Di part kemarin, lebih tepatnya saat pembicaraan Yudha dengan Afka yang membahas hal sensitif buat kita semua. First off all, I'm sorry if some words are hard to accept.
But, inside there is a secret key untuk kisah Yudha di akhir nanti yang akan jadi penutupan, dan aku pikir kisah Yudha ini yang paling realistis dalam kehidupan kita. So,
Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Dua hari sebelumnya
Ruang kedap suara, cermin yang berembun, dan dentuman musik yang membawa suasana lebih hidup menjadi teman baginya.
Tiada arti tanpanya buat hampa lebih terasa.
Menstabilkan irama detak jantung, menyalurkan seisi darah dengan baik ke seluruh tubuh. Dia akui, kegiatan memakan tenaga ini berhasil menyenangkan jiwanya. Terkadang apa yang melelahkan justru memuaskan, sukses menjadi pembuktian tersendiri, sesulit apapun yang dia genggam akan mudah jika itu suatu keikhlasan.
Seisi hidupnya telah diikhlaskan, walaupun pedih dirasa tapi tidak apa, orang terkasih dan tersayang lebih utama dibanding diri sendiri. Bukan berarti membenci diri, namun terkadang ego harus direndam demi kebaikan bersama.
Baginya bersikap baik-baik saja lebih baik dibanding menghadapi hal rumit yang jelas tidak akan bisa dihadapi seorang diri. Dirinya jelas berbeda jauh dengan Yudha, yang sanggup berdiri menantang penyebab lukanya sendiri, dan dia tidak seberani itu, dia pengecut dan jahat pada diri sendiri.
Perbedaan antara penyembuh luka pun jelas bertolak jauh. Belajar dari Jero dan Putra tidaklah cukup untuk mentekadkan raganya macam sebuah sendok perak.
"Luka itu sama seperti air hujan, mereka jatuh menyentuh permukaan lalu menggenang dan menguap kembali pada awan yang menjadi asal mulanya. Lo nggak akan pernah sembuh dari luka itu saat lo sendiri belum berdamai dengan masa lalu. Hanya diri lo yang bisa menjawab apa penyebabnya, siapa pelakunya, bukan orang lain. Hanya lo yang tau rasanya punya luka sampai segini pedihnya. Jadi gimana rasanya hidup dengan isi kepala yang penuh dan berisik?"
Dia tidak pernah berekspetasi jika anak selucu dan semuda Jero lebih bijak diantara puluhan manusia yang berada di sekitarnya. Tentang pertanyaan terakhir, kepalanya memang penuh dan berisik. Malahan sangat berisik, jika sedang diam maka kepalanya akan sangat kosong tidak bergema.
Patah hati karena pacar itu biasa, tapi sakit hati karena keluarga itu luar biasa. Jika kita kehilangan sebagian diri karena keluarga, kepada siapa lagi kita berpulang untuk mengadu? Kemana lagi harus mengeluh jika keluarga justru selalu buat luka untuk hati?
Pesan masuk yang di dapat tadi pagi menggetarkan hatinya, mempertanyakan apakah pilihan yang di lakukannya telah tepat atau justru menjadi pedang bermata dua untuknya?
Tubuhnya berbaring lelah diatas matras, dahinya berkerut saat sekitaran pergelangan kaki terasa ngilu untuk digerakkan.
Mengangkat kepala sedikit untuk melihat apa yang terjadi dengan kakinya, sedikit biru dan bengkak. Petaka sepertinya akan datang, dua hari lagi hari lomba dan keadaan kakinya sedemikian rupa.
Stres sekali.
Belum lagi dengan rentetan pesan dari bapak, bukan hanya keadaan kakinya yang buruk tapi pesan masuk pun bisa didengar tengah mentertawakan dirinya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...