“Denger-denger, pacar Pak Aksa suka ngapel ke sini.”
Gerakan tangan Sena berhenti di udara, dia urung membuka pintu salah satu bilik toilet saat suara barusan terdengar. Bukan hanya membeku, kerja jantungnya jadi sulit Sena kendalikan, sementara pendengaran dia pasang kuat-kuat.
“Oh, ceweknya, ya? Yang pipinya tembeb itu? Yang suka pakai rok mini? Pantes pede banget pakai rok mini di kampus, pacar dosen,” kekeh suara lain. Sena terpekur, memang kenapa dengan pakai rok mini? Decakan Sena lolos.
“Tapi kok kayak masih muda banget, ya?”
“Faktor muka kali.”
“Yang bikin heran, dia kerap ke sini, berasa kampus sendiri,” timpal yang lain lalu tertawa.
Bibir Sena mendumel, dia tidak sering ke Cendekia kok. Seminggu tiga kali palingan. Lalu dia terdiam, menunduk takut, apa itu termasuk terlalu sering?
“Takut pacarnya direbut orang, maklum, ibu dosen kita selain cantik-cantik, banyak yang single dan pinter.” Lalu tawa mereka mengudara. Kali ini, Sena meremas ganggang pintu lebih kuat. Cantik? Single? Pintar? Dia menunduk dalam-dalam, tapi kan ... Sena sedikit pun tidak berpikir begitu, dia ke sini murni untuk bertemu Aksa, bukankah kekasihnya senang dia ke sini?
“Lagian, apa Pak Aksa enggak risih ya pacarnya ke sini mulu? Dia keliatan capek habis ngajar, kan enaknya istirahat. Eh malah ketemu ceweknya terus jalan bareng.”
Capek? Pandangan Sena meredup. Kenapa Sena enggak memikirkan itu?
“Lagipula dibayangan gue, calon istri dia tuh yang elegan, berumur matang, dosen juga, ternyata masih bocah, bahkan kayaknya lebih muda dari gue, deh,” kekeh yang lain.
“Bener sih tapi ya udahlah. Emang kalau modal cantik mah bisa gaet siapa aja. Termasuk Pak Aksa.” Dan tawa mereka mampu mengiris dada Sena. Modal cantik? Mata Sena tanpa sadar mulai memanas, apa dia terlihat hanya mengandalkan kecantikannya?
“Tapi kalau cuma pacaran mah bisa sama siapa aja. Cowok kan gitu. Nanti, kalau cari istri barulah yang sekali lihat aja yakin kalau dia pantas jadi istri dan seorang ibu berdedikasi, bukan sekadar bocah ingusan, iya nggak?”
Bocah ingusan? Berdedikasi? Isi kepala Sena terus bercabang. Dia meremas kepalanya yang tiba-tiba pusing. Sena baru membuka pintu usai suara mereka menghilang, mereka sudah pergi. Sekarang, Sena menatap pantulan tubuhnya dari kaca sebelum membasuh wajahnya dengan air banyak-banyak. Sena meremas pinggiran wastafel lalu mendesah, apa benar Aksa tertarik padanya hanya karena cantik? Atau hanya untuk bersenang-senang saja? kedua bahu Sena luruh, dia ke sini mau bertemu Aksa, kenapa berujung sakit hati?
***
“Kok diam? Di toilet kamu nggak kesambet penunggunya, kan?”
Sena tidak bisa tertawa padahal biasanya lelucon Aksa mampu mengundang tawanya. Pandangan Sena naik begitu Aksa meletakkan dua botol kopi instan di atas meja. Aksa merapat pada Sena, sedikit menunduk dan tersenyum jail untuk mengamati wajah Sena saksama.
“Mas, kalau sidang skripsi beneran pasti dibantai dosen, ya?” Sena hanya asal bertanya, dia mengalihkan, sementara isi kepalanya penuh dengan bekas obrolan dua mahsiswi di toilet tadi.
Tawa Aksa lolos. “Itu yang bikin kamu melamun dari tadi?”
Sena mengangguk, sebagian dari usaha berdusta. “Nggak selalu.” Aksa beralih membuka satu botol kopi instan lalu menyerahkan Pada Sena.
“Masa?”
Aksa mengangguk, dia tidak berdusta. “Selama kamu bisa menguasai penelitian kamu, pertanyaan apa pun bukan lagi masuk katagori membantai, tapi yah, cuma ngobrol biasa.”
Bibir Sena berkedut sebal. “Kamu menguasainya kan, Na?”
Sena meringis. “Belum tahu.”
Aksa mendesah. Sudah dia duga, dan melihat itu, bibir Sena menipis, dia menyesal mengaku, apa Aksa kecewa dengan jawaban Sena? Apa Aksa ingin Sena terlihat pitar dan menguasai skripsinya?
“Aku hanya belum belajar aja, Mas,” sambungnya mencoba memberikan pengertian.
Aksa justru mengernyit. “Iya, aku paham kok. Mukanya nggak usah kusut gitu. Sudah tahu dosen pengujinya?”
Sena menggeleng. “Belum tahu, jadwalnya belum keluar, mungkin ... minggu depan.”
Aksa manggut-manggut. “Kalau ada yang belum kamu paham, langsung tanya, paham?”
Sena mengangguk. “Dua hari sebelum ujian, kita simulasi ujian.”
Sena melotot. “Kok gitu?”
“Biar kamu nggak gugup.”
Sena mengaduh saat Aksa menjitak keningnya, sementara Aksa tertawa. Sena baru mau protes, hanya saja saat melihat raut lelah Aksa yang tertawa, banyak pertanyaan yang menari di kepalanya, apa Aksa tidak keberatan kalau Sena ke sini mengganggu jam makan siangnya? Kenapa semenjak mereka memutuskan bersama, isi kepala Sena justru penuh dengan keraguan dan rasa tidak percaya diri?
“Berhenti melamun, isi kepala kamu harus diringankan Na menjelang ujian.”
Sena memejamkan mata saat Aksa merengkuhnya dalam pelukan, mencoba menenangkan batinnya dengan menghirup kuat-kuat aroma tubuh Aksa.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You | TAMAT ✔
RomansaGara-gara tidak bisa log in repository kampus sebelah, demi mendapat referensi untuk skripsinya, Sena rela mencari info dan menghubungi langsung Danadhyaksa, pemilik penelitian incaran dia. Masalahnya, sudah bicara baik-baik, eh, dibilang Kang Calon...