Kangen notif dari kalian:(
Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Mereka bilang harapan itu hanya akan menjadi angan, tapi baginya harapan adalah realisasi. Sesuatu yang akan terjadi sewaktu-waktu, diwaktu yang tidak bisa dikira dan tinggal menunggu nasib keberuntungan.
Tidak ada yang salah dengan itu, mau selogis apapun pemikiran seseorang tidak ada yang salah dengan itu, hal yang salah yakni menyerah sebelum jatuh.
Lantas, bagaimana jika sudah jatuh? Apakah boleh menyerah?
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berdiam, dan berseru doa dalam hati untuk kesembuhan salah satu dari mereka. Kebisuan melihat Hosea yang terpejam masih dalam pengaruh anetesi, menggoyahkan kepercayaan mereka jika pemuda itu tidak akan selalu memberikan senyum cerah kepada mereka.
He's human too.
Terasa deja vu, mereka kembali berkumpul di rumah sakit bersama orang yang sama. Saling menyalahkan diri setelah kejadian ini, menyumpahi diri atas ketidakbecusan menjadi seorang sahabat.
Menyesali mengapa Hosea tetap diam saat kondisi sedang kurang baik, memaksa diri sampai berakhir di ruang operasi, membentuk sebuah pola jahitan dibagian achilles tendon.
"Gadara nggak berguna. Gunanya kita apa?" Dia yang sedari tadi membisu, memecah keheningan.
"Jaga omongan lo." Peringat Biru pada pemuda di sebrangnya.
"Bener kan gue? Udah berapa kali kita kayak gini?
Elo, Namu, sekarang Hosea. Terus siapa lagi abis ini?""Yudha jaga omongan lo gue bilang." Biru sama frustasinya dengan Yudha, keduanya saling melempar rasa bersalah padahal yang mereka ucapkan bukan lain untuk diri sendiri.
"Ya lo liat! Tadi dokter bilang apa? Lo denger kan?" Semburat merah timbul diwajahnya yang seputih susu.
"Iya! Tapi nggak kayak gini, mau lo bilang kita nggak berguna ya bener! Kita nggak berguna, lo dan gue kita berdua sama."
Putra menyugar rambutnya kebelakang, mendapat kabar mendadak seperti itu bikin emosinya jadi tidak stabil dan semakin ditambah harus menyaksikan debat mulut antar kedua pemuda tertua.
"Stop, please. Cekcok kayak gini nggak bakal balikin dia kayak semula. Kalo bersalah ya sumpahin diri sendiri dalam hati aja sampe mampus, nggak usah debat nggak mutu gini."
Di kursi terujung, Jero memutar balik kejadian yang terekam jelas di kepalanya. Dia menunduk, rasanya bercampur aduk, wajah bahagia Hosea berganti raut kesakitannya terus terngiang dalam benaknya. Hal itu memicu traumanya kembali, ingatkan pada kelima orang yang sibuk dengan perdebatan tak berdasar untuk fokus pada yang termuda disini.
"Gue nggak tau harus bersikap kayak gimana, kita semua sama-sama salah. Jadi bener kata Putra, simpan dulu emosi kalian dan berharap Hosea bisa cepet sadar." Sahut Namu.
Attala yang sedari tadi menyimak dalam diam jadi teringat sesuatu. "Orang tuanya udah dihubungin?"
Jero mengangkat kepalanya, lalu mengangguk. "Udah, dua jam lagi mungkin sampai sini."
Jero melirik Yudha yang juga tengah melihatnya. "Lo tau maksud gue kan Bang? Lo tau setelah ini apa yang akan terjadi? Kita harus jadi tameng, peduli anjing kalo dia orang tua. Fokus kita disini cuma Bang Hosea, cuma dia."
**
Satu hal yang paling dibenci oleh Hosea, namun tidak bisa karena sosok yang harus dia benci, bukanlah orang yang tepat. Bertindak seakan yang paling benar, mengabaikan kenyataan yang tengah terpojok oleh perbuatan jahat bibir.
Hosea menelan semua kepahitan, dihadapan mereka. Harus termaki dan dipermalukan di depan para sahabatnya.
"Bapak udah bilang! Nggak usah nari-nari kayak gitu!"
Raut wajah pria itu sudah memerah, terlihat sekali menahan amarah. Berbanding terbalik dengan wanita berumur yang tengah mengusap surai Hosea lembut, memberikan ketenangan atau justru menyuruhnya untuk mengalah saja?
"Hosea mau banggain Bapak dengan cara Hosea sendiri. Aku menang kan? Nama aku jadi pembicaraan orang-"
"Dan sekarang kamu cacat!"
Semua yang ada disana tergelak. Siap memprotes ucapan pria yang tengah dilanda amarah besar ini.
"Om, Hosea butuh istirahat dari kegiatan berat, bukan cacat kayak yang om bilang." Ujar Attala penuh kesopanan. Tidak seperti omongan Jero tadi, yang namanya berhadapan sama orang tua harus sopan walaupun kesal setengah mampus juga.
"Ya bahasa simpelnya cacat kan?"
Yudha memalingkan wajah, kepalanya panas sedikit lagi meledak bagai ranjau yang bisa diinjak kapan saja.
"Pak maneh jangan gitu toh, anaknya lagi susah lho ini."
"Yang bikin dia susah kan dirinya sendiri Buk? Kenapa kita yang jadi ikut susah juga?" Masih dengan keras kepalanya bapak, buat yang ada disana pening massal.
"Karena kalian orang tuanya, mau se-buruk apapun Hosea kalian tetap orang tuanya." Namu membuka suara, rahangnya mengeras. Sedikit tidak terima dengan sanggahan beliau.
"Anaknya aja toh susah dibilangin?" Halaunya.
"Ya karena orang tuanya bebal begini." Sindir Putra, tidak tahan melihat Hosea direndahkan seperti itu, terlebih lagi pria itu adalah orang tuanya.
"Buah jatuh dari pohonnya. Jadi jangan ngerasa hina punya anak yang bebal toh induknya juga begini?"
Biru mengacungi jempol kepada Putra dalam diam, memang ya jiwa-jiwa seperti ini patut dibudidayakan.
"Kamu hina saya?" Merasa tersindir, beliau mendekat kearah Putra.
"Loh? Bapak tersindir? Gimana rasanya ditampar sama kenyataan? Sakit kan?" Ujarnya makin menjadi.
"Put udah, nggak papa." Ucap Hosea, rautnya tersirat luka.
"Oh, jadi teman kamu seperti ini?"
"Oke, kayaknya sampai sini aja. Masing-masing dari kita perlu mendinginkan kepala." Namu menengahi perdebatan ini, sama-sama tidak ada yang mengalah dan menyadari kesalahan masing-masing.
"Buk, ayo keluar."
"Loh Pak, ini Hoseanya perlu kita loh." Beliau berdiri saat lengannya ditarik oleh suaminya.
"Nggak, dia butuh temannya, bukan kita."
Keduanya keluar, di dahului oleh sang suami. Pintu yang sebelumnya hampir tertutup kembali terbuka saat Jero mendorongnya dengan kuat.
"Om mikir nggak sih? Bang Hosea selalu mikirin om, dia selalu takut nggak bisa banggain kalian terutama om. Kebaikan apa sih yang kalian janjiin sama dia? Yakin setelah lulus dia bisa bikin kalian langsung bangga? Atau justru tekanan lain yang akan dia dapat?"
Tubuhnya yang ingin lebih dekat di halangi oleh Attala.
"Sadar nggak sih? Dia kerja keras sampai sakit kayak gini hanya untuk om."
"Saya nggak minta."
Jero berdecak, mengacak surainya frustasi, dia menatap Attala yang masih menahan tubuhnya. "Bang kok lo anjing banget sih? Taik lo!"
Attala berjengit, dia tau ini suatu pelampiasan. Tapi tetap saja jika tidak di aba-aba dia akan kaget.
"Bang Hosea bilang hanya dengan cara ini dia bisa berhenti nari. Dia bilang kayak gitu sama saya om sambil nangis."
Kedua orang tersebut terdiam, tidak mempercayai apa yang baru dikatakan Jero. Begitupun Attala dan mereka yang berada di daun pintu.
"Sama mau minta tolong untuk terima satu fakta ini-" Jero menarik napas dan menghembuskanya pelan, sesak melanda.
"Bang Hosea sendiri yang bikin kakinya luka, untuk berhenti nari lagi sama seperti yang om suruh."
"Dia anak baik kan om?"
**
AKU KANGEN BANGET NOTIF DARI KALIAN HUEHUE, AKU SEDIH PART KEMARIN ITU NOTIFNYA SEPIIIII HUEHUE
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...