11. Diaz Kuat

1.8K 153 7
                                    

Diaz membawa langkah pelannya memasuki rumah, dan entah kenapa kata - kata Danial tadi sukses membuatnya kepikiran. Entah kenapa Diaz tidak menyukai tatapan penuh kebencian milik Danial, dan suara tinggi tersebut? Diaz juga tidak menyukainya.

Sebenarnya siapa Danial? Kenapa sikap sarkasnya sangat berpengaruh pada dirinya? Bukankah mereka baru saja saling mengenal?

"Sshhhhhhhh" lirih Diaz seraya memegang dadanya yang tiba - tiba terasa sesak.

Diaz merutuki kebodohannya, seharusnya tadi ia membawa kapsul - kapsul yang sudah menjadi temannya sejak kecil tersebut, karena jika sekali saja Diaz melupakan obat tersebut, sudah dipastikan jika semuanya tidak akan berakhir dengan baik - baik saja.

Seperti halnya yang terjadi saat ini, Diaz meringkuh di sudut kamar dengan keringat dingin yang mulai membasahi wajahnya. Pengelihatannya mulai kabur seiring dengan rasa pusing serta sesak yang sukses membuat dirinya kewalahan bukan main.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Diaz berusaha merogoh saku celananya dan mengambil benda pipih dengan merk Apple tersebut dari dalam sana. Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Diaz langsung saja memanggil kontak atas nama "Ayah" di layar ponselnya.

"Hall—"

"A-yahhhh"

"Diii? Ar u okay? Kamu dimana sekarang? Heiii, kenapa suara kamu gitu? Kamu udah pulang atau masih dirumah temen?"

"Ka-mar"

Titttttt

Reksa terlihat memasuki kamar putranya dengan sedikit tergesa, setidaknya tepat setelah dua menit panggilan mereka terputus.

"Diazz" teriak Reksa seraya berlari kearah Diaz, merengkuhnya seraya menghapus jejak keringat yang kini telah membanjiri wajah putra kesayangannya.

"Kamu udah minum obat?" Tanya Reksa yang langsung dijawab gelengan pelan oleh Diaz. Reksa yang terlihat panik langsung saja merogoh laci meja yang berada tidak jauh dari posisinya, mengeluarkan beberapa butir obat sebelum akhirnya memberikannya kepada Diaz.

"Pelan - pelan ya" lanjut Reksa seraya membantu Diaz untuk minum.

"Se-sek yahhh"

"Kamu tiduran ya? Nanti ayah bantu urut biar ga sesek lagi"

"Diaz nyusahin ayah ya?

"Engga ada sejarahnya seorang anak nyusahin orang tuanya, Dii"

"Tap—"

"Istirahat, jangan mikir yang engga - engga" potong Reksa yang sukses membuat Diaz bungkam.

Diaz terpejam seiring dengan efek obat yang saat ini sudah mulai bekerja, lain halnya dengan sosok Reksa. Laki - laki itu hanya bisa menatap sendu kearah putranya.

"Maafin ayah, Dii. Andai bukan karena kesalahan ayah, kamu mungkin ga bakal ngerasain sakit kaya gini" lirih Reksa, air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah. Kilasan - kilasan buruk dimasa lalu kembali terngiang di ingatannya, tentang bagaimana mobil mereka menghantam trotoar dengan begitu kerasnya, tentang dirinya yang hampir saja kehilngan sosok yang paling berharga dalam hidupnya, Diaz.

Benturan keras kala itu sukses membuat Diaz hampir saja kehilangan nyawa. Dan karena kecelakaan tersebut pula, Diaz harus bertahan dengan bantuan obat - obatan sepanjang hidupnya. "Maafin ayah, Dii"

Dan tidak semua orang tau bagaimana cara mereka untuk bangkit dari sebuah keterpurukan.

***

Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, sedangkan kini? Sosok Reksa terlihat tengah menyikap tirai yang menutupi jendela kamar putranya.

"Ayahhh" panggil Diaz yang sukses membuat Reksa mengalihkan atensinya. Dilihatnya sosok Diaz tengah tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak pelan dari tidurnya.

"Gimana keadaan kamu? Udah mendingan?" Tanya Reksa yang lagi - lagi dijawab senyuman tipis oleh Diaz.

"Udah mendingan"

"Istirahat lagi ya? Hari ini ga usah sekolah dulu gapapa? Ayah takut kamu kenapa - napa di sekolah"

"Tap—"

"Dengerin kata ayah, ya? Ayah cuma punya kamu, dan ayah gamau kamu kenapa - napa" ujar Reksa yang mau tidak mau hanya dijawab anggukan pelan oleh Diaz.

Reksa tersenyum sebelum akhirnya memilih mengusak lembut surai putranya, "kamu tiduran aja dulu, biar ayah siapin sarapan buat kamu"

"Bubur ayam ya, yahhh?"

"Iyaa iyaaa" balas Reksa yang sukses membuat Diaz menunjukkan cengiran khasnya.

Reksa terkekeh pelan sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kamar putranya. Sedangkan Diaz? Laki - laki itu hanya bisa menghela nafas pelan selepas kepergian sang ayah.

"Diaz kayaknya nyusahin banget ya, yah" lirihnya pelan.

Diaz termenung sejenak, setidaknya sebelum sebuah notifikasi muncul dari layar handphonenya. Diaz mengernyit pelan tepat setelah nama Satria tertera didalamnya.

"Halloo Diii"

"Hmmm"

"Sekarang lo lagi dimana?"

"Dirumah, kenapa?"

"Astaga, lo ga liat sekarang udah jam berapa? Dan dengan santainya lo bilang kalau lo masih dirumah? Lo ga inget gitu kewajiban lo sebagai seorang siswa?" Ceroscos Satria yang sukses membuat Diaz reflek menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Gue ijin ga masuk"

"Hah? Ijinn? Kenapa tiba - tiba banget? Ar u okay? Lo gapapa kan? Dii? Diazzzz? Oii setan, lo masih disana kan?"

"Gue sakittt"

"Astagaa, kenapa lo gabilang sih? Sakit apa? Terue sekarang udah baikan?"

"Satu - satu kali, Sat. Lagian iam fine, cuma masih rada lemes sama pusing aja dikit. Jadi ayah ga bolehin gue berangkat sekolah dulu"

"Yaudah kalau gitu sekarang mending lo fokus istiraht dulu, pulang sekolah nanti gue kesana"

"Ngapain?"

"Bawa karangan bunga"

"Hehhhhh"

"Ya jengukin lo lah bngsat, pake nanya lagii"

"Santaii anying, ga usah ngegas!"

"Yaudah yaudah, ngomong sama lo bikin gue emosi pagi pagi"

"Kalau lo lupa lo yang nelp gue duluan!"

"Udah udah udahh, gue matiin dulu. Bye"

"Hmmm"

Panggilan pun terputus, menyiksakan Diaz yang hanya bisa terkekeh pelan menyikapinya.

Tbc

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang