18. Perasaan Bersalah

1.4K 148 7
                                    

"Sejauh ini apa  sakit  kamu sering kumat?"

"Emang kenapa, Om? Gabiasanya om nanya kaya gini" ujar Diaz yang sukses membuat Reyhan menghela nafas pelan.

"Kondisi jantung kamu bisa dibilang jauh dari kata baik, Dii. Om juga gapaham kenapa bisa kaya gini, padahal kemarin kondisi kamu berangsur membaik"

"Kamu ga lagi nyoba nyembunyiin sesuatu dari om atau ayah kamu kan, Dii?" Lanjut Reyhan tepat setelah merasakan perubahan pada raut wajah Diaz.

"Entah ini udah yang keberapa kalinya om bilang sama kamu, tolong jaga kesehatan kamu, Dii. Jangan ngelakuin hal - hal yang nantinya malah ngerugiin diri kamu sendiri. Om tau, kamu masih muda. Kamu juga pasti pengen kaya temen - temen kamu yang lainnya, tapi disisi lain ini juga demi kebaikan kamu, Dii"

Diaz menghela nafas pelan, rasanya ia benar - benar muak dengan segala aturan yang kian menyiksanya. "Aku harus apa lagi, Om? Udah cukup aku korbanin semua hal yang aku suka cuma gara - gara penyakit sialan ini. Aku juga pengen hidup normal kaya orang lain, Om"

"Kalian nyuruh aku pindah sekolah, oke aku pindah. Kalian nyuruh aku terapi tiap minggunya, oke aku jalanin meskipun kalian tau gimana menderitanya aku pas ngejalanin terapi itu, dan jugaa— kalian nyuruh aku berhenti buat main basket, disaat kalian sendiri tau kalau basket emang cita - cita aku dari kecil, tapi aku tetep iyain. Aku berhenti main basket. Dan sekarang? Aku harus apalagi, Om? Jujur kalau bertahan rasanya sesakit ini, lebih baik aku nyerahhh Om"

"Diazz"

"Ayahhh?" Lirih Diaz tepat setelah sosok Reksa muncul dari balik pintu. Diaz memejam, ia merutuki dirinya sendiri.

"Maafin Diaz yah, ga seharusnya Diaz bersikap selemah ini" lirih Diaz lengkap denga tatapan kosongnya. Sedangkan Reksa, tanpa pikir panjang laki - laki itu langsung membawa Diaz kedalam rengkuhannya.

"Diaz anak ayah yang paling kuat, jadi tolong— jangan pernah bilang nyerah disaat kamu satu - satunya harta yang ayah punya. Ayah bahkan gabisa ngebayangin gimana hidup ayah nantinya tanpa kamu, Dii"

"Maafin Diaz yah"

"Kalau kamu sayang sama ayah, tolong jangan pernah ngomong seolah - olah kamu lebih milih pergi daripada bertahan sama ayah"

"Kalau kamu ngerasa selama ini udah cukup menderita, terus apa kabar dengan ayah?—"

"—Menurut kamu gimana perasaan ayah waktu tau kamu sakit, dan parahnya lagi itu semua karena ayahh"

"Yahhh please, ini bukan salah ayah. Jadi stop nyalahin diri ayah sendiri karena ini. Diaz mohon"

Reyhan yang sedari tadi mengamati memilih menghela nafasnya pelan sebelum akhirnya tersenyum, "Om tau kamu anak kuat, kamu pasti sembuh Dii"

Diaz tersenyum, merasa bersalah dengan sikapnya yang sedikit kekanak - kanakan. Tidak seharusnya juga ia bersikap seperti itu kepada sosok yang selama ini menjadi penyemangatnya.

***

"Lain kali kalau ada apa - apa jangan segan buat cerita sama ayah. Dengerin kata Om Reyhan, jangan kecapekan. Istirahat yang bener, obatnya juga— ayah tau kalau kamu sering bolos minum obat kan?" Ujar Reksa tepat setelah mereka sampai di rumah.

