Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Subuh pukul lima pagi, Yudha dipindahkan ke ruang rawat inap kelas 2, atas permintaannya sendiri yang sempat siuman. Menurutnya VIP berlebihan, ada yang nyaman dan terjangkau kenapa tidak.
Selepas sholat subuh di masjid sebrang, ruang rawat inap yang miliki tiga kasur tak berpenghuni itu langsung terisi oleh mereka. Dua pasien sebelumnya lansia yang sudah menginap disana hampir seminggu lamanya dan keluar bersamaan begitupun dengan satu pasien dewasa akibat DBD yang sudah keluar dengan pasien lansia tadi.
Tidur disatu kamar yang lumayan besar mampu menampung 5 orang dewasa yang melanjutkan tidur selepas sholat subuh.
Ini rahasia umum, diantara mereka yang mampu untuk bayar ruang inap ini hanya antara Namu dan Attala, untuk kasur yang ditempati Yudha murni dibayar oleh Namu tanpa mempertimbangkan ketidaksukaan Yudha yang sungkan menerima bantuan.
Lalu bagaimana bisa mereka mengklaim satu ruang ini untuk ditempati? Attala terlalu royal untuk temannya, ya walaupun baru bertemu tak lama dengan mereka, dia seperti punya ikatan tersembunyi bersama mereka. Dia membayar satu ruang itu lengkap dengan tambahan tiga kasur lantai, mari berpikir logis. Sangat tidak mungkin untuk menampung dua orang berbadan besar dalam satu kasur single bed, tidak nyaman.
Maka demi kenyamanan bersama, dia mengeluarkan kartu selipan dalam dompet pada meja administrasi. Dia rasa rumah sakit tidak akan rugi jika satu ruangannya di sewa untuk beberapa hari, bahkan Attala membayar sesuai aturan. Kurang royal apa dia?
Dia, Putra dan Namu memilih tidur di kasur lantai membiarkan Jero dan Hosea tidur di kasur pasien. Bahkan tanda-tanda Yudha kembali siuman tidak ada. Cowok itu terlalu lelah untuk membuka mata, ini kesempatannya untuk merehatkan diri setelah beragam masalah yang menimpanya.
Attala menepuk lengan Jero dengan kondisi setengah sadar, dia tidur dibawah dan Jero tidur di kasur atas, adiknya ada kelas pagi dan doi susah dibangunkan kalau ditempat sejuk.
"Dek.."
Tidak ada respon, terlihat sangat mengantuk dengan dengkuran halusnya.
"Jer.."
Bukan Jero yang bangun melainkan Hosea dan Namu yang saling pandang sambil menguap.
"Gue ganggu kalian ya?" Attala setengah bangun, masih mengumpulkan raga.
Namu menggeleng. "Gue laper, Hos cari makan yuk." Hosea merenggangkan badan lalu mengangguk, sebelum keluar mereka mencuci wajah agar fresh.
"Ta, itu si kunyuk juga ada kelas pagi. Bangunin tolong." Attala mengangguk pada Hosea.
"Lo mau apa Ta?"
"Samain aja Bang." Namu mengangguk. Mengeratkan jaketnya karena langit Yogya kembali sembunyikan sang mentari.
"Put. Bangun."
Cukup sekali buat bangunin Putra, telinganya sensitif apalagi kalau digoyang brutal begini.
"Pelan anjing."
Attala terkekeh buat suaranya makin terdengar dalam. Beralih ke Jero yang makin nyenyak tidurnya.
Goyangin badan dia dari pelan sampai kencang. Nggak bangun, dia nyerah berakhir duduk di kasur bawah dengan kepala dijatuhkan disisi kasur yang Jero tempati. Pipinya bertumpu disana, pelan dan perlahan dia menyalakan alarm dengan dering yang bikin telinga penging.
Ponselnya ditaruh di bawah bantal Jero dengan volume paling besar. Dia harap dengan cara ini adik kebonya bisa bangun.
"Ngamuk gue nggak ngurus ya, Ta?" Ntah itu pertanyaan atau pernyataan. Tapi Attala lebih suka menganggapnya jadi peringatan.
"Aman."
1
2
3
"ABAAAANGGG!"
**
Rasanya terlalu mustahil jika dalam mimpi, keluarganya masih bersama, tidak ada perpecahan, dia tidak kabur, mama tidak akan terus-terusan sakit, dan papa tidak akan egois meninggalkan keluarganya diambang batas kehancuran.
Memangnya siapa yang mau itu terjadi? Dia lebih suka tidak miliki keluarga sama sekali kalau endingnya akan berakhir seperti ini.
Namun saat membuka mata, mimpimya hancur berganti dengan rasa sakit di bahu dan sesak di dada. Tidak memperdulikan ada Hosea yang terkejut dengan mata membola melihat Yudha hampir terisak.
Hanya dia di dalam ruangan itu, Namu harus mengurus organisasinya dan Attala tidak tahu kemana. Rasa panik menyerang, pertama kalinya lihat Yudha seperti ini bikin hati dia sakit.
"Bang?" mendekat perlahan menyentuh sebelah lengan Yudha yang menutupi wajah.
Ditepuknya lengan Yudha yang berada disisi kasur, sambil sesekali merematnya untuk salurkan kekuatan.
"Capek ya Bang?"
"Gue juga capek kok, harus menuhin ekspetasi orang untuk kepuasan pribadi mereka. Sedangkan gue? Perang batin disini untuk tetap jadi normal."
Hosea tertawa kecil, sebenarnya tidak ada yang lucu, hanya ingin mencairkan suasana.
"Tapi kayaknya gue harus bersyukur deh, karena itu gue bisa sekuat ini, gue bisa ketemu kalian, bahkan ketemu lo Bang!"
"Orang terkuat yang pernah ada di hidup gue, padahal orang bilang kita nggak bakal bisa akur, karena kita matahari dan es."
"Tapi menurut gue ya, matahari bisa kok mencairkan es. Perlahan demi waktu, es itu akan mencair lalu menjadi genangan air yang tenang."
Yudha mendengarkan dengan jelas setiap perkata yang dilontarkan Hosea, dia menyetujuinya dalam hati. Ingin melihat Hosea namun, rasa gengsinya jadi naik saat ketahuan menangis daripada keinginan melihat Hosea.
"Intinya gue selalu ada disaat lo butuhin gue Bang, jangan khawatir tentang merasa sendirian di sini, lo bisa cari gue, lo bisa cari kita." Hosea tersenyum walau dia tahu Yudha tidak akan melihatnya.
"Urusan Bang Biru lo bisa tanya Attala, dia tau sesuatu lebih dari kita semua."
"H..Hos gue mau sendiri." Hosea mengangguk, meremat lengannya sebagai respon lalu keluar dari ruang rawat.
Bahkan sedari tadi mereka tidak sendiri, ada Attala yang menguping sekaligus berbicara via telepon dengan Biru di balik pintu. Memilih sembunyi saat Hosea keluar dan melihat kedalam sekilas, Yudha memunggunginya dengan bahu bergetar. Tampak sangat tertekan.
"Lo dengar kan Bang? Es yang mencair butuh lautan biru untuk menemaninya disaat ketenangan."
"Tolong cepat kembali-"
"Ini bukan permintaan tapi perintah."
**
Lama banget ya aku updet wkwk:) sedang mencari inspirasi dengan membaca, karena penulis adalah pembaca yang baik.
Lovyu
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...