KENCAN, YA [45]

2.8K 223 0
                                    


           “Galeri?” beo Sena begitu Aksa memarkirkan mobil mereka di lahar parkir Ars Gallery. Mata Sena langsung berbinar walau harus menemukan kerumunan di lobi. Aksa melepas sabuk pengaman sambil memerhatikan gelagat Sena yang terlihat sumringah. “Aku nggak tahu kamu suka ke galeri atau enggak, atau kamu suka Rejana atau tidak, tapi, mau ikut masuk? Ada pameran Rejana.” Dengan wajah senang, Sena mengangguk. “Mau banget, sebenarnya jarang ke galeri, tapi bukan berarti belum pernah dan nggak suka.”

           Tawa Aksa lolos, lalu membantu Sena melepas sabuk pengamannya. Kalau dipikir-pikir, dia sedikit heran dengan Sena yang bisa diajak ke mana saja dan tidak pernah keberatan. “Mas, kapan kamu berhenti memperlakukan aku sepeti bocah?” Pandangan bingung Aksa naik memindai Sena yang mendengkus, habisnya Aksa seperti tidak mau Sena mandiri, apa-apa selalu membantu, memang Sena bayi?

“Kamu keberatan? Aku suka. Aduh!” keluh Aksa saat Sena mencubit perutnya sebelum mendorong Aksa menjauh, dia melepas sendiri sabuk pengamannya. “Aku bisa sendiri, memang aku bayi?” ejek Sena sebelum turun duluan, di tempatnya, Aksa semakin tertawa. Padahal, dia hanya refleks, bukan karena menganggap Sena bayi. Tidak mau membuang waktu, segera Aksa turun. Semalam Arslan mengabari kalau Ars Gallery mengadakan pameran, dia menjadi salah satu tamu undangan. Kebetulan jam mengajarnya sudah habis, tidak ada salahnya untuk mampir, hitung-gitung mengajak Sena keluar, karena dia tidak mungkin menjadi santapan macan garang di rumah Sena dengan ngapel ke rumah pacarnya, kan?

           “Mas kenal sama Rejana?” keduanya sudah berjalan menjauhi lahan parkir.

“Bukan Rejananya, tapi pemilik galerinya.”

           Sena manggut-manggut saja.

“Ingat teman yang aku bilang di luar negeri?”

           “Ingat.”

“Yang itu, sudah balik dan  mengelola galeri.”

           “Ah, enak banget.”

Tawa Aksa lolos. “Dia pantas, dia punya hak. Kenapa enggak?”

           “Mana sih, jadi penasaran. Pasti ganteng, ya?” jail Sena, pandangannya memanjang begitu masuk galeri. Sepertinya sudah pemnbukaan sebab beberapa pengunjung mulai menikmati lukisan yang di pamerkan. Di samping Sena, bibir Aksa berkedut kesal. “Percuma ganteng kalau dia nggak naksir kamu, kan?”

           Sena menyeringai. “Naklukin Dosen aja aku bisa, pemilik galeri, harusnya mudah juga, dong?”

Muka Aksa langsung pahit. “Aku masih ada tenaga kalau mau balik sih, Na. Mau balik?” Aksa menunjuk keluar, yang langsung membuat Sena memeluk Aksa smabil tertawa “Apa sih, bercanda juga.” Dia mendongak. “Nggak marah, kan?” yang membuat Aksa menjawil hidung Sena gemas. Dia benar-benar tidak bisa kesal pada Sena lama-lama.

           “Ayo, nonton lukisannya.” Aksa menggeleng pergelangan tangan Sena dan mengajaknya mulai berkeliling. Tidak hanya memamerkan lukisan, beberapa kerajinan tangan juga bisa Sena lihat. Lukisan Rejana di tempel rapi pada dinding tanpa pembatas, sehingga penunjung bisa lebih leluasan melihat. Ada satu lukisan yang menarik perhatian Sena, dua tangan bertautan di tengah gemerlap kota dengan kondisi yang terlihat sulit Sena artikan. “Tangannya saling nggak ingin lepas atau salah satu ingin lepas?” gumam Sena.

