28

1.2K 150 7
                                    

Hehe ada yg dihapus:)

Siap untuk penuhin komen di part ini?

**

Pagi untuk mereka, siang untuk kita yang tak pernah bisa dipastikan untuk bersama.

Bukan tentang galau, serius. Cuman tentang bagaimana caranya sampaikan rasa yang pernah ada, pada si dia yang tak pernah punya rasa.

Dua hari setelah pendakian yang gagal tercapai, mereka kembali pada kegiatan masing-masing. Sibuk kerjakan tugas yang tiada henti bikin stres sakit punggung, mencari uang tuk bertahan hidup, mencari kisah asmara juga berperang batin dengan diri.

Masih ingat Gia? Cewek tulen dengan sejuta pesona di mata Namu. Pertemuan kemarin di rumah sakit membawa keduanya saling bertukar pesan.

Macam orang gila aja si Namu ini, scrol Whats App sambil senyum sesekali ucap "Gemas."

Gimana Hosea nggak geli coba, sumpah ini tuh kek bocah SD yang lagi salting pas ceweknya pap foto imut. Ingin menyadarkan Namu tapi, pas liat ekspresi bahagianya bikin Hosea nggak tega, akhirnya dia geser menjauh dari Namu biar nggak di tanya macam-macam sama orang. Misalnya,

"Dapet darimana?"

Canda, ketua BEM ni bos, senggol abis lo besok.

"Nam."

"Hm?"

"Nengok dah."

"Hm?"

"Nengok dulu."

"Hm?"

"Si anjir Nissa Sabyan lo hm, hm, hm mulu?"

Namu akhirnya nengok, masih genggam kekasih gelap dia yang sempet kacangin Hosea.

"Gue udah daftar lomba."

Namu langsung tutup ponselnya, udah gitu hampir di lempar, nggak sih di geser doang tapi kayak pake ketapel kuda, mantulnya lumayan jauh.

"Serius?!" Hosea mengangguk.

"Tanpa ijin Bapak, gue kok takut ya." Namu lihat sahabatnya itu, ada keputusasaan dan harapan menjadi satu.

"Disatu sisi gue ingin dan ngeliat kalian senang atas kebahagiaan yang gue mimpikan, tapi disatu sisi gimana pendapat Bapak liat anak cowok satu-satunya nggak seperti yang dia mau."

"Gini Hos, orang tua ngelakuin sesuatu pasti buat kebahagiaan anaknya tapi, terkadang mereka menjadikan kebahagiaan anaknya sebagai alasan untuk dipandang sbagai orang tua yang sempurna." Namu menepuk bahu Hosea berulang kali.

"Lo ada untuk nyata bukan untuk jadi sempurna." Ntah datang darimana Yudha duduk di depan mereka sambil bawa semangkuk bubur.

"Kita memberontak bukan berarti kurang ajar Hos, emangnya ambil hak kita yang seharusnya tuh salah ya?"

Namu  tepuk bahu Hosea lagi. "Lo nggak sendiri, kita siap ada di belakang, saat lo dipaksa untuk mundur."

Hosea mengangguk, terharu dengan dua sahabatnya ini. Sebelumnya tak ada peran yang bisa mengisi posisi itu dihidupnya.

Memang benar kata pepatah, teman terkadang menjadi rumah singgah kedua dalam hidup, siapa yang pertama? Ya diri sendiri.

"Btw Bang, lo tau nggak Bang Biru ngapain bolak balik ke ruang dosen yang berbeda dari kemaren?" Tanya Hosea pada Yudha yang baru kelar makan buburnya.

"Hah? Gue udah dua hari pulang malem dan di kampus gue nggak ketemu dia, pagi juga dia duluan yang jalan."

"Ada tugas yang telat kali?" Namu berusaha berpikir positif. "Bang Biru bukan tipe yang mau jatuhin diri kan?" 7

GADARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang