7. Danial

1.3K 170 12
                                    

Danial, laki - laki dingin yang cukup disegani di sekolahnya. Si irit bicara, namun sekalinya berbicara sukses membuat lawan bicaranya sakit hati. Bagaimana tidak, mengingat bagaimana dingin dan kasarnya sosok Danial, terlebih pada orang yang baru ia kenal.

Seperti halnya saat ini, Danial dan Aiden terlihat sedang bermain bola basket dilapangan. Sedangkan disisi lain, anak IPS 3 juga terlihat sedang mengikuti pelajaran olahraga.

Semuanya masih berajalan dengan baik, meskipun sisi lapangan nampak terbagi menjadi dua. Disebelah kanan ada Danial dan juga teman se-tim nya, sedangkan disebelah kiri ada kelas IPS 3 yang yang sedang latihan men-drible bola.

Diaz yang sedang mengikuti pelajaran olahraga pun terlihat sangat lihai men-drible bola yang berada di tangannya. Tak jarang juga dirinya mendapat pujian dari teman - temannya, bahkan Danial yang awalnya abai sedikit demi sedikit mulai teralihkan atensinya kearah Diaz.

"Apa gue bilang, Diaz punya kemampuan"

"So what? Lagian lo juga gamungkin asal masukin orang cuma gara - gara lo ngeliat dia punya skill" balas Danial yang sukses membuat Aiden menghela nafasnya pelan.

"I know, sekarang kita emang lagi kekurangan anggota— because Andreas yang baru aja kecelakaan. Tapi, apa harus anak baru itu?"

"Kemarin gue udah sempet one by one sama dia, dan gue akuin dia emang jago. Dia puny skill, dan gue yakin— dengan adanya dia di tim kita. Seenggaknya itu bisa ngebantu kita pas tanding ngelawan SMA Merpati  nanti, Dan"

"Seyakin itu lo?"

"Dan, ayolah— demi SMA Garuda" ujar Aiden yang sukses membuat Danial kembali mengalihkan atensinya kearah Diaz.

"Gak, gue ga setuju" ujar Danial sebelum akhirnya melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Aiden yang saat ini hanya bisa menghela nafas pelan.

Sedangkan disisi lain, Diaz yang merasa dirinya tengah ditatap langsung saja mengalihkan pandangannya. Dan ya, benar saja— Danial, laki - laki itu tengah menatapnya dengan tatapan yang bahkan Diaz tidak tau artinya.

Diaz hendak tersenyum, namun ia urungkan mengingat jika sosok tersebut justru membuang muka tepat setelah tatapan mereka bertemu.

"Kenapa, Dii?" Tanya Satria seraya berjalan menghampiri Diaz.

"Gapapa" balas Diaz seraya tersenyum tipis, Satria mengangguk sebagai jawaban sebelum akhirnya mereka kembali melanjutkan kegiatan olahraganya.

***

Kini baik Diaz maupun Satria terlihat tengah beristirahat di kantin, keduanya tampak begitu lelah— mengingat jika pelajaran olaraga baru saja selesai sekitar lima menit yang lalu.

"Dii, lo aman?" Tanya Satria tepat setelah netranya tidak sengaja melihat Diaz sedikit kewalahan dalam mengatur nafasnya.

" I'am fi-ne"

"Serius? Muka lo merah gitu. Lo sakit?"

Diaz menggeleng pelan seraya tersenyum tipis, berusaha menenangkan teman barunya tersebut agar tidak khawatir. "Sial, kenapa harus kumat disaat kaya gini sih"

"Lo ga lagi nyoba buat bohongin gue kan?"

"Gapapa serius, i am fine" balas Diaz lengkap dengan senyum tipisnya, sedangkan Satria? Mau tak mau laki - laki tersebut memilih untuk percaya.

"Gue mau mesen nih, lo mau nitip ga?" Tanya Satria seraya beranjak dari duduknya. Diaz nampak berpikir sejenak sebelum mengangguk cepat sebagai jawaban, "nasi goreng sama air putih aja deh"

Satria mengangguk, "Okay, tunggu ya"

"Sambil nunggu lo, gue ijin ke kamar mandi bentar ya"

"Iya GPL" balas Satria, sedangkan Diaz? Sosok tersebut langsung saja membawa langkahnya menuju kamar mandi.

Diaz menarik nafasnya panjang seraya menatap pantulan wajahnya di cermin, dan benar saja— wajahnya terlihat begitu pucat disertai dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.

Diaz memejam, berusaha menghalau rasa sesak yang kini semakin menghimpit dadanya. Jujur, Diaz tidak ingin terlihat lemah seperti ini. Ia hanya ingin hidup normal seperti teman - temannya yang lain, tapi apa? Tuhan justru memberikannya cobaan seberat ini.

Diaz bukannya mengeluh, hanya saja ia lelah dengan semua drama ini. Diaz lelah jika diminta untuk mengorbankan apa yang sebenarnya masih ingin ia perjuangkan.

Sejujurnya masih banyak mimpi yang ia harapkan. Diaz ingin bertemu mama, Diaz ingin menjadi atlete basket, Diaz ingin mengejar semua impiannya. Tapi sayang, semuanya harus kandas karena dirinya yang penyakitan ini.

Diaz memiliki masalah pada jantungnya, dan itupula yang menjadi  alasan mengapa Reksa sangat melarang Diaz untuk bermain bola basket lagi.

Diaz menghela nafas panjangnya, tangannya bahkan terangkat untuk memukul pelan dadanya. Berharap dengan cara tersebut, rasa sesak yang menghimpit dadanya berkurang. Diaz butuh udara, hanya saja semesta begitu pelit padanya.

Diaz memejamkan matanya sejenak, pengelihatannya mulai berkunang - kunang. Sebisa mungkin Diaz berusaha untuk mengambil alih kesadarannya kembali. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi sampai membuat orang - orang kasihan padanya.

"Okay dii, lo pasti bisa" ujarnya sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi dari kamar mandi.

Namun, baru saja Diaz ingin membuka pintu— sosok Danial justru muncul dihadapannya secara begitu tiba - tiba. Alhasil, dengan keadaan Diaz yang bisa dibilang belum cukup seimbang, dirinya justru tidak sengaja menabrak Danial— sehingga keduanya tampak jatuh kelantai.

"Shitttt, lo punya mata ga sih?" Kesal Danial seraya mendorong kasar tubuh Diaz.

"Sorry - sorry, gue ga sengaja"

"Jangan sentuh gue!" Ujar Danial tepat setelah Diaz ingin menyentuhnya.

"Sorry, tadi gue emang lagi kurang fokus makannya gue ga sadar kalau ada lo di depan pintu" Diaz berusaha menjelaskan, sedangkan Danial? Laki - laki itu justru memutar bola matanya malas sebelum akhirnya melenggang memasuki kamar mandi begitu saja.

Sedangkan Diaz? Laki - laki itu hanya bisa mengela nafasnya pelan, "Gimana bisa temenan kalau gue justru ngebuat dia naik darah terus"

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang