[43] Pertanyaan

5.3K 357 502
                                    

“Yang kamu cintai saat ini, bisa saja pergi esok hari. Tak perlu berlebihan, karena mencintai juga perlu batasan.”

☘️☘️☘️

Cukup dua kali mengerjapkan matanya,
Asya bangkit dari acara tidurnya lalu menatap sekelilingnya. Setelahnya, ia kembali menatap orang yang tengah duduk tepat di sisi tempat tidurnya kini sedang tersenyum ke arahnya.

Sejenak Asya menatap tangannya yang sedang di infus sebelum akhirnya menatap seseorang tadi.

Tangan orang itu naik untuk sekedar mengelus rambut putrinya. "Asya apa kabar?"

Asya kembali mengerjap polos. "Mami udah pulang?" Setelah bertanya seperti itu, Asya bangkit dari tidurnya. "Mami gak apa-apa? Waktu penerbangan gak apa-apa?"

Mel tersenyum hangat, kemudian tangannya menggenggam tangan mungil Asya. "Asya emang mimpi apa?"

Terdengar suara hembusan napas dari Asya, gadis itu tampak cemberut lalu maju sedikit. Saat merasa nyaman, barulah ia menarik tubuh Mel untuk ia dekap. Matanya ia pejamkan sejenak.

"Asya kenapa?" Suara lembut itu berhasil membuat Asya membuka pejaman matanya.

"Kemarin lusa ... Asya mimpi Mami sama Papi naik kereta, terus keretanya kecelakaan." Asya menyembunyikan kepalanya di pundak Maminya. "Asya liat ... Asya liat— keretanya terbakar. Te—terus Mami sama Papi— Asya lupa," cicitnya di akhir kalimat.

"... Terus, kemarin Asya mimpi lagi," adunya. Gadis itu melepas pelukannya lalu menatap Maminya yang tengah menatapnya dalam. "Pesawat yang Mami sama Papi tumpangi, gak bisa di lacak."

Asya menarik napasnya dalam-dalam, lalu menampilkan senyum paling manisnya. "Tapi mimpi Asya gak jadi kenyataan. Sekarang Papi sama Mami udah bareng Asya lagi. Jadi, gak ada yang perlu Asya khawatirin."

Mel tersenyum singkat. 'Itu memang terjadi, sayang.' Setelah membatin seperti itu, Mel menggelengkan kepalanya, guna menghilangkan kegugupan beserta ketakutannya saat itu, kejadian yang masih terbayang di benaknya.

"Mami."

"Hm?"

"Papi kenapa usir Saka? Kenapa marahin Saka?"

Mel terdiam, ia tampak memikirkan jawaban yang sesuai. Lalu, dengan suara yang sedikit ragu, wanita itu menjawab, "Mungkin ... Saka orangnya gak baik buat Asya."

***

Setelah memastikan keadaan Asya yang sudah cukup membaik, gadis itu sudah mulai lincah naik turun tangga di rumahnya. Bahkan, gadis itu sekarang tengah berlari menuruni anak tangga guna menghampiri seseorang.

Saat tiba di ruang keluarga, Asya berhenti sejenak, matanya yang polos mengerjap beberapa kali kala melihat seorang pria yang tengah duduk tepat di hadapan Papinya.

Memilih mengabaikan orang tersebut, Asya lantas berjalan mendekat dan duduk di samping Devan. Lalu dengan santainya, ia menunjukkan cengiran khasnya. Tapi tak bertahan lama, setelah manik matanya melihat siapa orang di hadapannya.

"Pak sopir?" tebak Asya girang.

Pria yang Asya tunjuk saat ini tersenyum singkat. Ternyata tak salah, anak gadis di hadapannya ini ternyata masih mengingatnya. "Saya sudah bilang, panggil Om saja."

Asya mengangguk semangat. "Asya belum nanya, Om namanya siapa?" Katakan saja Asya saat ini tengah kecentilan melihat pria di hadapannya. Sama halnya dengan waktu seorang psikolog datang untuk memeriksanya, sifatnya akan sama.

TARASYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang