Greget banget liat photo concept mereka:' dari yg aku baca juga ada teori juga disana:) melow bgt sumpah pas tau:(
Aku jadi tertantang bikin teori yang lain wkwk
Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Manusia itu ciptaan Tuhan yang paling sempurna, tapi sayang merekalah yang menduduki tingkat teratas kemunafikan. Mengaku tidak rindu padahal batin menjerit kata rindu, mengaku tidak sayang padahal dialah yang paling tersayang.
Dilema antara hati dan isi kepala memang seperti bimbang memahami perbedaan antara,
Margarin atau mentega.
Sama-sama lumer dan asin dengan balutan warna kuning pastel. Jadi, yang mana yang terbaik untuk kita, si pemilih ulung?
Tidak susah bagi Yudha untuk memilih, yang menurutnya paling mudah digapai maka akan ada dalam genggamannya detik itu juga. Siangnya ini tampak gulam seperti suasana hati seorang teman yang sedang berjalan pelan di depan sana.
Sosoknya dengan kemeja flanel kuning, jeans hitam dan backpack dipunggungnya. Tampak tidak miliki semangat sembari menendang kerikil di depannya, bahkan berulang kali hampir tergelincir karena ulahnya sendiri.
Putra si tengil atau Putra si pendiam?
"Tumben nggak tengil?" Motornya berjalan bersisihan disamping tubuhnya.
"Gue nggak mau ngajak ribut Bang." Kepalanya menoleh sekilas lalu kembali tertunduk.
"Padahal gue lagi mau ribut." Emang dari awal dilahirkan dengan tampang julid, Putra menatap sinis Yudha yang tidak segera pergi dari sekitarnya, justru semakin memelankan motornya.
"Lo kalo mau ngeledek gue ntar Bang, lagi nggak nafsu." Yudha terkekeh. Jarang-jarang sekali lho lihat Putra kayak gini, kayaknya cukup kemarin aja.
"Lapar ya?" Diluar dugaan, Putra menganggukkan kepalanya. Sambil usap perut dia yang dari dalam udah bergejolak minta diisi asupan.
Tawa Yudha pecah seketika tanpa suara, dia memberhentikan motornya, tidak kuat untuk menjalankan motor disamping Putra yang pasang tampang macam anak itik yang tertinggal oleh induknya.
"Loh?! Dibantuin dong ini adeknya malah diketawain!"
"Yaudah sini, naik. Gue traktir nasi padang." Wajahnya seketika cerah, mencengkram erat tali tasnya sembari berlari kecil untuk menaiki motor Yudha, motor dia belum dibetulkan. Antara malas dan nggak punya duit itu beda tipis.
Motornya berjalan santai, beda halnya dengan si penumpang yang sangat berbinar.
"Attala kemana?"
"Jemput Bundanya di stasiun sama Jero."
Yudha mengangguk, perihal kemarin bikin itu anak kelinci ngerengek minta ketemu bundanya.
"Kan ada motornya Jero, lo bisa pake itu sekalian ke kampus." Putra mengangguk namun mendengus akhirannya.
"Itu bocah ngebawa kuncinya, kalo gue James Bond, udah gue otak-atik itu motor." Greget parah tadi, mana dia leha-leha dikosan berpikir dia bisa sampai kampus cepat dan bisa makan disana dulu, eh ternyata malah apes dua kali. Beruntung banget kayaknya ketemu Yudha nih.
"Lo mau ke bengkel Bang?" Kepala Yudha mengangguk dibalik helm bergo hitamnya.
"Bang Biru di kafe ya? Gue chat mau minta makan nggak jawab, kayaknya sibuk." Semilir angin menjelang hujan, terasa menembus pakaian yang mereka kenakan.
"Kafenya disewa, jadi dia ekstra sibuk sama Hosea. Kenapa lo nggak chat gue?"
Putra melirik kaca spion, berusaha melihat wajah Yudha yang tertutup kaca helm.
"Lo kok jadi banyak omong ya Bang?"
Memandang jalanan yang lenggang menuju rumah makan padang langganan, bibirnya berdecak memberi respon pada orang dibelakangnya.
"Gue irit, gue banyak omong salah?" Putra menggeleng cepat, nadanya terdengar tidak mengenakkan ditelinga dia.
"Bukan gitu etdah, aneh aja. Nggak biasa."
Dibelokkannya motor mencari parkiran, seiring mesin motor yang berhenti bersuara. Dia melepas helmnya disusul Putra yang menatap tidak enak pada lelaki didepannya.
"Khusus lo, harus biasa."
Putra bergeming, Yudha itu salah satu spesies manusia yang langka. Segala ucapannya diluar benak sang lawan bicara.
"Gara-gara kemarin kan? Lo ngerasa kasihan sama gue?" Seketika dirinya menjadi kecil dan rendah, dibanding Yudha kisahnya mungkin tidak sedrama sepertinya.
"Kasihan atau nggak emangnya penting?"
"Pen-"
"Nggak, yang penting itu gue dan yang lain selalu ada saat lo butuh sandaran atau cermin untuk memperbaiki diri."
Back to topic, manusia itu munafik-
-dan Mahesa Ayudha adalah salah satu diantaranya. Penjahat hati yang mempermainkan perasaannya sendiri.
**
Namu tidak tahu kapan terakhirnya dia menginjakkan kaki di ruang rawat ini.
Eoh? Maybe yesterday?
Baginya berkunjung ke tempat ini bagai sebuah rumah ibadah. Mutlak, walau kunjungan ini hanya dirinya yang berbicara, tidak apa dia suka bercerita tentang hidupnya, khususnya pada gadis cantik yang masih setia berbaring dengan nyamannya. Seakan jika sepersekon mimpinya terlewatkan, maka separuh hidupnya telah dikorbankan.
"Hi dear? How are you?"
Surai yang semakin panjang diusapnya dengan hati-hati, seperti memegang sebuah kaca yang mudah retak dan sukar untuk diperbaiki.
"Abang tau kamu pasti bosen ya denger suara abang terus? Abisan kamu nggak nanggepin abang, ya jadi aku mulu loh yang ngomong."
"Honey?"
"Wake up, please?"
Perlahan jemarinya mengenggam jemari lainnya yang bebas dari infusan. Mengusapnya perlahan dengan lembut.
"Kamu punya saingan di hati abang, kamu rela nih? Abang mau cepet-cepet kenalin ke kamu. Abang mau lihat kecemburuan kamu itu, apalagi pas kamu bilang-" Suaranya tertahan.
"- you always be mine... forever."
Dahinya menyatu pada permukaan kasur, menutupi wajahnya yang mulai memerah dan menitikkan air mata yang seharusnya tidak dikeluarkan. Ntah dia merasa sedih tentang sesuatu, tentang hubungan tanpa status dan bagaimana kelanjutannya.
Lemah, dia benar-benar bermasalah dengan yang namanya cinta.
Kejadian kemarin seakan menunjukkan titik terang dari segalanya, namun dia tidak bisa menemukan apapun yang menjadi titik terang. Seperti sebuah tanda jika sesuatu akan menjadi panel terakhir dalam ceritanya.
Rasa kantuk menyerang, membuat matanya terpejam. Bersamaan dengan itu, sosok yang berbaring setelah sekian lama menggerakkan jemari lentiknya, sesaat setelah terdengar dentingan pesan masuk.
**
Ayo berteori lagi guys:v
HAHA NGETIKNYA TADI NGEBUT😃🥲😭
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...