HAIIII AKU DATANG HIHI
Satu pekan berlalu. Lukas tidak tahu apa yang membuat adiknya lebih banyak mengunci diri di kamar. Keluar hanya untuk makan, ambil pesanan gofood, lalu berakhir menutup pintu sampai petang kembali cerah. Mustahil Lukas diam saja, dia belingsatan, mau bertanya, ujungnya hanya, "Capek mikir ujian, Bang." Mulanya Lukas percaya saja, lama-lama, dia jadi mencium hal aneh. Benar adiknya stres mua ujian? Perasaan dulu dia nggak begitu stres, deh. Lagipula, alih-alih belajar, kerjaan Sena justru nonton drama, main hape, dan makan cokelat sampai pipinya makin gemesin. Nggak bisa Lukas biarkan. Tahu Sena tidak akan buka mulut, Lukas memutuskan meminta Keana yang datang. Siapa tahu, Keana bisa membuat Sena kembali ceria, kan?"Abang lo yang minta gue ke sini, katanya adeknya mirip mayit hidup. Kirain katanya doang, beneran coba." Keana sampai geleng-geleng melihat Sena yang mengenaskan begitu. Berapa hari cewek itu tidak mencuci rambutnya coba? Kekehan Sena lolos saat masuk kamar dari balkon, Keana ada di ambang pintu sebelum ikut masuk kamar. "Lo bener stres mau ujian?" Curiga Keana kalau ada hal lain yang Sena sembunyikan.
"Iya," dusta Sena. Mana mungkin dia mikir ujian, yang ada sepekan ini isi kepalanya hanya penuh rindu pada Aksa. Sementara dia tidak buta kalau setiap sore pria itu memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumahnya. Namun, ancaman Sena berhasil, Aksa benar-benar tidak keluar mobil dan bertamu. Hanya membuka kaca mobil dan terus menatap balkon kamar Sena. Aksa mungkin berpikir Sena tidak sadar, Sena tahu, melihat Aksa dari kaca menjelma obat kangen. Walau yang dia lihat hanya gurat lelah dan kecewa. Biasanya, menjelang magrib, mobil Aksa akan pergi, beberapa saat sebelum mobil Lukas masuk garasi.
"Ya udah, belajar, dong. Belajar sama Dana Bank biar lancar."
Sena yang hendak mengambil toples keripik buat dia berikan pada Keana yang sudah duduk di ranjang supaya ngemil, urung dia lakukan. Masih memunggungi Keana, Sena berusaha tenang. Dana bank? Danadhyaksa? Mantannya, kan? sena tersenyum kecut, setiap ada yang menyebut nama itu, dadanya langsung tercubit.
"Dia aja mau bantu sampai CV kerja, masa simulasi ujian enggak."
Aksa janji akan mengajarinya. Akan ada simulasi ujian. Namun, itu hanya rencana, sebab nyatanya mereka tidak lagi bisa melakukannya, kan?
"Iya, nanti deh." Beruntung Sena tidak menceritakan jadiannya dengan Keana, jauh lebih baik untuk menyembunyikan seluruh keresahan sendirian. Lebih baik, seluruh hubungan asmara Sena dan Aksa hanya dia simpan sendiri. Karena itu lebih dari cukup. Kalau sampai Keana tahu, Sena takut keputusannya goyah karena saran Keana yang sudah pasti memintanya dia bertahan.
"Kamu pucet banget, lho." Yang Keana katakan usai Sena duduk di sampingnya.
"Kelihatan banget, ya?"
Sambil mengunyah keripik, Keana mengangguk. "Beneran karena skripsi? Bukan karena–"
"Iya, kok. Nanti ajarin aku buat latiha sidang, ya." Sena mengalihkan.
"Nggak sama Dana Bank?"
Sena menggeleng, lalu berjalan ke meja belajarnya. "Sekarang aja, deh." dia ambil hard file skripsinya. "Aku udah beberapa kali baca kok. Coba deh kamu pura-pura jadi dosen penguji."
Keana menepuk dadanya. "Siap!"
Dan di balik pintu, Lukas tersenyum begitu bisa melihat senyum adiknya. Tidak salah dia memanggil Keana datang, tahu begitu, dari kemarin dia minta Keana menemani Sena supaya tidak mirip mayit hidup.
***
"Kamu yakin kan dengan keputusan kamu, Aksa?"