           Aksa merangkul bahu Sena, kepalanya menengeleng dengan kedua mata memincing, memindai lukisan tersebut. “Tangan yang lebih kecil seperti ingin lepas.”

           Sena terdiam sesaat, benar, setelah dia lihat, seakan ada dua tangan, yang satu ingin lepas, satunya terus menahan. Hanya sebuah lukisan, tetapi berhasil mengusik Sena, mampu mengundangn simpatinya, seakan Sena bagian dua tangan tersebut. Dan saat pandangan Sena turun, dia bisa melihat judul dari lukisan tersebut. “Air dan minyak,” gumam Sena.

           Aksa memindai Sena. “Mungkin Rejana ingin menyampaikan kisah cinta dua orang yang tidak bisa menyatu.” Aksa bisa jadi benar. “Aku pengen lukisannya, boleh di beli nggak?” mohon Sena dengan tatapan sendu.

           Tawa Aksa mengudara. “Kita lihat yang lain dulu, yang itu terlalu menakutkan.” Aksa membawa Sena untuk melihat lukisan lainnya, walau Sena sesekali tetap menoleh ke belakang seakan tidak rela meninggalkan lukisan tersebut.

           “Na, masih ada yang lain, jangan fokus satu.”

“Aksa!” Dan keduanya langsung menoleh ke belakang. Seorang cewek berpotongan rambut sepanjang leher melambai ke arah Aksa dan langsung berlari menghampirinya. Aksa yang mendapat sinyal buruk segera besiap. Benar saja, begitu cewek itu merentangkan kedua tangannya, Aksa segera berlindung di balik punggung Sena.

           “Eh!” kejutnya lalu merem tumitnya.

Sena yang bingung hanya bisa meringis pada cewek di depannya.

           “Sa, bisa kurangin kebiasaan meluk orang?”

Yang dipanggil begitu langsung nyengir. “Habis kaget banget lo di sini.”

           Begitu aman, Aksa segera berdiri di samping Sena lagi. “Kebiasaan,” dengkus Aksa. beruntung ada Sena, Aksa jadi memiliki perlindungan.

“Na, kenalin, cewek aneh ini temenku. Namanya Wisa. dan Wisa, kenalkan ini Sena.”

Walau sedikit ragu, Sena mengulurkan tangan pada cewek di depannya yang menatap curiga. “Pacar ya? Lama nggak ketemu datang-datang bawa pacar, ya?” Lalu mereka bersalaman. “Wisa.”

           “Sena.” Sena mengenalkan diri.

“Lo pikir, gue harus selamanya sendiri setiap ke Ars Gallery?”

“Nggak juga, sih. Tapi kamu beneran sama dia? Pasti kamu kena pelet, ya?” Wisa mulai menggoda jail, kontan membuat Aksa melotot.

“Kayaknya, sih, Kak,” balas Sena ikut jailin.

Aksa memejamkan matanya. Wisa ini salah satu karyawan Ars Gallery, dan ngeselinnya tidak pernah luntur setiap mereka bertemu. Keduanya memang jarang bertemu, lebih sering saat Aksa datang ke pameran saja.

           “Arslan mana?” Aksa akhirnya mengalihkan, kalau tidak, bisa habis aibnya disebar pada Sena. Pandangannya mengedar, seharusny Arslan yang mengundang dia juga ada di sini.

           Sementara itu, Wisa terlihat terdiam sebentar, wajahnya juga jauh lebih kesal. “Sama pacarnya sih tadi gue lihat. Kalian mau lihat lukisan kan? yuk gue temenin.” Sena menatap heran, Wisa terasa mengalihkan obrolan. Tidak jauh berbeda dengan Sena,  Aksa juga menaruh curiga dengan gelagat Wisa, akan tetapi, dia tetap mengangguk. “Okay.” Karena ke Ars Gallery memang untuk melihat lukisan, kan?[]

Chasing You | TAMAT ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang