Part 42

4.8K 364 19
                                        

Al termenung memikirkan perkataan Tania, saat ini Tania sedang membeli minuman. Bagaimana Tania bisa tahu? Dari siapa Tania tahu.

Al mengusak rambutnya dengan kasar, pusing memikirian hal yang jelas-jelas ia sembunyikan dari semua orang. Ia memegangi perutnya yang perih sesekali mengeluh sakit.

Al bersandar pada kasur rumah sakit, ia menutup matanya menggunakan telapak tangan yang terbalut infus. Ia memijat pelipisnya dengan pelan, seakan seluruh tenaganya habis.

"Al" panggil Caca masuk kedalam ruangan inap Al.

"hm" balas Al seadanya.

Caca duduk disamping Al, ia mengeluarkan parsel yang hendak ia buang tadi. Caca, gadis yang keras kepala itu tetap goyah dengan apa yang otaknya katakan untuk melupakan Al.

"Keadaan lo gimana sekarang?" tanya Caca meletakan parsel dimeja.

"Baik" balas Al singkat.

Caca menunduk meremat pelan celana rumah sakit miliknya. Mereka diam tak bersuara hanya ada suara decakan dari selang impus.

"maafin gue, gue udah ngerepotin lo" ujar Caca memberanikan diri berucap.

Al diam tak membalas ucapan Caca, ia hanya memandangi wajah Caca yang memerah.

"lo... juga gimana?" tanya Al sedikit ambigu.

"hah?" beo Caca tak paham.

Al berdecak dengan jawaban Caca. Saat keheningan melanda, Tania datang membawa cemilan dan kopi, ia duduk disisi lain ranjang Al.

Mereka bertiga diam tak bersuara, atmosfer berubah menjadi berat diantara ketiganya. Tania yang melahap makanannya sesekali menatap Caca dengan tajam, Caca hanya memperhatikan Al tak memperdulikan Tania.

"Al rambut lo udah panjang dipotong gih" ucap Caca memberi saran.

"lo siapa?" tanya Tania bersedekap dada.

"gue temennya emang kenapa?" jawab Caca.

"ngatur-ngatur orang, pacar bukan siapa bukan" ucap Tania sensi.

"lo juga sama, bukan pacar bukan siapa. Emangnya kenapa kalau gue ngasih saran?kok lo yang sensi? "

"maksud lo apa?!" ucap Tania meninggikan suaranya bahkan ia berdiri dari duduknya.

Caca ikut terbawa emosi, ia juga berdiri menantang Tania. Terjadi perang sengit diantara keduanya.

"shhh" Al mengeluh sakit diperutnya menyadarkan mereka berdua dari perang sengitnya.

"Al lo kenapa" tanya Caca panik.

"buta mata lo? jelas-jelas Al sakit pake nanya lagi" ucap Tania geram.

Caca membantu Al minum namun direbut oleh Tania. Caca hanya diam berada diantara keduanya, ia memperhatikan Tania begitu telaten membantu Al.

Entahlah tapi, Caca sudah yakin jika harus memindahkan hatinya untuk seseorang yang lebih mencintai dirinya dari pada dirinya sendiri, ia melihat kearah jendela disana ada El yang tersenyum kearahnya.

Haruskah Caca berpindah hati? Tapi kesiapa?.

Terkadang kita lupa apa yang harus kita lakukan untuk dicintai yaitu mencintai diri kita sendiri dulu.

...

Al sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, ia ragu-ragu masuk ke dalam rumahnya sendiri. Tempat yang disebut rumah bukan berarti rumah.

Al menarik kenop pintu dengan perlahan, bukan karena takut tapi karena ia muak mendengar ucapan kedua orangtuanya yang selalu sama 'menganggapnya anak pembawa sial'.

Saat Al melangkah masuk ia dikejutkan dengan Anisa yang menyiramnya dengan air. Al menutup matanya saat air itu mengenai wajahnya.

"MASIH INGAT RUMAH KAMU?? LIHAT BERAPA HARI KAMU NGGAK PULANG?! HA?!." ucap Anisa setelah menyiram Al dengan air.

Al mengelap bekas siraman tadi, ia kemudian menatap tajam kearah Anisa.

"Kenapa anda peduli? Bukanya saya bukan anak anda? Saya juga nggak sudi punya ibu kayak anda"

Plak

"Anak nggak tau diuntung masih mending kamu saya lahirin belum saya buang! Contoh El dia nggak pernah buat saya kecewa nggak kayak anak sialan seperti kamu!"

"Yasudah kenapa anda tidak membuang saya ataupun menggugurkan saya sewaktu dikandungan? Kenapa?! Kenapa hanya saya yang tidak dianggap anak oleh anda? Kenapa?. Apa karena saya anak haram? Lantas El? Lalu dia anak apa?!"

Al mengeluarkan perasaannya selama ini, bagaimana perasaannya ketika hanya El yang dianggap anak oleh Hans dan Anisa, perasaan orang tua memang selalu tepat tapi perasaan anak? Orang tua selalu tidak mendengarnya.

Anisa bungkam mendengar ucapan Al dan Al hanya terkekeh sarkas lalu pergi meninggalkan Anisa yang mematung. Sebelum pergi ia membisikan sesuatu ke Anisa.

"saya memang bukan anak anda, tapi saya juga manusia seperti anda" bisik Al lalu meraih ranselnya.

"Anak sialan" umpat Anisa.

Dan El hanya bersedepkap dada melihatnya merasa puas setelah menggompori bundanya bahwa Al pergi tak jelas.

Mampus lo.

...


Al berbaring diranjangnya, ia melihat kearah jendelanya yang terbuka. Ia lagi-lagi mengeluh perih diperutnya.

Al berdiri lalu meraih kertas yang ia sembunyikan. Ragu-ragu ia membukanya dan melihat Hasilnya. Ia tersenyum, perlahan lahan ia meneteskan air matanya.

"sebentar lagi, mungkin sebentar lagi" ulangnya mengulang kata yang selalu membuatnya kuat.

"Gue capek, bisa nggak gue mati?. Capek nggak dianggep, capek disalahin terus, gue capek." ucapnya menggores silet ke pergelangan tangannya sendiri.

"anak sialan? Lalu El apa? Anak anjing?. Anak nggak tau diatur? Lalu El apa?. Kenapa hidup gue nggak adil banget. "

"Gue pengen mati" ucap Al tersenyum.

Mati....ya?

...

Hidup itu nggak adil, ia berpihak pada apa yang dilihatnya bukan yang merasakannya.

Indramayu, 18 Desember 2021.

Blue Sky [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang