[59] Lelah

9K 528 289
                                    

“Bukan lemah, hanya saja setiap orang memiliki titik lelah tersendiri.”

☘️☘️☘️

Setibanya di parkiran rumah sakit, Asya segera turun dari atas motor Zuan. Mulai dari melepas jaket milik lelaki tersebut, lalu melepas helmnya juga.

"Makasih, Zuan."

Zuan menerima benda tersebut lalu berdehem sebagai balasannya. Tatapannya beralih pada rumah sakit di hadapannya.

"Siapa yang sakit?"

Belum sempat Asya menjawab, suara deringan ponselnya berhasil mengalihkan perhatiannya. Gadis itu kemudian meraih ponsel di sakunya lalu menatap nama sang penelepon.

"Assalamualaikum, Mi."

"Waalaikumsalam. Kamu kapan pulang, sayang? Hari ini jadwal kamu ke psikiater loh. Kabari Mami kalau kamu udah sampai rumah sakit, ya? Mami temanin kamu ke psikiater."

Asya meremat erat ponsel di genggamannya. Dengan kondisi Maminya yang belum pulih secukupnya, wanita itu masih saja memikirkan kesehatannya.

"Gak usah, Mami temanin Papi sama Bang Kis aja."

"Loh kenapa?"

"Asya ... Asya bareng Saka kok," katanya dengan memejamkan erat matanya.

Terdengar suara kekehan kecil dari seberang sana. "Udah baikan nih sama Saka? Yaudah, kalian berdua hati-hati loh di jalan. Kalau udah selesai, kabarin Mami. Titip salam juga buat Saka ya."

Asya semakin meremat roknya. Maafkan dirinya yang telah berbohong ini. Ia hanya tak ingin membuat Maminya semakin repot dengan menemaninya ke psikiater.

"Iya, Mami."

"Kalau di temanin sama Saka, Mami gak akan larang dong. Kalau gitu jangan lupa makan juga ya sepulang dari psikiater. Jangan sampai sakit."

"Udah makan kok, Mi."

"Pinter. Habis itu makan lagi, oke. Kalau gitu Asya aja yang matiin sambungan telepon ya," ujar Mel di seberang sana.

"Mami duluan dong, masa Asya," ujarnya dengan cemberut.

"Oke, Mami matiin ya. Baik-baik bareng Saka, sayang!"

Asya tersenyum getir. "Iya, Mi."

Setelahnya, panggilan sudah terputus, Asya kemudian menaruh kembali ponselnya di dalam tas. Ia membuang napasnya secara kasar. Perasaannya mendadak tak enak setelah berbohong demikian.

Asya yang tadinya menatap tanah di bawahnya, kini melirik Zuan yang masih menatapnya tanpa berkedip.

"Cuan nungguin siapa?"

"Lo."

"Kenapa nunggu Asya?"

Zuan menggeleng polos. "Gak tau."

Dengan tangan yang saling meremat di bawah, Asya beberapa kali mencuri pandang pada Zuan. Dalam benak ia bertanya, apakah lelaki itu berminat menemaninya ke psikiater?

Ah! Tapi tak mungkin. Asya lantas mengurungkan niatnya yang ingin meminta di temani. Tak apalah, ia pergi sendiri untuk kali ini.

"Gue duluan kalau gitu," pamit Zuan.

Asya membalasnya dengan anggukan lemas. Setelah melihat motor Zuan yang sudah melaju menjauh, Asya berjalan gontai menuju kursi terdekat. Berusaha berfikir, apa yang harus dia pikirkan.

TARASYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang