aksa keluar kamar hanya untuk mengecek tamunya. Dan begitu membuka pintu, makiannya tertahan, tubuhnya membeku menemukan perempuan yang sekarang berdiri di depannya.
"Sudah aku duga kan," katanya.
"Jina," gumam Aksa.
"Kalau di lihat dari wajah Mas. Beneran sakit, kan? Gitu di telepon tadi mengelak."
Bibir Aksa menipis. Susah payah dia bangun kebohongan, nyatanya Jina tetap memaksa datang ke unitnya. Padahal tadi di sambungan telepon, dia sudah yakin kalau Jina tidak akan kemari.
Aksa terkesiap saat Jina menyentuh keningnya dengan punggung tangan. "Mas, panas!" pekiknya tertahan.
Tidak pikir panjang, Jina langsung merangkul lengan Aksa. "Mas harus ke rumah sak–"
"Nggak, Ji. Aku hanya perlu istirahat," tolaknya halus dan segera melerai cekalan Jina yang mampu memunculkan ekspresi kecewa pada wajah cantik Jina.
"Aku juga sudah minum obat," lanjut Aksa cukup melegakan pendengaran Jina.
Dia mengangguk sekali. "Oke. Mas boleh menolak diajak ke rumah sakit, akan tetapi jangan tolak yang ini. Mas belum makan, kan? aku bawa bubur ayam."
Aksa melotot. "Ji, tapi–"
"Nggak ada penolakan! Jadi, boleh aku masuk?"
Aksa mendesah merasa kalah. "Okay." Lalu tubuhnya bergeser memberikan akses Jina untuk masuk. "Masuk." Dan Jina benar-benar tidak mampu menyembunyikan kebahagiaan lewat ekspresinya.
Aksa membiarkan Jina membuka styrofoam bubur ayam dan menyodorkannya pada Aksa yang membeku melihat bubur ayamnya.
"Kamu beli?" taya Aksa.
Jina meringis. "Iya, soalnya aku buru-buru. Atau mau aku ganti? Aku masakin?"
Aksa langsung menggeleng. Itu akan lama dan Jina bisa kerepotan. "Aku makan ini aja."
Jina mengangguk. "Aku ambilkan minum." Lalu dia beranjak sebentar sebelum menaruh air putih di samping Aksa.
"Tante tahu Mas sakit?" Jina duduk di samping Aksa yang masih belum menyantap buburnya, dia justru minum. Saat minum itulah Aksa menggeleng.
"Belum? Kenapa bisa?"
"Cuma demam." Efek kehujanan. Memang payah sekali tubuhnya.
"Mas, jangan disepelekan lho."
Aksa hanya tersenyum. "Jangan khawatir." Dan saat akan menyuap bubur, bel kembali berbunyi. Mendengar itu, Aksa langsung memejamkan mata karena gemas. Siapa lagi, sih?
"Biar aku yang buka, Mas."
"Jangan, aku saja." Aksa berdiri duluan dan segera mendekati pintu unit. Kenapa hari istirahatnya penuh gangguan begini?
Lalu, Aksa segera membuka pintunya. "Siap ... pa," suara Aksa melemah begitu melihat Sena di depan pintu tesenyum lebar.
"Mas," panggilnya.
Sial. Sengaja Aksa tidak menghubunyi Sena untuk menghindari kenyataan kalau dia sakit, supaya Sena tidak merasa bersalah. Lantas, bagaimana gadis ini bisa ada di depannya. Aksa kehabisan kata-kata. Sementara Sena yang tadinya sumringah, justru terdiam melihat wajah Aksa. Pucat dan terlihat kusut. "Mas sakit?" tebak Sena. Saat itulah dia mendadak cerdas karena ingat semalam Aksa kehiujanan.
Dia melotot. "Mas sakit karena sem–"
"Siapa Mas?"
Dan ucapan Sena tidak bisa dia lanjutkan begitu suara lain menyahut, berikut tubuh gadis cantik yang muncul dari balik punggung Aksa. langkah Sena tanpa sadar surut ke belakang.
"Sena," balas Aksa menoleh sebentar pada Jina. Lalu beralih pada Sena. Dia tidak bisa membiarkan Sena diluar meski sedang menghindarinya.
"Na, ayo ma–"
"Saya kesini mau kasih ini," potong Sena mendorong paper bagnya. Aksa bingung. "Maks–"
"Dari mama," potong Sena yang berusaha mengendalikan napasnya yang tiba-tiba memburu dan tubuhnya yang panas. Bodoh!
"Dari mama kamu? kok bis–"
"Saya pergi dulu, Mas," pamit Sena langsung beranjak.
"Eh, Sena!" Aksa mau menyusul tetapi Jina justru menahan lengannya. "Mas, ingat, Mas sakit. Jangan pergi."
Sementara itu, Sena serupa tidak menapaki ubin koridor apatemen sampai dia bisa bersembunyi di dalam lift yang sepi. Beruntung. Namun sekarang, dia tidak mengerti, kenapa dadanya tiba-tiba nyeri? Wajahnya panas dan dia ingin marah. Bodoh! Bodoh, Na! Dia memejamkan mata kuat-kuat. Sudah sadar sejak semalam, tetapi masih saja lupa. Bukankah semalam Sena janji menjaga jarak? Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Seharusnya tasnya tidak tertinggal. Seharusnya juga dia tidak nekat ke sini. Dia tersenyum remeh, sudah jelas pesannya tidak di balas, teleponnya tidak diangkat. Aksa bersama Jina. Kedua tangan Sena terkepal kuat. Pacarnya. Lantas, kenapa dadanya sangat sakit menerima kenyataan tersebut?[]
Hari ini aku updtae 2 bab, spesial buanget. kapan lagi coba. untuk selanjutnya, tetep aku update per bab ya di wattpad. see you ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You | TAMAT ✔
RomanceGara-gara tidak bisa log in repository kampus sebelah, demi mendapat referensi untuk skripsinya, Sena rela mencari info dan menghubungi langsung Danadhyaksa, pemilik penelitian incaran dia. Masalahnya, sudah bicara baik-baik, eh, dibilang Kang Calon...