Semangat streaming Yet To Come nya!! Nggak papa nggak mencapai target, kita masih jadi nomor satu dihatinya bangtan ^^
Siap untuk penuhin komen dipart ini?
**
Apa yang kamu kenal dari siklus kehidupan?
Kalau yang umum kita kenal, pasti akan ada yang pergi dan ada yang datang. Berotasi seperti matahari yang tidak kenal lelah mengelilingi bumi kita.
Seringnya kita berpikir jika perpisahan adalah akhir dari segalanya. Namun, bukankah perpisahan menjadi alasan seseorang untuk mengenal kata mengikhlaskan?
Apakah menerima dan mengikhlaskan sama? Tentunya berbeda.
Dari kata dasarnya saja berbeda, terima dan ikhlas. Menurut kalian bagaimana? Apa yang menjadi perbedaan?
Biar Putra jelaskan bagaimana arti kedua kata itu menurutnya.
"Lo tau Bang? Dulu dan sekarang gue masih belajar memahami kedua kata itu. Rasanya berat banget, rasanya anjing banget." Putra terkekeh sembari memilin kertas kuning yang kini sudah tidak terbentuk.
"Kayak gimana gue menerima fakta kalo Ayah gue seperti itu? Ortu gue cerai, Gia cintanya gue ternyata sedarah satu bokap sama gue? Gue bingung banget sama keadaan itu, gue harus mulai darimana untuk menerima, apa dulu yang harus gue terima? Gimana caranya biar kewarasan gue nggak direnggut?"
Putra memandang Namu yang duduk bersandar di balkon kamarnya dengan tatapan kosong, saat ini mereka ada di kediaman keluarga Namu dalam rangka mempersiapkan pemakaman adiknya esok hari. Sedangkan yang lain tengah bantu-bantu dibawah, seperti menata kursi dan mendirikan tenda.
"Perlahan gue bisa terima fakta itu, tapi dengan resiko semua nggak akan sama kembali. Kita saling menjauh, Ibu gue bisa bangkit perlahan gue pun begitu didepannya. Dibelakangnya gue hancur, nggak ada yang tau, sampai Attala tau karena batin gue yang ternyata terlalu mencolok untuk bisa dibilang baik-baik aja."
"Yang gue tau, gue mungkin menerima tapi gue belum mengikhlaskan."
Namu menoleh, kantung mata yang menghitam buat Putra meringis. Dia tau seberapa berat beban abangnya satu ini.
"Tapi lo udah berhasil sekarang, gue justtu belum bisa mencapai keduanya." Lirihnya pelan. Kepergian yang mendadak mengguncang batinnya, tidak ada yang bisa dia pikirkan selain kepergian sang adik.
"Lo bisa Bang, remahan roti kayak gue yang minim buat dibanggain aja bisa walaupun harus kesandung beberapa kali." Oke, tidak apa menjatuhkan diri sendiri, ini demi kebaikan bersama, lagipula dia sudah biasa.
"Apalagi lo? Lo yang selalu dibanggakan sedari kecil. Gue denger dari Bang Hosea, adik lo lebih sayang sama lo ketimbang orang tuanya sendiri." Putra mengadahkan kepala melihat langit sore yang memamerkan jingganya. Dia sedang menahan diri untuk tidak terbawa suasana.
"Bukannya itu jadi penghargaan ya Bang? Seharusnya lo bangga, disaat waktu terakhirnya lo hadir disana genggam tangan dia." Tangis Namu terurai kembali, sakit sekali mendengarnya.
"J..jangan nyalahin diri sendiri Bang, bukan salah lo. Takdir udah ada yang ngatur, waktunya aja yang kurang tepat buat kita. Sekarang waktunya lo menerima dan mengikhlaskan."
Putra tanpa disadar ikut menangis, sudut matanya basah. Dia menunjuk langit jingga diatasnya.
"Adik lo ada disana, ngeliat kita, bersama orang-orang baik pilihan Tuhan."
Namu mengangguk, wajahnya tampak sangat kacau tapi tersemat senyum tulus yang bikin Putra bernapas lega melihatnya. Sambil mengumam nama adiknya, dia meremat lembar foto kenangan lamanya.
Putra beranjak, tepat saat tubuhnya berbalik dia melihat Attala, Yudha dan Hosea di daun pintu. Menatapnya dengan bangga.
"Good job bro." Bisiknya saat Putra mendekat, Hosea juga ikut memberinya pujian karena berhasil membuat Namu bisa tersenyum kembali
Hosea memilih untuk bergabung dengan yang lain dibawah diikuti Attala, meninggalkan dia dan Yudha dalam keheningan.
Yudha memberikannya satu jempol, berbalik untuk kebawah.
"Satu jempolnya lagi mana?" Langkahnya terhenti, dia menjawab tanpa menghadap ke arah Putra.
"Nanti kalo lo berhasil hibur gue."
**
"Jer, itu ambil kardus dah." Pinta Biru menunjuk kardus yang berada di luar, dekat pintu dapur yang terhubung pada halaman luar. Jero menurutinya lalu memberikannya pada Biru. Daritadi dia mengintili Biru untuk meminta tips mengecat rambutnya sendiri namun, abangnya itu menunda-nundanya terus dan menjadikannya babu dadakan di dapur.
"Jer tolong bawa termos ke depan buat kopi." Jero kembali mematuhinya, untuk kali ini biarkan dia jadi anak baik walaupun ada niat terselebung.
Biru ini tiba-tiba jadi bantu di dapur, bantuin keluarga Namu yang spesies betina nya cuma Ibu-ibu, menantu dan anak remajanya cuma satu, sisanya pada masih balita. Dia agak kaget pas liat silsilah keluarga Namu yang kebanyakan manusia berjenis adam.
Lebih parahnya lagi dia diandalin sama mereka buat nyiapin nasi kotak buat yang datang sekedar bela sungkawa, heran aja gitu kok jadi gini-
"Woi? Gue tamu kan dirumah ini?"
Agak mengherankan, tapi biarin bakal dijadikan amal ibadah.
"Jer, aduk kentang dikuali tolong." Jero menghela napas lagi, turutin aja dulu udah. Minta pertanggung jawabannya nanti.
"Eh lo bantu cetak nasi aja sana, biar gue yang-"
"Abang!"
Biru berjengit, dia mengusap dadanya berulang kali. "Apa? Lo ngagetin gue bocah!"
"Gue kan mau minta tips warnain rambut, lo malah jadiin gue babu." Jero mempautkan bibirnya.
"Ya nanti Jer, ini lagi ribet. Lo juga kenapa nggak pergi dari tadi kalo nggak mau bantuin?" Biru mendumel, padahal dia yang nahan Jero dengan suruhan segala macamnya.
"Lo ya anjir, yang nggak bolehin gue pergi. Tiap gue mau pergi malah disuruh, lo nyebelin tau nggak sih? Makin tua kok makin nyebelin sih Bang?" Suasana jadi sengit, perempuan yang ada disana hanya memandang geli.
"Lo ngatain gue tua?! Gue masih ganteng gini, dibilang tua?!" Biru jelas tidak terima walaupun dia juga menganggap itu bercandaan.
"Bodo! Dasar tua! Nyebelin!"
Tangannya disentuh dari belakang. "Hei, kok jadi berantem?" Ada Attala dari pintu yang langsung mengarah ke halaman.
"Bang Biru nyebelin banget, udah dibantuin nggak tau terima kasih." Dia melihat Biru dengan jengkel.
"Lo ngatain gue tua juga! Nggak sopan lo."
Jero menyipitkan mata. "Oh, oke. Gue taro serangga di kamar lo. Biar digrayangin, biar ketampanan lo diisep. Mampus." Attala membekap mulut Jero.
"Heh, ngomongnya."
Biru melotot, serangga? Oh tidak. "Jer Jer, maapin abang. Janji abis ini gue kasih tau tipsnya. Tapi jangan taro serangganya plis.."
Jero tersenyum kemenangan. Dia mengangguk dan berjalan keluar, berbalik dan tersenyum manis.
"Tapi nggak janji." Ucapnya langsung kabur agar tidak diamuk Biru.
"Ta, bilangin adek lo Ta. Lo tau kan gue benci banget sama serangga." Biru memelas, hampir diketawai orang-orang yang ada di dapur.
"Anak kelinci lebih gesit dibanding induknya Bang. Tapi, maaf gue anak harimau bukan anak kelinci."
Attala tersenyum lalu keluar, meninggalkan Biru dengan segala kegelisahannya pada serangga.
"Masnya siap-siap aja kalo beneran di jailin." Sahut seseorang diikuti tawa.
Biru meringis, meraba wajahnya. Sumpah dia tidak siap, ketampanan adalah kunci dalam hidupnya.
"Biru, sumpah lo bodoh banget."
Biru aku cuma mau ngingetin, itu kentang gorengnya hati-hati hangus ya mas.
**
Bukan part emosional tapi aku yang ngetik melow:'
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...