Hai hai, lanjutan dari Hose El Rumi disiniii
Siap untuk penuhin komen di part ini?
CAST HOSEA EL RUMI
**
Sore itu dihari kelulusannya juga Namu, mereka mengunjungi pawai festival di alun kota. Iseng aja sih, disana juga banyak jajanan, Namu ngincernya itu kalau Hosea pastinya acara utamanya, katanya ada dance cover gitu, dia tertarik banget pasti buat ngeliat gituan.
Ngomong-ngomong Hosea sekarang ditinggal di bangku taman sendirian, sedangkan si Namu lagi nyari jajanan tapi udah sejam berlalu belum ada tuh tapakan kakinya muncul. Dia menghela napas panjang, padahal acara utamanya dikit lagi mulai, dan dia pengen banget liat dari deket.
"Bodo ah! Cape gue ngikutin lo."
"Ay! Elah lo mah, Abang belum nemu makanannya."
Suranya berasal dari arah kiri Hosea, dua pemuda yang sekira umurnya diatas dia 2 tahunan. Mereka duduk disampingnya, kebetulan bangku tamannya panjang dan hanya tempat dia yang ke sisa kosong.
Hosea kembali melihat depan, berusaha untuk mengabaikan kedua muda disampingnya yang masih cekcok.
"Ay, ayolah lo mah gak setia ama gue." Ucap cowok yang bahunya kayak panjang galah mbahnya, nggak ebuset serem.
"Berisik sumpah, gue capek." Dibalas oleh cowok yang lebih mungil dan memiliki mata kucing yang tajam, Hosea bahkan tidak berani menatap lama.
"Eh, boleh duduk kan? Sorry kita berisik ya?" Hosea menoleh pada cowok berbahu lebar. Ia menggeleng lalu tersenyum kecil.
"Nggak kok–"
"Biru, Sagara Xabiru."
"Nggak kok Bang Biru." Hosea memamerkan senyum giginya.
"Nama lo–"
"Hosea Bang, Hosea El Rumi."
Biru mengulurkan tangannya dan disambut jabatan hangat oleh Hosea. Kemudian ia melirik cowok disebelah Biru yang diam memandang lurus ke arah panggung.
"Oh! Dia–" Biru hampir berbicara jika tidak dipotong oleh temannya itu.
"Mahesa Ayudha."
"Oh, hai Bang Yudha, Bang Biru." Sapa Hosea ulang, dia agaknya tidak secanggung seperti tadi.
"Sendiri?" tanya Yudha tanpa mengalihkan pandangan pada panggung yang sedang ajang pelelangan jodoh. Lelang gak tuh.
"Sama temen, orangnya lagi cari jajanan." Yudha mengangguk, dan seketika tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka.
Acara utama sudah dimulai, lomba dance cover yang terlihat sangat menarik dimata Hosea, bahkan beberapa kali gerak tubuhnya mengikuti musik yang dimainkan.
"Lo suka dance?" tanya Biru, sedari tadi matanya tidak bisa henti melihat pergerakan dari Hosea yang duduk dikanannya, walaupun hanya gerakan halus.
"Suka Bang."
"Nggak ikut? Kayaknya badan lo udah terbiasa gerak – gerak gitu. Keliatan." Ungkap Biru, sekali melihat saja tau, jika Hosea pintar dance dan memiliki tubuh yang luwes.
"Nggak Bang, nggak dibolehin. Cukup jadi masa lalu aja." Tidak tahu kenapa, Hosea berbicara dengan mudah pada kedua orang yang baru ia kenal, biasanya tidak. Menjadi keanehan baginya setelah berbicara seperti itu.
"Bokap?" tanya Yudha, kali ini cowok bermata kucing itu melihat kearahnya. Hosea mengangguk pelan.
"Katanya lo suka? Kenapa nggak lakuin? Takut?" Yudha kembali berbicara, jarang – jarang sekali, Biru saja hampir mengeluarkan matanya.
