48

962 145 19
                                    

Hi, before read this chap you can rate me, if there is any typo or anything. It really helped me to make this book better, thanks!

Siap untuk penuhin komen dipart ini?

**

"Hos! Sini dah ke depan!"

Hosea yang lagi mencuci piring, melepas sarung tangan karet pink yang penuh busa, lalu berlalu dari sana menghampiri Biru yang tengah berdiri memandang keatas pohon dekat parkiran.

"Why broh?"

"Itu!" Tunjuknya ke dahan atas dari pohon besar yang katanya pohon mangga tidak berbuah. Soalnya sepanjang dia buka kafe disitu, nggak pernah tuh liat bunganya apalagi buahnya, sayang banget padahal dia mau ngerujak kalau kafe lagi sepi.

"Apa? Lo jangan nakutin gue, ini magrib anjir." Hosea saat nonton film horor saja bisa menguncang indra pendengeran Biru, apalagi jika dia melihatnya secara nyata, bisa-bisa ketampanan Biru luntur saat itu juga.

"Kucing Hos, tadi gue kejar gara-gara berantakin sampah."

Hosea melihat Biru dengan tatapan bertanya. "Ya terus?"

"Turunin kasian, takut itu dia." Ucap Biru santai sambil membujuk kucing hitam diatas sana dengan embel-embel petikan tangan dan siulan.

"Bang! Itu kucing bukan burung!" Hosea nggak habis pikir sama jalan pikiran Biru. Agak tidak terima juga disuruh manjat pohon saat waktu petang seperti ini, bukan Hosea banget kalau nyari penyakit.

Haha sori.

"Eh? Bukannya kucing suka sama suara ya?" Masih pantang menyerah, sambil tepuk-tepuk lengan Hosea untuk manjat keatas.

"Nggak mau ih, yaelah ini magrib cuy. Tega lo sama gue." Biru terdiam sambil lihat Hosea, ada benarnya juga. Kononnya, pohon itu jadi perantara untuknya, dan dia percaya itu, soalnya pengalaman pernah liat di depan rumah. Itu si mbakun lagi duduk di atas pohon sambil nyisir, sekilas dia sapa dan disenyumin balik.

Gila ya?

Namanya Xabiru segala cara akan dilakukan, termasuk menyeret Yudha yang baru sampai bahkan masih mengenakan helmnya.

"Ay, turunin. Gue tau lo sebangsa sama itu hewan, bantuin saudara lo disana."

Huh?

Keheningan terjadi, Yudha menatap malas abangnya itu, makin kesana malah makin kesini, heran. Belum aja itu mulut dioles pake oli biar sekalian makin licin.

Hosea menepuk bahu Yudha. "Bang gue capek, sekarang gue serahkan mandat ini sama lo." Ujarnya melangkah masuk ke kafe untuk lanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.

"Ay, cepet."

"Bang lo serius?"

Yudha menganggukkan kepalanya pasrah, melepas helmnya dan berjongkok tepat dibawah pohon. Percaya atau tidak, urusan kucing selalu dia yang diandalkan. Nggak tau ada apa gerangan, sialnya sebangsa dari mana, jelas-jelas bentukkannya aja udah beda.

"Kalo gue berhasil, gue dapet apa?" Negosiasi salah satu keahliannya, datar-datar begini ekspresinya bisa di andelin. Tatap aja santai nanti yang ditatap juga ngeiyain.

"Rambut gue cat ungu."

Yudha tersenyum miring, dia sangat menyukai keuntungan ini. Biru itu selalu membanggakan rambut hitam lebat berkilaunya, suka bosen kadang kalau liat dia lagi di depan cermin ngomong dengan kepedan tingkat dewanya.

"Oke, malaikat mencatat omongan lo Bang." Biru meringis, merutuki mulut jahanamnya yang suka ngomong nggak mikir. Raut wajahnya langsung lemas saat liat itu kucing hitam loncat dari atas sana dan mendekat pada Yudha untuk dielus.

GADARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang