22

1.1K 156 9
                                    

HAAAAAII ADA YG KANGEN AKUUU?

HEHE, btw ada yang punya tebakan nggak cerita ini selesai sampai berapa part? 

Siap untuk penuhin komen di part ini?


***

Keempatnya sudah turun dari mobil dan mengurus perijinan naik gunung. Mereka sejenak istirahat duduk santai dari perjalanan jauh, duduk selonjoran di bale bambu yang memang disediakan untuk tempat istirahat bagi para pendaki. Lemasin kaki dulu katanya, maklum dewasa muda otw jompo.

Mereka gabung sama penduduk setempat, bapak-bapak sih lebih tepatnya. Bukan weekend jadi nggak rame banget, kedemenannya Biru ini. Nimbrung sama bapak-bapak. Herannya pembicaraan mereka nyambung.

"Kalian timana?" (Darimana)

"Dari Yogya Pak, kuliah ngerantau." Jawab Biru.

"Aslinya?"

"Saya Bekasi Pak." Hosea nyengir lebar, bikin istri si bapak tadi dag dig dug ser.

"Surabaya Pak." Selalu singkat, yang penting intinya nyampe.

"Kita berdua Yogya, pindah-pindah." Ucap Biru sambil tunjuk Namu yang cuma bisa senyum manis.

"Kasep pisan kalian ini. Saya takut istri saya jadi lain hati." Mereka tertawa bersama- padahal kagak ada yang lucu dalam hati Yudha. Biasa hati batu mah udah buntu.

"Sama anak saya aja mau nggak nih?" Canda itu. Nggak tau kalo ternyata Yudha-nya kelewat serius.

"Anak Bapak cewek?" pertanyaannya bikin Biru, Namu sama Hosea pen mukul kepala doi, ya iyalah masa-

"Cowok."

Hah?

"Lah Pak?"

Si Bapak cuma ketawa doang, prik anjir. "Istri saya lagi hamil anak cewek, kan kalo kalian mau sama anak saya, anak saya nggak ngenes banget gitu. Dari lahir udah punya pasangan."

"Pedofil dong kita Bapaaack." Biru greget juga lama-lama pengen jenggut rambut di dagu si bapak.

"Ini kalian udah pada punya?"

Pada menggeleng. "Atuh ngenes banget ya, kasep-kasep loh padahal."

Nggak tau ya, ini si bapak jadi ngomongin keberuntungan anaknya yang udah pada punya pasangan, mereka cuma bisa senyum ketawa canggung. Antara malas dengerin dan kasian sama diri sendiri. Tapi setelah dengar ucapan Yudha, mereka jadi mensyukuri punya teman se-savage Yudha.

"Saya mengurangi dosa untuk tidak masuk jalur zina Pak."

Sumpah ya, Yudha se-santai itu abis ngomong begitu. Dia asik minum sama nyemil kacang abis ngomong gituan. Bikin yang ada di situ langsung mengheningkan cipta, ingat dosa.

Lewat telepati, Yudha nyuruh Hosea buat berdiri. Cepet-cepet naik ke gunung mumpung belum sore, sekalian kabur dari situasi akward yang doi ciptakan. Biarin aja lagian orang tua kok lemes banget mulutnya.

"Hayu Bang, goleran aja nanti keburu sore."

Biru yang notis Hosea makin nyender ke dinding bambu, perjalanan jauh bikin nguras tenaga dia. Padahal kerjaannya cuma duduk, nyanyi, sama makan. Kagak ada tuh nyetir mobil.

"Tau dih, lo yang ngajak juga." Namu udah semangat abis, pengen bikin badan berotot katanya- tapi hubungannya apa ya sama naik gunung..

Yudha masukin air mineral dan resleting tasnya. "Udah jompo, sabar."

Akhirannya Biru sinisin Yudha sambil berdiri pake tasnya. "Apaan?! Sehat bugar jasmani rohani gue! Ayok yeu lo pada remehin gue ye!"

Hosea tertawa paling keras abis nistain Biru, dia udah antusias banget buat hari ini.

Yudha berdiri, hadap bapak-bapak tadi. "Pak matur-nuhun udah ijinin kita istirahat disini, kita naik dulu sebelum sore."

Si bapak-bapak tadi terkekeh pelan, mengangguk. "Hati-hati ya kalian."

