To my readers, thanks for all your contributions to this book. Without you'll Gadara is nothing special, i always hope if this book can be useful to you, messages, feelings or something like that. So, for the last..
Siap untuk penuhin komen dipart ini?
**
Terhitung kurang dari delapan belas jam sebelum melepaskannya. Rasanya baru bertemu dengannya sebentar, wajah bak bakpau rebusnya, tubuh yang kurus namun tetap berwibawa wujudnya, ucapan pedasnya tanpa pandang bulu.
Mereka akan merindukan itu semua, pretty sure.
"Gue harus apa biar lo tetap disini?" Tanya Biru dengan kepala dinginnya. Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi, isi kepala sudah dingin dan berpikir matang bisa dilakukan.
"Nggak ada. Cukup lebih bahagia aja setelah gue pergi nanti."
Biru mendesah, tidak memiliki cara lain untuk membujuk Yudha apapun saran yang ia berikan. Dia menyadari jika ini sama sekali bukan ranahnya, namun kata hatinya selalu berbisik untuk menahan Yudha apapun yang terjadi.
"Lo mau kemana? Ayo kita habisin waktu bareng. Yang lain udah ngasih tau mau kemana, ayo tinggal lo doang."
Biru melirik tidak suka, sudah macam ditinggal mati saja tingkah mereka itu.
"Segampang itu?"
Yudha menggeleng. "Nggak gitu, mereka lepas gue karena hari itu pasti akan datang Bang. Gue akan balik ke sana, ke Surabaya dengan resiko apapun."
Biru sangat tidak rela dengan situasi sekarang, semuanya harus serba memilih. Jika tidak ada kata pilihan mana mau dia berpikir keras sampai susah tidur.
"Ayo mancing sama gue, sampai jam 6. Kita bicarain tentang banyak hal."
Yudha tersenyum, dia mengangguk dan bersyukur jika Biru tak lagi seperti kemarin. Dia sangat paham, seberapa sakitnya Biru harus melepaskan. Ada rasa bersalah saat pilihan ini diambil, Biru memilih tinggal disini karenanya, alasan pertama tidak ingin meninggalkan Yudha sendiri dirumahnya. Namun lihat, sekarang justru dia yang meninggalkan Biru seorang diri.
Jahat? Ya. Semua orang bisa menjadi jahat saat terdesak.
Kali kuning, menjadi destinasi keduanya. Berbekal nasi goreng dan teh hangat dalam termos, keduanya menyantap sarapan tersebut sambil memandangi hamparan air dan menikmati pemandangan matahari terbit.
"Maaf ya? Kalo gue belum bisa jadi abang yang baik buat lo."
Yudha merasa terpanggil dengan pertanyaan itu, sebab siapa lagi selain dia yang bisa menjawab?
"Maafnya nanti aja ya Bang? Gue juga belum bisa jadi adik yang baik. Ninggalin lo sendiri padahal lo pertahanin untuk bareng gue terus."
Yudha itu pemuda yang baik, sayangnya orang lain selalu melihat dia sebelah mata. Sedari tadi dirinya sangat resah. Jika akhir keduanya memang bukan terbaik, bukankah seharusnya harus ada momen terbaik pula untuk bisa dikenang?
"Gue juga nggak nyangka bakal gini sih.. tapi lo tenang aja, Gadara nggak cuma satu, mereka bisa temenin gue disini."
Yudha tersenyum, dia menyadari satu hal ini. Gadara memang hanya satu nama namun, Gadara tetaplah ketujuh pemuda yang bertekad mencapai puncak bersama-sama tanpa meninggalkan salah satunya, itulah Gadara. Walaupun salah satunya hilang, mereka akan menunda perjalanan dan menunggu kembalinya sang kawan.
"Berarti lo rela gue pergi?"
Biru terdiam sejenak, menatap dalam binarnya. Setiap rasa bercampur menjadi satu, menciptakan rasa yang kian baik. Mengikhlaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...