"Lo takut diomelin Bokap? Serius? Berarti lebih mending tertekan sama tuntutan seumur hidup?" Hosea tertegun, ini sebuah pilihan atau ancaman?
Biru menepuk paha Yudha pelan dan berbisik pelan. "Mulut lo Ay."
Sore itu, Hosea banyak terdiam. Bahkan saat Namu datang dia hanya mengangguk dan memakan jajanan yang dibelikan Namu dengan tak semangat. Ucapan Yudha dan Biru masih terngiang dikepalanya, begitu menusuk dan menyentuh sekaligus.
"Yang mengendalikan hidup lo sendiri, kalau bukan nahkoda yang mengendalikan kapalnya, bagaimana keadaan kapalnya saat dilautan? Terombang-ambing? Atau justru bisa aja tenggelam dalam kegelapan dasar laut."
"Apa ya Hos, Bang Biru kasih tau nih. Lo kayak gini artinya lo membunuh diri secara perlahan, emang nggak langsung mati, tapi perlahan dari dalam sini–" Biru menunjuk dada Hosea,
"– dan berakhir disini." Jari telunjuknya mengarah ke kepalanya.
"Lo bisa gila Hos, karena hal sekecil itu."
**
Keduanya berjalan memasuki Pinkeu Cafe, suara lonceng yang berbunyi dibarengi pintu yang terbuka mengalihkan Biru yang sedang mengelap cangkir putih di meja dekat kasir. Seperti biasa reaksinya akan berlebihan jika mereka datang ke tempat serba pink itu.
"WIH! Ada si tajir Namu dan si pemes Hosea– walaupun nggak sepemes gue sih." Dia memutar meja kasir dan menghampiri dua muda yang duduk dimeja dekat jendela.
"Mau ngapain lo berdua ke mari?"
"Sarapan Bang." Ujar Namu menyengir, yang disikut Hosea tak suka.
"Telat lagi lo? Nggak usah dibiasain deh, gak sehat idup lo nanti." Biru berceramah, tapi tidak sebawel Hosea menurut Namu.
"Hehe, biasa ya Bang." Biru mengangguk dan beralih pada Hosea, "Cheese cake ya Bang, sama milkshake stoberi." Biru memicing.
"Nggak ada utang-utangan lho Hos." Hosea terbahak. "Dia gue traktir Bang." Ujar Namu sembari memainkan ponselnya, membalas pesan grup organisasinya.
"Hos, besok dateng lo ke mari, gue ada kelas jagain ye." Hosea memberikan jempol pada Biru, memang jadwal kerjanya besok sih.
"Oke sip! Ditunggu." Biru menjauh, dan menyiapkan menu untuk dua orang yang sudah ia anggap sebagai adiknya.
"Gue dapet poster lomba dance dari kampus sebelah, lo nggak mau ikut? Katanya bisa go internasional kalo menang." Ujar Namu memperlihatkan layar ponselnya.
"Lo kan tau alasan gue, Bapak gak akan semudah itu buat ijinin gue, apalagi kalau menang nanti muka gue pasti bakal terpampang. Gue takut Bapak bener-bener murka, di ijinin ikut UKM dance aja gue bersyukur." Ucap Hosea, memilin lengan kemejanya.
"Tapi lo mau kan? Lo aja percaya diri kalau lo bisa menang. Kenapa harus mengubur sesuatu yang akan bersinar Hos?"
"Bapak malu Nam, dia malu punya anak cowok yang nggak tegas dan gemulay kayak gue."
"Bapak malu sama gue." Hosea kembali mengulang ucapannya, mengakui sesuatu yang pertama kali Namu dengar.
Ada ya orang tua malu punya anak yang bakal bersinar melebihi bintang?
**
Selamat hari ibu untuk pembaca aku yang udah jadi ibu :> sebandel apapun anak jangan sampai nanti kita jadi yang menjadi alasan tertekannya anak kita sendiri.
see you in the next part
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...