Diaz cengengesan, "Iyaa lain kali engga lagi deh yah"

"Dari dulu juga kamu ngomongnya gitu, tapi di ulangin aja terus"

"Kali ini janjiiii"

Reksa memutar bola matanya malas, sedangkan Diaz hanya bisa menunjukkan cengiran khas andalannya.

"Kamu mau makan apa? Biar ayah masakin" ujar Reksa seraya membawa langkahnya menuju dapur

"Emang ayah ga capek?"

"Sebagai gantinya, habis makan kamu harus pijitin ayah"

"Dihhh kalau gini mah ada maunya doang"

"Mau dimasakin ga? Kalau engga ayah masak buat ayah sendiri aja"

"Maulahhh, yakali engga"

"Mau dimasakin apa?"

"Waittt, Diaz cek isi kulkas duluuu"

"Ribet banget sih, padahal kan tinggal bilang mau dimasakin apa"

"Yaaa kan Diaz harus tau isi kulkas dulu biar bisa nentuin mau dimasakin apa"

"Ribett kamuuu"

Diaz mengedikkan bahunya abai seraya membawa langkahnya menuju kulkas, membukanya dan mulai memperhatikan bahan - bahan makanan yang tersedia di dalamnya

"Ada kentang, gorengen kentang aja deh yahh"

"Kamu tau kan bedanya makan sama ngemil, Dii?"

Diaz menghela nafas lelah, "Tapi Diaz lagi ga pengen makan ayah, pengennya ngemil aja"

"Terus gimana kamu bisa minum obat kalau kamu ga makan dulu?"

"Ayahhhh ribettt ihhhh"

"Yaudah nanti ayah gorengen kentang, tapi sekarang kamu tak buatin nasi goreng dulu ya?"

"Yaudah, terserahnya ayah aja. Diaz tunggu di ruang tamu sambil nonton doraemon"

"Doraemon aja teruss"

"Dihh kaya ayahhh engga aja" ujar Diaz seraya merebahkan tubuhnya pada sofa. Mengabaikan Reksa yang saat ini tengah berkutik dengan peralatan dapurnya.

Diaz memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya menghela nafas pelan. Entah kenapa perkataan Om Reyhan tentang kondisinya tadi semakin membuat dirinya merasa down.

Ia tidak tau sampai kapan ia bisa bertahan, tapi sebisa mungkin ia akan berusaha— setidaknya jika bukan untuknya, ia ingin bertahan demi ayahnya.
Diaz bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana ayahnya nanti tanpa dirinya. Ia juga tidak mau jika nantinya ia adalah alasan pertama hancurnya seorang Reksa.

Tinggggg

Diaz mengalihkan atensinya tepat setelah sebuah notif masuk di ponselnya. Diaz mengernyit, sebab nomer yang tertera didalamnya tidak ia simpan sebelumnya. Jadi tanpa pikir panjang, Diaz langsung membuka aplikasi Whatsaap, dan mulai membaca pesan yang baru saja ia terima.

Hari ini ada latihan, dan gue gamau nerima alasan apapun!
-Danial

Lagi - lagi Diaz kembali dibuat menghela nafas pelan. Jujur, Diaz merasa jika dirinya telah menjadi anak durhaka kepada ayahnya. Tapi disisi lain, ia juga tidak punya pilihan lain. Sederhananya, ia sangat menyesali sikap bodohnya yang mudah terpancing emosi.

"Bengong mikirin apa, Dii?" Tanya Reksa lengkap dengan dua piring nasi goreng ditangannya.

"Kok dibawain? Ayah kan bisa panggil Diaz" bukannya menjawab, Diaz malah melempar pertanyaan baru.

"Udah tinggal makan aja, ga usah banyak tanya" ujar Reksa yang entah kenapa semakin membuat Diaz dirundung perasaan bersalah.

"Maafin Diaz, yah" batinnya

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang