Kebingungan memenjara isi kepala Sena begitu yang pertama dia lihat adalah eternit asing. Dia mengerjap beberapa saat dengan tubuh lemas, sebelum menunduk dan langsung terduduk begitu sadar ada selembar selimut mengurungnya. Dengan dada yang terus bertingkah tidak karuan, pandangan Sena menyebar memindai sekitar. Bentar! Ini kenapa? Bingungnya.
Baru begitu dia menemukan kesadaran, segera Sena memejamkan mata memaki diri sendiri. Sial, gue ketiduran di sofa! Sena menggigit bibir bawahnya. Padahal tadi kan hanya ingin rebahan.
"Sudah bangun?"
Suara barusan seketika membuat pandangan Sena beralih ke dapur, di sana, Aksa berdiri dengan posisi bersedekap sambil memegang sendok sayur. Sena meringis merasa tidak enak. Perasaan tadi Aksa hanya pamit ke toilet, lalu suasana sunyi menghanyutkan Sena untuk tiduran di sofa, berujung selembar selimut mengurungnya.
"Maaf, Mas," ringis Sena.
"Kamu baru di tinggal sebentar sudah main tepar saja. agak lain ya," kata Aksa lalu memutar tubuhnya membelakangi Sena. Sena hanya mampu menipiskan bibirnya. Kebiasaannya yang mudah tidur di sembarang tempat memang sulit sekali dia kendalikan.
"Mau ke mana?" bingung Aksa begitu Sena cepar-cepat berdiri dan melipat selimut.
"Mau balik," beo Sena jujur. Sudah hampir malam, dan dia memang harus balik. Atau ... Aksa mau dia bayar pakai beres-beres dulu?
"Semudah itu?" santai Aksa.
Sena mengerjap. Jangan-jangan dia beneran disuruh beres-beres.
"Mas ma–" "Nggak makan dulu?" ucap mereka bersamaan.
"Eh!" respons Sena terkejut.
Aksa meletakkan manggung dengan asap yang mengepul. Sena tidak tahu itu sayur apa karena jarak mereka.
"Makan dulu. Tanggung, habis itu saya antar balik. Gimana?"
Masih dirambang kantuk, Sena tetap mengangguk lalu meletakkan selimut yang sudah dia lipat di atas sofa. Dia juga lapar lagi. Toh, Aksa menawarkan kan?
"Maaf ya, Mas. Saya malah merusuh di apartemen, Mas," tulus Sena sambil mendekati Aksa.
Aksa menyeringai bersamaan dengan tangannya yang menuangkan air putih ke gelas sebelum mengulurkannya kepada Sena. "Pernah kamu nggak merepotkan saya?"
Sena cemberut. "Iya, deh," pasrahnya lalu meminum air putihnya. Bagaimana pun, Sena sadar kok banyak merepotkan Aksa. Lebih-lebih seharian ini. Aksa emang ngeselin, tapi dia penyabar.
Dan saat melirik meja makan, ternyata Aksa memasak sayur asam dan beberapa tempe juga tahu. senyum Sena merekah. "Wah, sayur asam," hebohnya.
"Suka?"
Sena mengangguk semangat. "Udah lama banget nggak makan sayur asam, mama nggak bisa masak karena suka gagal rasanya. Nggak pas, yang bisa almarhum papa," kekeh Sena yang justru membuat Aksa terdiam dan gerakan tangannya yang memindahkan piring berhenti di udara. Sena menoleh pada Aksa dan mengernyit melihat ekspresi aneh Aksa.
"Kenapa, Mas?" bingung Sena.
"Almarhum papa?" beo Aksa.
"Ahhhh!!!" Dan begitu Sena sadar arah pembicaraan Aksa, segera dia menepuk gemas bahu Aksa. "Nggak usah kaget gitu, Mas."
"Kamu bicarain papa kamu santai banget."
"Karena sudah iklhas, Mas. Masa harus nangis?" kekeh Sena.
"Saya turut berduka cinta, Na." Ini Aksa beneran. Dia bahkan tidak tahu kabar kematian papa Sena Dan Lukas. Kemungkinan bukan saat Lukas duduk di bangku sekolah menengah akhir. Artinya saat keduanya tidak lagi tahu kabar masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You | TAMAT ✔
RomanceGara-gara tidak bisa log in repository kampus sebelah, demi mendapat referensi untuk skripsinya, Sena rela mencari info dan menghubungi langsung Danadhyaksa, pemilik penelitian incaran dia. Masalahnya, sudah bicara baik-baik, eh, dibilang Kang Calon...