Mari ucap hamdalah, karena Yudha mereka berhasil keluar dari lingkaran julid tadi.

"Wah Ay, makasih lho. Gemas banget gue sama tuh orang tua, pengen jenggut dagunya."

"Ngomong doang, lakuin lah. Negara nggak butuh orang banyak omong minim tindakan."

SAVAGE LAGI!

Serius, ini Yudha lagi kenapa.

Biru saling lirik sama Namu juga Hosea, agaknya mereka ngerasain sebuah kejanggalan.

"Lo oke Ay?"

Yudha cuma berdeham, dia balik badan hadap mereka bertiga. "Napa sih? Biasanya juga gue kayak gini."

"Lo tuh- nggak gini Ay, savage nya nyelekit banget." Yudha cuma tertawa.

"Bang lo tadi- BANG AWAS!"

**

Jero sedari tadi sibuk pandang tanah berpasir yang ia pijak. Menyapunya acak dengan sepatu membentuk pola lalu menghapusnya kembali.

Kepalanya sedikit pening, efek memaksakan diri tapi feeling dia tuh kuat untuk ngelakuin ini, emang batu.

Attala juga Putra lagi ngurus ijin naik, dia disuruh duduk biar nggak nyusahin kata Attala. Jahat ga sih, padahal sama adik sendiri.

Labil bgt lo Jer

"Author diam, saya nggak suka."

Putra datang, tanpa Attala. "Lagi toilet." Seakan tau pertanyaan Jero, Putra menjawab tanpa harus ditanya.

"Nggak nanya."

"Nggik ninyi."

Doi duduk samping Jero sambil buka bungkus permen. Sempat tawarkan Jero namun ditolak olehnya.

Keduanya jadi hening dan hanya pandang para pendaki yang sudah turun dari merapi.

"Attala pernah ngomong gini sama gue." Jero diam, menunggu kelanjutan Putra akan berbicara apa.

"Jero tuh gemesin Put, gue pengen nyuruh Papa buat jadiin dia adek gue. Walaupun agak nyebelin dan kepala batu tapi dia mirip gue. Gue bisa liat diri gue sendiri di dia. Gue selalu pengen rangkul dia tapi dia seakan jauh dari jangkauan gue."

"Gue nggak paham seberapa dalam luka dia karena masa lalunya dan mungkin gue nggak akan pernah paham. Gue nggak ingin tahu apa masalah dia, tapi gue cuma pengen dia berbagi kondisi sama gue. Disaat dia lagi sedih gue pengen yang rangkul dia, disaat dia marah gue pengen yang jadi tempat pelampiasan dia."

Putra tengok Jero yang wajahnya udah memerah.

"Dari dulu Attala sayang sama lo Dek, lo jadi prioritas dia. Kayaknya gue tersaingi deh sama lo, haha." Putra merangkul bahu Jero, menepuknya berulang kali.

"And now? Attala bahkan udah jadi keluarga lo lewat jalur takdir. Walaupun harus melalui cara yang bikin sakit hati, tapi Tuhan tuh adil Jer."

Jero mengangguk, dia tarik ingusnya biar kagak keluar. Jujur perkataan Putra bikin hati dia tersentuh ditambah udaranya bikin dingin.

"Anjir, jorok banget lo met. Bentar gue beli teh hangat dulu."

Jero nggak tau seberapa nggak bersyukurnya dia jadi manusia. Tapi dia nggak paham sama rentetan kejadian yang udah berlalu. Dia butuh jawaban dari semua ini dan hanya disini, ditempatnya berpijak dia bisa menemukan jawaban itu.

"Om ada hadiah yang bisa kamu ambil saat kamu ngerasa dunia udah nggak adil sama kamu. Itu jadi jawaban kenapa dunia terasa nggak adil bagi kamu."

Namanya tekad, pasti pantang untuk mundur.

Sesaat setelah Putra kembali berbarengan dengan Attala. Jero tidak ada, paksakan diri naik sendiri dalam keadaan setengah mampus. Ya, seperti perkataannya di mobil, dia mampu dan harus kuat untuk menembus segalanya.

"Dia kabur Ta."

"Kita susul Put."

**

Romannya ada yang bakal reunian hihihi, nggak sabar, tp keknya masih agak lama yaw

Mangats kalian, life goes on!

GADARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang