"Jadi gimana yah?" Tanya Diaz lirih
"Sebenernya sulit buat ayah ngijinin kamu ikut kaya ginian Dii, kamu tau kan kal—"
"Diaz tau, tapi Diaz juga pengen hidup normal kaya temen - temen Diaz yang lainnya yah"
"Apa kamu bisa janji ke ayah kalau kamu gabakal kenapa - napa disana?"
"Diaz janji, Diaz bakal jaga diri yah. Tapi ayah ijinin Diaz kan?"
Reksa terlihat menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban. "Iya ayah ijinin kamu"
"Ayah serius?"
"Asal kamu bisa buktiin kalau kamu bakal baik - baik aja, ayah janji— ayah gabakal membatasi aktifitas kamu lagi Dii"
"Makasii yahh" balas Diaz senang seraya memeluk tubuh tegap ayahnya.
Reksa tersenyum, tangannya terlihat membalas pelukan putranya. Jujur, rasanya Reksa tidak iklas. Tapi ia juga tidak ingin terlalu mengekang putranya, Diaz sudah cukup menderita selama ini— jadi Reksa tidak ingin menambah kesedihan putranya lagi. "Kabarin ayah, kalau bisa satu hari 24 jam ayah harus tau gimana keadaan kamu nanti Dii"
"Siap laksanakan yahh" balas Diaz sekali lagi. Sosoknya terlihat senang bukan main. Pikirannya yang mengira jika Reksa tidak akan memberikan ijin justru berkata sebaliknya.
"Diaz janji, Diaz bakal jaga diri untuk ayah"
"Anak ayah emang pinterr" ujar Reksa seraya mengusap lembut surai putranya. Sosoknya tersenyum, tapi jauh dilubuk hatinya yang paling dalam dirinya benar - benar takut. Bukannya tidak percaya dengan Diaz, tapi untuk saat ini dirinya bahkan sangat sulit untuk berpikir positif.
***
Waktu berjalan begitu cepat, karena kini saat yang ditunggu - tunggu oleh seluruh siswa SMA Garuda telah tiba. Hari dimana mereka dapat merasakan suasana pegunungan yang khas serta menenangkan. Terutama bagi Diaz, sosok tersebut sangat menyukai tempat ini.
Selain memberi ketenangan, setidaknya Diaz bisa melupakan seluruh masalahnya. Namun sepertinya semua hanyalah ekspetasi belaka bagi Diaz. Karena kini, sosok Danial justru tidak henti - hentinya mengganggu dirinya.
"Kenapa? Si cupu gapernah ngerasain suasana puncak ya? Kasian banget sih"
"Terus gue harus peduli gitu?"
"Gausah belagu, mending sekarang lo bawain tas gue" ujar Danial seraya melempar asal tasnya kearah Diaz.
"Lo pikir gue babu lo? Engga - engga, semasih tangan lo masih lengkap— ogah banget gue bantuin lo" balas Diaz seraya melempar balik tas milik Danial.
"Lo ya—"
"Kenapa? Lagian ga ada ya di kamus gue anak lama bisa seenaknya nyuruh nyuruh anak baru" balas Diaz sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi dari sana, meninggalkan Danial yang saat ini berusaha mati - matian untuk menahan kesabarannya.
"Udahlah Dan, lagian lo ga ada habis habisnya apa gangguin si Diaz" ujar Aiden mengingatkan.
"Sebenernya disini lo temen gue apa si cupu itu sih? Perasaan lo dikit - dikit lebih bela dia dibanding gue" kesal Danial semakin menjadi.
"Ya sahabat lo sih, tapi kan—"
"Kalau sahabat gue, seharusnya lo ngedukung gue buat ngasih pelajaran tu anak baru biar ga makin songong" ujar Danial yang hanya bisa dijawab helaan nafas pelan oleh Aiden.
Sedangkan disisi lain, kini sosok Diaz terlihat membawa langkahnya menuju ranting yang berada tidak jauh dari pohon besar dihadapannya. Diaz meletakkan ranselnya sebelum memilih untuk menjatuhkan pantatnya pada ranting pohon yang bisa dibilang cukup besar tersebut. Diaz menarik nafasnya pelan sebelum akhirnya mengulum senyum tipisnya. Ia bahkan tidak pernah memikirkan jika dirinya kembali bisa menikmati suasana seperti ini.
Rindu, jujur Diaz sangat merindukan suasana ini. Meskipun dirinya memang tidak pernah kepuncak, tetapi hati kecilnya mengatakan jika puncak seperti memiliki arti sendiri di hidupnya.
Seperti pernah, namun nyatanya tidak pernah.
Sangat aneh memang, Diaz sendiri tidak paham mengapa.
"Sendirian aja lu, pake segala ngelamun lagi. Kerasukan baru tau rasa lo" ujar Satria yang entah sejak kapan sudah berada disampingnya.
"Lo gue cariin kemana - mana, taunya malah nongkrong disinii" lanjutnya
"Kenapa emang?"
"Polos banget tuh muka, seketika pengen gue cemplungin tuh ke danau biar tau rasa. Ya menurut lo aja Diazzzz, lo liat tuh anak - anak lagi kesusahan bangun tenda. Lo malah asik - asikan duduk disini, udah gitu ga ada inisiatih ngajakin gue lagi. Gue kan pengen nyantai juga, males banget tuh ngurusin tenda yang susah banget diatur kaya hati doi"
"Lo curhatttt?"
"Sekaliann" balas Satria lengkap dengan kekehannya.
"Yaudah kalau gitu gabung ke anak - anak aja yuk, kasian juga yang lain pada kesusahan bikin tenda"
"Baru juga gue mau nyantai, lo malah ngajak gue bergelud sama tenda - tenda sialan itu lagi"
"Udah ah, nyantainya nanti malem aja. Sekarang kita bantuin yang lain dulu" ujar Diaz seraya beranjak dari duduknya. Sedangkan Satria? Laki - laki tersebut hanya bisa menurut.
TBC
Hai maaf banget baru bisa update lagi ya :(
KAMU SEDANG MEMBACA
00.00
Teen Fiction00.00 Orang lain bisa menyebutnya sebagai awal, tapi tak sedikit pula yang menyebutnya sebagai akhir. Diaz, laki - laki humoris yang tidak sengaja bertemu dengan laki - laki sedingin Danial. Mereka tidak ada hubungan apapun dan mereka bahkan tidak...