Hai, aku update lagi ya hihi ^^
Oh, ya, plis banyakin vote dan komen ya biar aku tahu cerita ini layak dinikmati atau enggak :"
"Dia suka sama masakan lo, Ji?"
Senyum malu-malu tidak bisa Jina sembunyikan begitu pertanyaan Tere lolos di jam lunch mereka berdua. Melihat dua rona mengembang di kedua pipi Jina saja, Tere serupa peramal yang banyak tahu isi hati sahabatnya tersebut. Tawanya kontan mengudara. "Hoo, jadi sukses, nih?"
"Yah, begitulah. Dia bilang suka."
"Nggak sia-sia ya," kekeh Tere.
"Gue juga bilang kalau berniat dekat dengan dia secara terang-terangan, Re."
"Uhuk!" dan Tere langsung tersedak. Dia menatap Jina dengan mata terbelalak.
"Pelan-pelan, Re," peringat Jina mengulurkan minuman Tere yang justru dia dorong. Masih sedikit terbatuk, Tere bertanya, "Dan respons dia?"
"Yaaaa ... kaget. Gue bilang dia nggak perlu pusing, gue minta ke dia buat yakinin dia kalau gue bisa bikin dia tertarik," kata Jina bersambut tepuk tangan Tere. "Beneran emansipasi perempuan sih."
"Dasar," kekeh Jina.
"Gue benar, kan?"
Tidak ada yang salah dari pernyataan Tere, mungkin benar emansipasi perempuan. Bagaimana pun, Aksa terlihat belum nyaman, akan tetapi Jina yakin kalau dia bisa meluluhkan hati pria tersebut, bukan tidak mungkin dia bisa mendapatkannya. Jina tersneyum kecil, apa pun, akan dia lakukan.
"So, gimana cara lo meyakinkan dia?" tanya Tere.
Alih-alih menjawab, Jina justru mengecek ponselnya dan menunjukkan layarnya pada Tere. Salah satu postingan poster film yang sedang tayang dan hangat dibicarakan akhir-akhir ini. "Menurut lo, Mencuri Raden Saleh recommended ditonton sama gebetan?"
Tawa tere lolos begitu paham arah obrolan Jina kali ini. "Why not?" kekehnya meyakinkan.
Jadi di hari berikutnya, dengan keyakinan kuat, Jina membuka pintu ruangan Aksa sampai pria tersebut terlihat terkejut mendapati kepala Jina menjembul di sela pintu.
"Hai, Mas," sapan Jina kemudian masuk.
Aksa mengerjap bingung. "Hai, kamu ... ke sini kok nggak ngabarin?" kejutnya.
Jina tersenyum kecil. "Nggak boleh?"
Bibir Aksa menipis, masih kesulitan mengumpulkan kesadaran untuk memberikan reaksi atas datangnya Jina sekarang. "Bukan, aku hanya ..."
Kekehan Jina mengurungkan ucapan Aksa. "Maaf, soalnya sekalin mampir," dusta Jina.
"Mas lagi sibuk?" lanjutnya bertanya.
Beruntung Aksa menggeleng dan mempersilakan Jina duduk di depannya. "Baru beres ngajar jadi sudah free." Yang tentu serupa angin segar buat Jina, artinya rencananya mengajak Aksa untuk menonton film kemungkinan besar bisa terlaksana, kan?
"Kamu dari mana?" tanya Aksa berdiri lalu berjalan mendekati kulkas di ruangannya untuk mengambil kopi instan dan mengulurkannya pada Jina. "Thanks, Mas."
Aksa mengangguk sambil tersenyum, senyum yang tanpa permisi berhasil membuat dada Jina berdesir.
"Cuma jalan bentar tadi terus lewat sini." Lagi-lagi Jina terpaksa berdusta. Dia bukan habis jalan, dia benar dari apartemen dan khusus ke sini untuk menemui Aksa.
"Hooo." Aksa manggut-manggut.
"Mas benar sedang free sampai malam?" pancing Jina sambil menusuk kopi isntannya dengan sedotan dan mulai meminumnya.
Aksa mengecek jam dinding. "Iya, kemungkinan besar. Kenapa?" lalu kembali memindai Jina.
Karena sedikit gugup, tiba-tiba banget, Jina jadi tidak bisa langsung menjawab. Dia berdehem sebentar. Sementara Aksa terlihat menunggu.
"Em, aku beli dua tiket niatnya mau mengajak mas ke bioskop, kalau misal Mas free, mau nonton sama aku?"
Hening.
Yang membuat Jina menipiskan bibirnya gugup. Sial apa gue terlalu gegabah ya?
"Kalau Mas nggak mau nggak masalah, nanti ak– "
"Boleh," potong Aksa. Di kepala Aksa, rasanya tidak etis menolak. Jina sengaja membeli dua, artinya dia sengaja ingin mengajak Aksa.
Tidak ada penolakan dari Aksa yang kontan membuat Jina semakin semangar. "Benar?"
Aksa mengangguk.
"Syukurlah, aku ambil jam setengah empat sore di bioskop dekat Cendekia. Nggak masalah, kan, Mas?"
Aksa mengangguk. "Tapi biar aku ke ruangan dosen sebelah dulu, ya?"
Jina mengangguk mengiyakan dan membiarkan Aksa beranjak. Sementara itu, dia memilih menunggu di ruangan Aksa. Tidak begitu lama, karena dia sambil bermain ponsel. Dan saat sayup-sayup suara dia dengar. keningnya mengernyit sebelum dia sadar itu Aksa. Secara naluri, begitu memasukkan ponsel dalam tas, segera dia keluar ruangan Aksa. Senyumnya mengembang melihat Aksa yang membelakanginya, bahunya tampak bergetar seperti tertawa.
"Seriusan?"
Dia sepertinya sedang melakukan obrolan telepon.
"Senang?" kekeh Aksa bisa Jina dengar. sebelum tawa renyah Aksa mengudara. Bukan telepon suara melainkan video .
"I'm proud you, Sena. Sangat."
Dan begitu mendengar kalimat tersebut dengan nada lembut dan penuh ketulusan, pelan-pena, tanpa sadar senyum Jina mengendur. Tidak lagi dia paham apa yang Aksa obrolkan selain dia melambaikan tangan dan segera mengantongi ponselnya. lama terdiam memunggungi Jina juga masih bisa dia dengan tawa kecil Aksa, akhirnya Aksa berbalik dan terlihat terkejut meski senyumnya tidak luntur.
"Siapa, Mas?" Jina lebih dulu bersuara. Tidak peduli tidak sopan.
"Sena," balas Aksa santai dan tanpa bisa menyembunyikan rona bahagia pada wajahnya.
"Ah, Sena mahasiswa kamu itu?" gumam Jina.
Aksa hanya mengangguk sekali. "Jadi, kan?" tanya Aksa lagi mengalihkan obrolannya.
Jina hanya tersenyum tanggung. "Jadi." Dan entah kenapa, dia merasa cewek bernama Sena itu serupa kerikil yang tidak dia sadari sejak awal. Atau hanya perasaannya saja?[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You | TAMAT ✔
RomanceGara-gara tidak bisa log in repository kampus sebelah, demi mendapat referensi untuk skripsinya, Sena rela mencari info dan menghubungi langsung Danadhyaksa, pemilik penelitian incaran dia. Masalahnya, sudah bicara baik-baik, eh, dibilang Kang Calon...