Setelah kepergian Saka, Risa mulai menenangkan Asya. Bahkan, gadis itu sekarang sudah jauh lebih tenang, meskipun gadis itu bungkam dengan tatapan kosongnya.
Pintu di hadapannya akhirnya terbuka. Dengan gesit Asya bangkit dari kursi dan segera menghampiri sang Dokter—Rey.
"Om Rey, Bang Kis gak apa-apa kan? Bang Kis bisa sembuhkan? Gak ada luka parah?" tanyanya beruntun.
Rey mengulas senyum tipisnya, ia lantas menarik Asya agar duduk di kursi lebih dulu. Jika boleh jujur, dirinya sangat terkejut dengan keadaan saat ini. Dua pasien yang ia rawat baru-baru ini, adalah keluarganya sendiri. Tiga orang sekaligus, masuk ke dalam rumah sakit.
"Asya," panggilnya dengan suara lirih.
Asya menatap Rey dengan tatapan penuh harap.
"Sekarang ... Kris benar-benar membutuhkan donor darah. Bahunya sedikit terlilir dan mungkin dia akan sulit menggerakkan tangannya nanti, tapi kamu gak usah khawatir soal itu, Om akan lakukan perawatan yang terbaik."
Rey lantas memaksakan senyumnya.
"Donor darah?" beo Asya. "Ambil darah Asya aja. Darah Asya sama Bang Kis sama kok."
Risa yang mendengar itu buru-buru berbalik dan menatap Asya dengan mata yang sedikit terbuka. "Sya, lo udah donorin darah buat Papi Devan. Sekarang lo mau donor darah lagi?"
"Gak apa-apa, Asya gak mau Bang Kis sampai kenapa-napa," lirihnya.
Tadi, baik Kris dan juga Asya telah mendonorkan darah untuk sang Papi. Mereka masing-masing mendonorkan dua kantong darah. Dan satu kantong darahnya lagi berasal dari stok rumah sakit yang tersisa hanya satu.
"Om Rey, Bang Kis butuh berapa?"
Cukup lama Rey terdiam, sebelum dirinya menghela napas sejenak.
"Enam kantong darah," katanya dengan berat hati.
Tubuh Asya seketika lemas, jantungnya bahkan berdegup lebih cepat akibat pernyataan tersebut.
"Apa ... Asya bisa?" ujarnya dengan suara yang semakin lirih. Matanya bahkan sudah kembali memanas dengan dada yang terasa sesak. "Ambil semua darah Asya. Ambil semua, yang penting Bang Kis bisa selamat."
"Asya...."
"Ayo, Om Rey. Ambil darah Asya!"
Bruk!
Suara seseorang yang terjatuh di lantai berhasil mengambil alih perhatian mereka semua. Terlihat seorang perempuan dengan tampang khawatirnya kini bangkit dari jatuhnya dan berjalan mendekat.
"Keadaan Kris bagaimana?" tanyanya tanpa basa-basi.
Asya menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan bingung. Mengerti raut kebingungan itu, perempuan tadi lantas menjawab, "Tadi aku hubungin nomor Kris lagi, tapi di angkat sama orang lain. Katanya Kris lagi kecelakaan."
"Kamu siapa?"
Cukup lama perempuan itu terdiam. "Teman Kris."
Asya mengangguk sekilas, lalu pandangannya turun ke bawah menatap lantai keramik. "Bang Kis butuh donor darah," cicitnya.
Perempuan itu mendekat, dan berjongkok tepat di hadapan Asya yang kini tengah duduk di kursi. Ia banyak mendengar cerita dari Kris tentang Asya.
"Berapa banyak?" tanyanya lembut.
Asya mengangkat jarinya enam.
"Aku bisa bantu," ucapnya. Bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan. Bibirnya berkedut dan menampilkan sebuah senyuman tulus. "Aku bisa telfon teman Kris, dan minta mereka buat bantu kalau semisal darahnya sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
TARASYA [END]
Teen FictionSequel of DEVAMEL Singkat saja, ini sebuah kesedihan yang tertunda. Kisah tentang seorang Dhea Tarasya Leander, gadis cantik, imut dan juga pintar. Tapi di balik itu semua, ia memiliki sifat yang childish, egois, dingin dan juga bodo amat dalam seke...