Aksa sempat sejenak terpekur saat Pak janu berusaha mencari konfirmasi atas keputusan Aksa untuk menerima tawaran transfer dosennya ke Tiongkok. Sebelum akhirnya Aksa mengangguk. Cara paling tepat untuk menjauh dari Sena adalah pergi dari sini. "Iya, Pak."
Wajah Pak Janu semakin cerah. "Keputusan yang bagus. Nanti saya bicarakan dengan Pak Bambang, dia yang akan banyak bantu kamu mempersiapkan semuanya."
Meski masih berat hati, Aksa mengangguk. "Terima kasih, Pak."
Pak Janu menepuk bahu Aksa. "Bukan keputusan yang salah. Jangan ragu. Ya?"
Dan Aksa memungkas obrolan mereka dengan anggukan yang berusaha meyakinkan. Usai orbolan mereka berakhir. Jam tidak mengajarnya dia gunakan untuk berdiam di ruang kerja. Sudah satu minggu berlalu. Aksa tersenyum kecut menatap ponselnya yang menampilkan chat room dengan Sena. "Kamu sampai repot-repot blokir aku, Na," lirihnya. Bahkan bukan hanya WA, Sena menutup seluruh akses medsosnya dari Aksa. Dia memejamkan matanya berusaha tenang, Sena benar-benar ingin Aksa membenci dia?
"Tapi nggak pernah bisa," gumam Aksa. Setiap sore, dia datang ke depan rumah Sena, hanya demi melihat pantulan tubuh gadis itu pada jendela kamarnya. Dia tersenyum remeh, bukankah dia sangat pecundang? Itu yang pantas Aksa dapatkan bukan? Tapi, itu jauh lebih baik daripada harus melihat Sena tidak mau mengenal dia selamanya. Desahan Aksa lolos, tawa mengejeknya mengudara begitu saja saat bayangan pertama kali saat Sena masuk ruangan ini kembali muncul di pikirannya.
"Saya Sena, yang dm Mas beberapa hari lalu mau minta referensi. Ingat?" Tawa Aksa lolos saat ingatan mengirim pertemuan pertamanya dengan Sena, wajah tanpa dosa itu bahkan terekam jelas. Di ruangan ini. Aksa menunduk saat suara Sena kembali terdengar. "Saya benar-benar serius untuk meminta referensi, bukan mau plagiat kok"
"Bagaimana dengan kamu ikut kelas skripsi saya?" Aksa tertawa. dulu, kalau Aksa mengusir Sena dan tidak menawarkan diri untuk membimbing skripsi gadis itu, hal ini tidak akan menyakitkan bukan?
"Dulu, kamu gigih membujuk, Na. Kenapa sekarang kamu justru penuh pesimis?" gumam Aksa.
"Kamu rela mengekor kemana-mana. Lantas, hanya karena abang kamu, kenapa kamu justru melempem?" Aksa mengatakan seolah Sena ada di depannya. Kosong. Hanya ada hening. Aksa menjatuhkan kepalanya di atas meja sampai berbunyi duk. Tangannya terus meremas rambutnya kuat-kuat berharap sakit kepalanya reda. Rindunya benar-benar semakin menumpuk, sementara orang yang dia rindukan justru tidak mau bertemu dengannya.
"Sena," rintih Aksa tidak kuasa menahan sesak yang menghimpit dadanya. Tubuhnya semakin meringkuk. "Kenapa jatuh cinta bisa sesakit ini?" Lagi-lagi seluruh tanyanya hanya menyisakan hening. Di tempat ini pertama kali dia bertemu Sena. Di tempat ini juga dia memutuskan untuk melupakan mantan kekasihnya tersebut. Aksa tidak bisa terus berkutat dengan seluruh kesakitan. Pelan-pelan Aksa mengangkat kepalanya. Keputusnya pergi ke Tiongkok, semoga cukup membuat Aksa lupa. Kali ini, dia ingin egois, kalau Sena tidak mau lagi bertemu dengannya, biarkan Aksa menghapus Sena sebagai kenangan paling menyakitkan. []
SISA EPILOG YA GUYSSSS. JANGAN NGAMUK WKWK. see you di bab epilog hihi. love youuuuuu~
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You | TAMAT ✔
RomanceGara-gara tidak bisa log in repository kampus sebelah, demi mendapat referensi untuk skripsinya, Sena rela mencari info dan menghubungi langsung Danadhyaksa, pemilik penelitian incaran dia. Masalahnya, sudah bicara baik-baik, eh, dibilang Kang Calon...