34. Terimakasi

1K 124 5
                                    

"Akhir - akhir ini gue sering banget liat lo ngelamun. Lagi mikirin apa? Atau lo lagi ada masalah?" Tanya Davin, laki - laki itu terlihat menghampiri Danial di balkon. Lengkap dengan dua buah susu coklat di tangannya.

"Minum dulu" lanjut Davin seraya menyerahkan satu susunya kepada sang kakak.

"Makasi Vin"

Davin mengangguk, "Lo belum jawab pertanyaan gue"

Danial tersenyum tipis, "Gue gapapa, cuma lagi mikirin tugas sekolah aja"

"Ga biasanya lo mikirin tugas sekolah sampe segininya. Jangan bilang ini ada hubungannya sama anak baru penyakitan itu ya?"

"Stop bilang dia anak baru penyakitan, Davin. Dia punya nama"

"Entah perasaan gue aja atau engga, gue ngerasa lo lebih sering belain dia sekarang. Kenapa?"

"Gue ga ada belain siapa - siapa"

Davin mengedikkan bahunya abai, " Gue denger - denger dia koma"

"Apa iya?" Balas Danial seolah - olah tidak tau apa yang sedang terjadi.

"Gue ga habis pikir, kesasar kaya gitu doang bisa bikin dia koma. Padahal yang jatuh itu elo, tapi kenapa dia yang sekarat? Lemah banget"

"Davinnnn"

"Kenapa? Lo mau belain dia lagi? Lagian sejak kapan lo peduli gue mau ngomong apa soal dia? Bukannya dulu lo selalu biasa aja?" Tanya Davin yang sukses membuat Danial menghela nafasnya pelan.

"Sejak gue tau kalau dia ga seburuk yang kita kira. Lo gatau aja, selama di camp kemarin dia bahkan dengan sukarela mau bantuin gue. Padahal posisinya gue udah sering banget jahatin dia"

"Hahahaha, lucuuu kak. Lucu bangettt. Cuma gara - gara sikap dia yang ga seberapa itu, lo malah berubah pikiran gitu buat ga benci lagi sama dia?"

"Lucuuuuuu parah" balas Davin sarat akan ketidaksukaan.

"Itu karena lo gatau yang sebenernya, Vin" batin Danial lirih sebelum akhirnya menghela nafasnya pelan.

Keduanya tampak hanyut dalam pikiran masing - masing. Danial dengan segala rasa bersalahnya, sedangkan Davin masih dengan kebenciannya.

Jujur, ia tidak suka melihat sikap kakaknya yang sekarang. Seolah - olah Diaz sudah merebut perhatian Danial sepenuhnya. Sekarang mungkin laki - laki itu lebih membela Diaz, tapi untuk kedepannya? Davin bahkan tidak bisa membayangkan jika Diaz akan merebut sosok Danial sepenuhnya.

***

Disisi lain, kini sosok Reksa tengah berada diruangan milik putranya. Mengamati bagaimana tenangnya sosok tersebut dalam pejamnya. Lagi, air matanya kembali jatuh tepat setelah netranya berhenti pada bibir pucat tersebut.

"Ayah tau anak ayah anak yang kuat, ayah yakin kamu juga gabakalan tega ninggalin ayah disini. Kamu masih hutang janji sama ayah, jadi kamu gaboleh pergi gitu aja" ujarnya serasa mengecup lembut tangan putranya.

"Seharusnya waktu itu ayah ga ngijinin kamu, Dii. Dan semua ini gabakal terjadii" lirihnya pelan

"Berhenti nyalahin diri sendiri, Om. Diaz pasti gasuka dengernya" ujar Satria yang baru saja memasuki ruangan Diaz lengkap dengan beberapa kantung makanan di tangannya.

"Om udah makan? Makan dulu ya, ini udah aku bawain makanan. Jangan sampe om ikutan sakit juga gara - gara pola makan om ga teratur" ujar Satria seraya membukakan satu kotak makanan sebelum akhirnya memberikannya pada Reksa.

"Tapi Om ga laper, Satria"

"Laper ga laper Om harus tetep makan. Kalau bukan buat Om, seenggaknya Om harus sehat buat Diaz" lanjut Satria yang sukses membuat Reksa tersenyum tipis.

Entah kenapa ada rasa bangga tersendiri jika melihat perlakuan Satria selama ini. Putranya benar - benar tidak salah dalam memilih teman. Satria terlihat sangat tulus dan begitu peduli. Bahkan rasa pedulinya melebihi dari seorang sahabat dan lebih mengarah layaknya seorang saudara.

"Satriaa"

"Iya Om?"

"Terimakasih ya" ujar Reksa yang sukses membuat Satria mengernyit pelan.

"Terimakasih untuk? Aku bahkan ga ngerasa ada ngelakuin suatu hal yang mengharuskan Om buat bilang terimakasih sama akuu"

Reksa tersenyum sebelum akhirnya menepuk pelan pundak Satria. "Terimakasih sudah mau berteman dengan Diaz"

Satria terkekehh kecil, "Diaz bahkan udah aku anggep adik aku sendiri Om. Jadi Om gaperlu bilang terimakasih sama aku" balas Satria lengkap dengan senyum tulusnya.

"Diaz beruntung bisa punya temen kaya kamu"

"Begitupun sebaliknya" balas Satria sekali lagi.

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang