Siap untuk penuhin komen di part ini?
**
Biru itu bagai induk dari anak ayam yang berpencar dijalan. Jika satu dari mereka hilang arah, maka yang lain akan lakukan hal yang sama.
Jika Yudha hilang arah, maka mereka yang dianggap adiknya, akan ntah berantah bersandar kepada siapa jika dia yang tertua setelah Biru dilanda ketiadaan nafsu hidup.
Biru merasa bersalah, niatnya pergi untuk menyelesaikan, dan kembalinya dia untuk melanjutkan yang sempat tertunda, justru berakhir menoreh banyak luka.
"Nih gue ceritain, jangan nyelak, jangan ngebacot, jangan gegarukan-"
"Berisik! Cepet!" Ingin sekali Biru jitak kepala Attala, dari tadi itu orang ngegas mulu kagak pake rem.
"Gue udah check in, udah masuk pesawat. Pesawat mau take off, tapi gue inget hp boba gue nggak ada ditangan. Refleks dong, gue ambil tas ransel yang isinya penting semua dan keluar dari pesawat. Nggak mikirin ada koper gue di bagasi."
Biru memasang wajah datar saat lihat Jero tidur mendongakkan kepala dengan mulut terbuka. Dinotis Putra, dia usap wajah Jero dari atas sampai bawah yang bikin Jero mengecap bibir, asin.
Beri tatapan mematikan pada Putra dan kembali fokus saat semua pasang mata mengarah padanya.
"Gue nyari tuh hp ke tempat tunggu penumpang, nggak ada dong. Dicuri orang, apesnya gue malah ketinggalan pesawat."
"Dan beruntungnya lo selamat, nggak naik tuh pesawat, Bang." Namu menyamankan dirinya berbaring dengan kaki Hosea yang jadi bantalan, Hoseanya lagi selonjoran euy.
"Malingnya ketauan? Udah ditangkep? Tau nggak mukanya?" Cecar Attala pada Biru sampai sepupunya setengah berdiri.
"Mau ngapain lo? Mukul tuh maling? Nggak! Nggak ada, dilarang kekerasan."
"Apaan sih, gue mau ucap makasih banyak, mau kasih bingkisan. Su'udzon mulu lo heran."
Biru kira mau diapain, emang ya cuma Attala yang pikirannya serandom tapi tepat kayak gitu.
"Iya juga ya, kita perlu ucap makasih banyak sama tuh maling." Timpal Hosea, cowok itu lagi singkirkan kepala Namu dari kakinya karena kesemutan.
"Nggak usah, Mama udah ngasih kerjaan sama tuh maling. Mama sampe nangis asal lo tau, Ta." Ucapan Biru bikin Attala bingung.
"Lah? Tadi gue telpon katanya Bibi Seryn nggak tau apa-apa." Mereka pandang Biru ngeri, dia malah tertawa ngakak dong, kayak nggak punya salah, mana udah bikin anak orang kecelakaan.
"Itu rencana gue, sengaja mau bikin kalian nangis bombay eh malah gue kena getahnya juga." Dia pegang pipi kirinya yang kena bogeman Attala.
"Sakit tau. Wajah tampan gue."
"Ya maaf, lo ngeselin."
Biru alihkan atensi pada Yudha yang sedari tadi diam menunduk, wajahnya sedikit pucat dan keringat membanjiri pelipisnya.
"Ay, are you fine?"
Mengangkat kepala sedikit melihat sekelilingnya yang ikut menatapnya khawatir. Lantas menggeleng pelan hingga buat mereka grasak-grusuk mendekat.
"Apa yang sakit?!"
Berbagai ekspresi, menunggu jawaban jujur dari Yudha yang masih bungkam.
"K..kayaknya jahitannya kebuka."
"Anjrit!" Putra langsung mendekat ke Attala dan raba-raba kantung celana dia.
"Put, pelecehan tolol!"
"Kagak anjing! Kunci mobil mana?" Emang matanya Putra siwer, dia nggak liat ada kunci mobil di samping vas bunga, didepan dia.
"Buta mata lo!" Mengacuhkan umpatan Attala dia kabur ke mobil dan berseru, selepas itu terdengar segala umpatan disusul derap kaki cepat dari dalam rumah Biru yang nyatanya tidak se-biru pemiliknya.
"WOY KAMBING! CEPET BANGSAT"
**
"Btw, Ay gue minta maaf nih. Udah bikin lo kayak gini." Biru menatap Yudha sendu, cowok itu kembali di infus setelah di jahit. Sempat dimarahi pula oleh dokter.
"Lupain Bang, yang penting gue dan elonya baik-baik aja." Jujur, dalam dadanya ada ladang bunga yang bermekaran. Bukan bromance, tapi perasaan 'back to home.'
"Yang bayar RS siapa?" Tanyanya pada peghuni kamar inap 'Ruang Raflesia'
"Mereka berdua." Tunjuk Yudha kearah Namu dan Attala. Tidak merasa rendah, karena mereka memang tulus dan dia yang keenakan.
"Gue ganti, berapa?" Ouh Sultan Sagara's.
Namu dan Attala pura-pura sibuk membahas perkara proker BEM selanjutnya, mengabaikan Biru yang menatap datar keduanya.
"Mau makan apa? Gue pesenin, bebas!" Siapa yang bisa menolak gratisan? Terlebih lagi dua adam itu sudah kurang ajar memesan makan melebihi kapasitas perut manusia normal.
"Jer, perut lo sakit jangan ngadu ke gue." Ancam Attala, pasalnya Jero tuh manja banget kalo lagi sakit. Ntah minta usap kepala, usap punggung, atau mengeloni hingga tidur.
Lo jompo apa gimana Jer?
"Ish, mumpung ditraktir." Rengeknya.
"Nanti juga jadi tai, Jer." Sahut Hosea gamblang. Dia sibuk sama ponselnya, sampai minta Biru pesenin makanan yang menurut doi enak.
"Bang Hos!"
Hosea tergelak, tadi coach-nya mengirim koreografi untuk lomba nanti melalui gdrive. Dia akan lihat sepulang dari sini untuk mandi, mereka tuh mengembel tapi tetap kece. Mari tebak siapa yang tidak mandi selama 3 hari?
Semua, haha.
Saking lupa sama keadaan, mandi pun dilupakan. Padahal tiap hari bolak-balik kamar mandi. Beda halnya sama Biru, di Ausie dia nggak ngeluarin keringat sama sekali, cuma cuci muka sama gosok gigi dan tetap tampan menawan kalo kata hatinya, pede abis, tapi no debat.
Putra baru ingat saat melihat Namu, dia pikir ini waktu yang tepat untuk menanyakan itu.
"Bang, kemarin malam sekitar jam 12 an, lo ditelpon Gia nggak?"
Namu jadi melepas fokus pada ponsel dan beralih pada Putra. "Nggak, gue stay pegang hp di bandara."
"Kenapa?" tanyanya, menurut Putra sih ini nada mengintimidasi ya, nggak tau mereka yang lagi nonton keduanya.
Sedikit ragu. "Dia telpon gue, manggil nama gue habis itu udah."
"Kok dia tau nomor lo? Sedangkan lo malah minta nomor dia?"
"Oh masih disimpen.." gumamnya, masih terdengar Namu.
"Gia siapa? Cewek yang kerja di bengkel depan kampus?"
Tunggu.
"Cinta pertama yang jadi saudara angkat lo kan Put?"
Ouch. Attala uh- you are so fucking man.
**
Pendinginan dulu..
Btw, ada yang dari Malay kah?
KAMU SEDANG MEMBACA
GADARA (END)
FanfictionFilosofi sederhana dari sebuah titik temu. Awalnya tak ada alasan untuk mengenal, namun semakin hari sebab tuk saling merangkul semakin tak tertahan. Puncak memang menjadi akhir dari perjalanan, tetapi bukan berarti ini menjadi sebuah akhiran. Tidak...