NOTIF AKU LANGSUNG RAMEEEEE HUEHUEHUE SENENG BANGETT
Siap untuk penuhin komen dipart ini?
**
Flashback
Ambulans tiba setelah 30 menit, Hosea langsung dibawa masuk diikuti Jero yang kini duduk disamping brankar strecher tempat Hosea dibaringkan.
Tubuh dia keringat dingin saat melihat Hosea, dahi pemuda itu berkerut saat kakinya sengaja digerakkan oleh petugas ambulans. Pertanda jika sakitnya memang sangat menganggu meskipun dia sedang tidak sadar saat itu.
"Pergelangan lebam dan membengkak, kemungkinan otot robek sampai kehilangan kekuatan dan nyeri saat digerakkan. Penyembuhan pasien bisa dilakukan dengan melakukan operasi. Kami akan menghubungi pihak rumah sakit untuk menjadwalkan operasinya, dimohon untuk menghubungi pihak keluarga atas izin pengoperasian."
Jero yang sudah lemas tidak tertolong makin layu saat Hosea diharuskan melakukan operasi. Jemarinya bergetar, meraih jemari Hosea untuk digenggam.
"B..bang Hos-"
Kedua matanya perlahan terbuka, meski dalam keadaan sakit sekalipun senyumnya tetap terukir. "Heh, gue nggak papa. Jangan nangis, lo jelek."
Jero menggeleng, dia mengacak seisi tasnya mencari ponsel. Berusaha untuk tidak tremor walau sebenarnya sudah tremor.
"Pak, dia anak rantau, kalau saudara jauhnya yang isi surat perizinan bisa?"
Bohong, dia merangkainya untuk menyelamatkan masa depan Hosea.
"Gue ngg-"
"Bang kaki lo pasti parah, harus segera di operasi. Nggak bisa ditunda gitu."
"Bisa, nanti sesampainya di rumah sakit bisa langsung ke bagian adminitrasi." Petugas tadi mencela perbincangan keduanya.
Hosea menatap keatap mobil, berusaha merangkai kata penjelasan agar bisa dipahami dengan mudah oleh manusia bebal satu ini.
The power of ambulance. Mobil telah berhenti dan petugas keluar terlebih dahulu. Sebelum brankar benar-benar diturunkan, Hosea menahan lengan Jero dan mengatakan kalimat yang membuat Jero menangis saat itu juga.
"Penampilan pertama dan terakhir dari gue untuk Bapak, ternyata rasanya sesakit itu ya? Tapi gue nggak menyesal, karena dengan ini gue bisa berhenti nari dan mulai banggain Bapak."
*end
**
"Gue nggak habis pikir sama pola pikir lo, siapa yang ngajarin lo hah?!"
Dia menunjuk orang di depannya. "Yudha? Iya?!"
"Gila lo?" Sahutnya tidak terima.
Biru berkacak pinggang berdiri sendiri di hadapan anggota gadara, sedari tadi bibirnya tidak berhenti bicara, macam seperti tidak ada waktu di lain hari saja.
"Ya si Hosea mikirnya kelewat gila! Hanya lo yang punya pikiran gila kayak gitu!"
Shut up, please.
"Kenapa gue? Kenapa nggak Putra?" Putra langsung melongo, tidak sadar dia menunjuk dirinya sendiri, mempertanyakan ucapan Yudha.
"Gue diem anjing, kenapa nama gue dibawa-bawa. Gimana kalo gue bacot, udah lo seret kali."
Attala menggaruk belakang kepalanya, saling melirik dengan Namu yang sepertinya angkat tangan dan lebih memberikan atensinya pada Hosea yang menatap mereka.
"Hey, jangan senyum gitu ah. Lo harusnya nangis Hos, lo harusnya marah sama hidup lo yang kayak gini. Ayo, lo harus marah. Gue nggak mau tau."
Hosea tertawa, buat yang disana terperangah. Like he's a real angel.
"Gue kayak gini juga karena kehendak sendiri, nggak papa kok, emang ini jalan satu-satunya buat gue berhenti."
Namu memandang sendu kearahnya, mengenggam erat tangannya menyalurkan semangat penuh kepada dia.
