Senyum dulu guys:)
Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Sekian dari banyaknya tidur, Attala rasa ini yang paling nyenyak dan nyaman. Fisiknya merespon lemah saat pikirannya tengah berkumpul kemudian bercabang ke sembarang arah.
Langit kamar yang jadi tempat tidurnya menggelap, hanya terdengar suara dengkuran halus disampingnya. Tidak berniat untuk menghentikan, karena sudah biasa jadi makanan sehari-hari.
Turun dari kasur lalu keluar kamar, namun sebelum langkahnya sampai diluar dia kembali masuk dan menuju kamar mandi. Gawat, dia lupa subuhan.
"Adek-"
"Kiblat arah mana?"
Di setengah sadarnya Jero menunjuk dinding dengan figuran foto pemandangan yang sepertinya itu hasil dari melukis.
"Oke, lo bangun. Sholat, gue selesai lo harus udah bangun."
Jero berjengit saat Attala dengan sengaja menjepit hidungnya lalu menepuk pipinya pelan.
Terkutuklah Attala yang menganggu waktu tidurnya. Ya nanti Jer, sama yang diatas lo juga nanti harus ikut. Ga nolak.
Selepas subuhan Attala keluar kamar, harum kopi menyapa indra penciumannya. "Nak? Duduk biar Bunda bikinin kopi,"
"Maaf Bun, aku nggak suka kopi- teh aja boleh."
Wanita berkepala empat itu menyunggingkan senyum diikuti anggukan ringan. "Jero udah bangun? Dia emang kebo banget, suka lupa subuhan juga."
"Udah disuruh tadi," Attala mengamati sesuatu dari jarak jauhnya.
"Aku ke Papa dulu." Tanpa mendengar jawaban bunda, Attala sudah beranjak dan menghampiri papa yang tengah berdiri selepas berceloteh panjang melalui telepon.
"Pah? Ada nomor Bibi Seryn?"
Papa memandangnya sebentar, kemudian menyerahkan ponselnya yang tersambung dengan panggilan.
"Bibi Seryn?"
"Hi, Attala?"
"Ada kabar terbaru?" Membasahi bibir meminimalisir kegugupan.
"Maaf Nak, Bibi belum dapat kabar lagi. Biru masih nggak bisa dihubungi-"
"-i ready prepared for the real situation. Bibi rela."
"Bibi, dont say that. I sure, everything will be fine." Potong Attala.
"Okay i'm sorry, i just worried. Attala, bibi akan hubungi kamu lagi jika dapat kabar tentang Biru."
"Okay Bi, see you."
Attala menyerahkan ponselnya pada papa, kemudian berbalik badan kembali memasuki kamar. Harapannya kembali terkikis sekian persen.
Setelah Attala menutup telepon, jari-jari panjang papa menari diatas layar ponsel, dia tidak tahu harus bagaimana menerima beberapa hal yang sulit dipahami di luar kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...