Hampir 2 minggu aku nggak update huhuhu, apakah masih ada yang nunggu book ini??
Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Setelah menghabiskan dua jam perjalanan, keempatnya sampai di pasar bubrah, daerah kosong tak ada pepohonan tetapi bersuhu rendah.
Banyak pendaki yang singgah disana untuk istirahat sejenak sebelum sampai puncak.
Tanpa alas duduk, Hosea meluruskan kakinya.
"Gila, kaki gue."
Yudha berjongkok, rasa berat di bahu mengusik ketenangannya dan semakin diusik saat Putra bersandar di punggungnya dengan tidak tahu diri.
"Minggir." Bukannya menanggapi, Putra semakin bersandar sambil minum dengan khidmat.
Maka yang terjadi selanjutnya, dia tersedak akibat dorongan Yudha.
"Uhuk! Ya Gusti Agung." Bayangkan, betapa kuatnya tenaga Yudha saat lelah seperti ini.
"Batu lagian."
"Dih jorok lo Put." Ujar Biru lihat air yang tembus sampai hidung si Putra. Kuat juga tenaga doi.
Putra seka air di hidung dia, panas bos. Kek ditusuk tawon, nyelekit. Salah pilih sandaran dia, mau nyender di punggung Namu sangsi oy, ketua BEM tercintah.
"Jahat lo Bang, kalo mau dorong gue kasih aba-aba dulu napa ya." Yudha cuman pandang dia kagak minat, kek seolah-olah bilang.
"Bodo amat anjir."
"Ternyata rasanya kayak gini ya."
Semua pasang mata mengarah padanya. "Iya liat tuh, baru setengah jalan aja pemandangannya udah semenakjubkan ini, gue yang penganut bumi datar jadi berubah haluan ke bumi bulat."
"Dih?! Bumi datar? Ngarang dari mana lo?" Sewot Biru, penganut bumi bulat karena pas tk ngeliat globe di ruang kerja emak, jadinya sampe sekarang penganut bumi bulat.
"Bukannya bumi datar ya?" Hosea nyaut, oke Hos, selamat memasuki dunia kejulidan Biru:)
"Teori dari mana lo malih?"
"Ya buktinya kita jalan lurus, kalau pun ada belokkan ujung-ujungnya lurus juga, kalo bulat jalannya bakal melengkung ngga sih.."
Biru diam, dia agaknya sedikit setuju dengan itu. Tapi nggak bisa puas sama teori abalnya Hosea.
"Lo Put?"
"Bulat- seperti bola pimpong, kalau lewat membikin perut kosong, jadi anak jangan kau suka bohong, kalau bohong digigit anj-"
"Nyanyi lo!" Emang sama siapa aja dia jadi korban penistaan. Mana tuh kepala kayaknya langganan banget jadi tempat singgah tangan orang.
Pasang muka cemberut sambil buka bungkus permen, mulut dia pait banget bosqu kayak hidup yang baca.
"Nah kalo lo Ay?"
"Lonjong."
"..."
"Apaan lonjong?"
"Tai lo."
"Uhuk!"
...dan terjadi lagi, kisah lama yang tlah terulang kembali- eh anjim malah nyanyi.
Putra tersedak permennya, mencelos menembus setiap celah-celah dalam kehidupan. Mulus abis, sampe rasanya berasa bunyi "Plung" di perut dia. Kayaknya tuh permen langsung meluncur kagak pake di sterilisasi.
"Hiks Attala, Jero mana si. Gue mendingan dinistain mereka lah, sama kalian gue atit fisik." Jijik jujur, Hosea aja langsung mundur. Yudha nggak usah ditanya, kantung kresek udah ada ditangan dia.
Namu pegang jidat dia, "Waras setengah gila nih." Sehabis itu ketawa ngakak liat muka sedih ala-ala Putra. Kek anjing doberman- eh? Popo- Poppy anjir. Maap popoJ
"Eh Put, Attala Jero saudara tiri? Kok bisa?" tanya Biru, kepo atuh dia. Semua sih kepo, coba kalo satu kampus tau geger kali.
"Ya emak ama bapak dia anu-anu."
G-blok!
"Ngomong yang bener." Yudha tuh gemes banget pengen rawis-rawis rambut Putra trus dijadiin senar gitar:)
"Ya emang anjir, orang nikah siri ya abis akad anu-anu, ya kali nari balet."
"Nggak maksud Bang Biru kok bisa kebetulan gitu." Hosea mendekat, info yang bagus dan berduit.
"Ya mana tau, lo kata gue pencatat Lauh Mahfuzh?"
"Lo kenal Jero?" Yudha telisik Putra yang tampangnya macam jamet kuproy.
"Ya kenal lah, udah satu kos barengan dari awal masuk."
"Tau kalau dia anak ha-"
"BANG PUT!"
Keempatnya toleh dengan kompak. Lihat Jero yang sedang memapah Attala, keduanya tampak berantakan, apalagi sisa jejak darah di jidat Jero yang masih terlihat.
"DEEEK!" Lari lah dia, lihat keduanya khawatir.
"Attala kenapa?"
"Hiportemia Bang, jaketnya dikasih ke gue."
"Trus itu jidat lo kenapa?"
"Di bolongin batu."
"Asu lah."
"HEH UDAH SINI NGAPA MEJENG SITU. REBAHIN DI TENDA."
Nggak tau ya Putra yang kelewat teliti apa gimana, dia baru nyadar kalo Namu sedari tadi masang tenda ditengah-tengah kerusuhan yang mereka buat.
"Lo oke Jer?"
"Oke Bang."
"Kalo ada apa-apa bilang ya Dek, lo nggak tau seberapa rusuhnya Attala khawatirin lo tadi."
Jero mengangguk, memperhatikan Attala yang dipapah masuk ke tenda oleh Biru dan Hosea.
"Loh ada Bang Yudha?"
"Yo, bocah." Jero tersenyum kecil.
"Bang, lo nggak ngomong aneh-aneh kan?"
"Nggak- nggak sekarang."
Jero tersenyum kecut, dia ikut masuk ke tenda hendak mengobati dahinya dan istirahat luruskan kaki.
"Dia punya rahasia apa lagi?" tanya Putra yang tak sengaja dengar pembicaraan tadi.
"Lo nanti bisa denger langsung dari dia."
**
Haaaaiiii, Maaf ni pendek, hehe minggu ini baru kelar ujian praktik, mingdep US akuuu hehe maklumin ya guyss.
Semangat kalian
LOVE YOU
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...