"Jangan melow ya kalian, ini masalah gue. Nggak selamanya kalian harus ikut pusing."
"Tapi kita yang jahat Bang, ngebiarin betapa kacaunya hidup sahabat sendiri."
Jero mengangguk kecil, menanggapi perkataan Attala. "Wajah lo bahkan nggak bisa bohong, kalo itu sakit. Gue bisa lihat sendiri."
"Anak psikolog kok begitu." Cibir Putra.
Hosea tersenyum kecil. "Terkadang ada hal yang harus dikorbankan untuk memulai hal baru, ibaratnya gini."
"Pernah dengar siklus hidup kupu-kupu?
"Iya, jadi ulat dulu." Jawab Biru.
"Kupu-kupu itu kan identik dengan keindahan dan nggak mudah untuk mendapat masa jayanya. Rela mati sia-sia untuk mempertahankan hidupnya dari predator. Dia harus menjadi kepompong dulu, beristirahat sejenak dari kegiatan merayapnya, bahkan terkadang saat menjadi kepompong pun hidupnya terancam."
"Gue ingin seperti itu, nggak papa harus istirahat sejenak karena gue tau akan ada kejayaan yang menanti gue di depan sana."
Keenamnya terdiam. Tidak ada yang setulus Hosea, kawan mereka itu benar-benar salah satu dari sekian miliaran orang yang harus dimiliki. Bersyukur? Ya sangat, tiada bisa dibandingkan Hosea dengan seseorang yang lain. Hosea El Rumi ya hanya dia seorang. Milik mereka, miliknya gadara.
Jero seketika merasa bersalah karena telah berbicara tidak sopan kepada orang tua pemuda itu. Dirinya resah, karena setelah bersikap kurang ajar, kedua pasangan suami istri itu bergetar menatap Jero dan memalingkan wajah lalu berlalu dari sana.
"Lo kenapa Jer?" Tanya Yudha, yang kebetulan ada disampingnya. Attala yang merasa ada yang tidak beres mendekat dan menyentuh leher adiknya, merasakan jika suhu didaerah sana terasa dingin dan berkeringat.
"Adek? Trauma lo kambuh?" Paniknya mengambil tisu dan mengelap seluruh keringat Jero, baru disadari olehnya jika hoodie yang dikenakan adiknya itu basah.
"Bang Hosea, gue minta maaf ya? M..maaf udah kurang ajar sama orang tua lo. Maafin gue ya?"
Hosea menggeleng, ada raut khawatir diwajahnya. "Nggak Jer, gue oke. Nggak ada masalah sama ucapan lo, karena yang lo omongin semuanya benar."
"Gue beli minum dulu." Yudha keluar sembari menarik tangan Putra. Cowok itu bahkan hampir terjungkal mengikuti langkah Yudha yang dengan cepat keluar dari ruangan.
"Baju lo basah, ganti ya? Pakai baju Bang Hosea dulu?"
"Bang gue pinjem boleh?"
Hosea mengangguk, menunjuk sisi kirinya tempat dimana tas dia berada.
Kaos putih dalam genggaman Attala ditolak mentah-mentah oleh adiknya. Beralasan jika nanti dia akan pulang dan mandi. Attala tau itu penolakan, makannya dia mencari baju lain yang berwarna kesukaan adiknya, hitam.
"Nah, ini ada warna-"
Cklek
Kedua orang tua itu masuk. Memandang sekumpulan pemuda yang menjadi teman anaknya. Bapak melihat istrinya, lalu mengangguk.
"Buk, beresin bajunya Hosea, Bapak mau ke administrasi dulu."
"Maaf, Om?"
"Maksud Bapak apa ya?"
Mata Hosea memanas, tangan yang berada dibalik selimut bergetar pelan.
"Kita akan pulang ke Cirebon."
Namu menggeleng pelan, meremat selimut Hosea. "Nggak mungkin.."
"Sama kamu."
"What the fuck?"
Tolong siapapun untuk membantu Putra membekap bibir laknat Yudha saat ini juga. Tanpa bayaran, gratis. Minus asuransi jiwa menghadapi Mahesa Ayudha.
**
HIYA HIYA
By the way, aku penasaran kalian tau cerita ini dari mana xixixi
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...