29

1K 158 7
                                    



Siap untuk penuhin komen dipart ini?

**

Kata orang rumah itu tempat singgah terbaik, sebagian orang bilang rumah itu tempat terburuk setelah diskotik, tempat yang tidak ingin mereka singgahi tapi jadi sebuah keharusan.

Egois untuk kehilangan rumah memang terkadang harus untuk lanjutkan siklus hidup. Disaat sudah temukan rumah baru, namun nyatanya seakan tidak selaras diibaratkan jadi tempat sewa.

Rumah yang sebenarnya itu hanya antara kita dan Tuhan. Nggak ada yang bisa gantikan keduanya, semesta bahkan sudah mengklaim hak patennya.

Tapi apakah akan tetap egois jika mempertahankan rumah yang sudah terlanjur buat nyaman?

Berkendara dengan cepat, dibalik helmnya ada wajah serius dengan mata tajamnya. Yudha seperti terlewatkan satu hal penting dalam ruang waktunya. Apa yang ia lewatkan? Apa yang disembunyikan Biru? Seberapa lama dan baiknya Biru kenakan topengnya? Dia melewatkan itu semua.

Yudha pernah kehilangan kepercayaan pada semua orang, pada dirinya. Bertemu Biru buat dia sadar jika,

"Jangan terlalu percaya sama orang Ay tapi, buka mata lo kalo ternyata masih ada orang yang percaya sama lo, gue contohnya."

"Bulshit."

Yudha semakin menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi, Yogya sore ini tampak gulam seperti hatinya.

Jika apa yang selama ini menganggu pikirannya benar, maka dia tidak akan membiarkan itu terjadi, sedikitpun tidak akan pernah walau hanya satu langkah keluar dari rumah.

Mendekati rumah, lihat bekas asap hitam yang mengepul ke udara dari kejauhan. Suara motor dimatikan buat Biru alihkan pandang ke arah Yudha, kertas kertas yang ada dalam genggamannya kini berubah menjadi abu.

"Tum-"

"Lo bakar apa?" sangat dingin dan datar.

"Kertas tugas gue." Biru terheran dengan kedatangan Yudha yang sudah dianggap sebagai saudaranya itu.

"Lo bakar apa?" Terdengar penekanan pada kalimat yang diulang, Yudha bukan inginkan jawaban itu.

"Lo kenapa si Ay?" Biru mencium aroma tidak enak yang akan terjadi selanjutnya.

"Lo mau kabur dari gue."

Biru serasa dipukul tepat di jantungnya, perkataan Yudha menusuk jauh dalam relung hatinya.

"Lo kabur saat gue udah punya tempat dijadikan rumah, Bang." Tatapannya melembut tapi tetap memperlihatkan kesan tajam.

"Nggak Ay, gue nggak kabur. Gue cuma mau selesaikan apa yang udah gue mulai." Biru mendekat.

"Apa yang nggak? Lo bahkan nggak pernah bagi kisah lo sama gue. Lo tau masalah gue tapi gue nggak tau masalah lo."

Semacam benda yang menolak untuk dipantulkan kembali. Ada menerima dan ada memberi, hukum alam yang nyatanya tidak bisa hilang. Biru bukannya tidak ingin memberi, dia ingin menyelesaikannya sendiri, tanpa harus orang lain terlibat di dalamnya.

"Gue ingin atasi masalah gue sendiri, gue nggak mau masalah gue bebanin orang lain apalagi lo yang pikirannya udah bercabang kemana aja. Lo kira gue tega? Nggak. Gue sembunyi-sembunyi hanya karena ingin main bersih."

Yudha memandangnya dengan raut kecewa, dia nyatanya sudah bebani Biru dengan masalahnya.

"Berarti, gue yang nyusahin. Gue nggak tau lo punya masalah dan gue berbagi masalah sama lo. Ya gue emang slalu jadi beban dari dulu."

GADARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang