Di sebuah rumah sakit, terbaring seorang gadis dengan balutan baju rumah sakitnya. Tepat di sebelahnya, berdiri tiga orang gadis yang menatap gadis yang tengah berbaring tersebut.
"Kak Asya kapan bangun, Kak?" tanya anak perempuan. Tak lain adalah Silla, adik dari Ken.
Zila mengusap rambut adik dari pacarnya, lalu menatap Asya yang masih memejamkan matanya. "Mungkin sebentar lagi."
Dan gadis yang satunya lagi, berjalan menuju sofa lalu meregangkan tubuhnya. Setelahnya, ia meraih tas selempang yang di gunakannya. "Zil, aku pulang dulu gak apa-apa 'kan? Aku mau istirahat."
Zila mengangguk mengiyakan. "I—iya, gak apa-apa. Kak Asya biar bareng aku aja."
Cindy mengangguk dan berlalu keluar.
Zila menatap Silla yang tampak memperhatikan wajah Asya lamat-lamat. Tangan anak itu naik dan sesekali memainkan pipi Asya dan mengusapnya, ya berupaya membangunkannya. Tapi hasilnya nihil.
"Silla capek? Mau tidur?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Silla sontak mengangguk antusias.
"Tunggu sebentar lagi, ya? Kak Ken sama Kak Saka bentar lagi datang. Baru kita pulang. Oke?" ucapnya dengan lembut.
Silla mengangkat tangannya. "Oke."
***
Lain halnya dengan Devan dan juga Mel yang tengah berada di luar negeri. Kedua orang tua Asya itu kini tengah berada di Mansion milik Papa Mel. Di dalam, suasana tampak sedikit ramai akibat mereka kedatangan tamu yang memang belum di undang.
Berada dalam keadaan itu selama hampir beberapa jam lamanya, membincangkan sesuatu yang penting. Kini pandangan mereka semua mengarah pada sebuah televisi besar di hadapan mereka, yang menayangkan tayangan kejadian beberapa tahun lalu, saat Asya kecelakaan dan mengakibatkan gadis itu koma.
"Apa itu benar Anda?" tanya Deri, Ayah dari Mel. Kakek, Asya.
Faren yang duduk di kursi single menatap ke arah layar di hadapannya, dan tanpa ragu dirinya mengangguk mengiyakan. Tak ada gunanya berbohong, itu juga tak akan menguntungkan dirinya. Faren memperbaiki posisi duduknya sebelum menjelaskan.
Di samping kursi Faren, ada Devan dan juga Mel yang tengah duduk, menatap ke arahnya.
"Saya harus menjelaskan mulai dari mana? Saya sudah lupa sedikit kejadian itu," ungkapnya.
Devan menghela napasnya berat, cara menjelaskan orang di hadapannya ini pasti akan tak jauh berbeda dengan terakhir kali dirinya menjelaskan karena kesalahan yang di perbuatnya bertahun-tahun lalu.
"Aren yang celakain Asya, anak aku?" Mel akhirnya mengeluarkan suaranya.
Faren yang tadinya menatap layar di hadapannya kini berbalik dan menatap Mel dengan menggeleng kecil. "Demi apa pun, saya gak pernah ada niat jahat dengan Asya."
"Lantas?"
Kini, Faren berbalik menatap Devan. "Tunggu sebentar. Saya ingin mengingat kejadian itu terlebih dahulu."
Baik mereka semua yang berada di situ terdiam, menunggu pria itu mengingat.
Hampir lima menit dirinya berusaha mengingat, pria itu kemudian menampilkan senyumnya. "Saya sudah ingat ... Kejadian itu, memang saya sedikit salah."
Mel mengerutkan keningnya tak mengerti. "Maksudnya?"
Faren menarik napasnya terlebih dahulu. "Saat itu, saya berniat untuk menemui putri saya. Memang, waktu itu saya baru pulang dari Prancis. Dan kebetulan ada waktu, jadi tak ada salahnya saya untuk menemui Cindy," ucapnya tersenyum miris. "Mengingat hubangan saya dengan Cindy memang renggang, niat itu akhirnya saya urungkan, dan memutar balik arah."
KAMU SEDANG MEMBACA
TARASYA [END]
Teen FictionSequel of DEVAMEL Singkat saja, ini sebuah kesedihan yang tertunda. Kisah tentang seorang Dhea Tarasya Leander, gadis cantik, imut dan juga pintar. Tapi di balik itu semua, ia memiliki sifat yang childish, egois, dingin dan juga bodo amat dalam seke...