17. Keputusan yang Salah?

1.2K 152 18
                                    

"Sesuai kesepakatan awal, lo masuk tim gue" ujar Danial sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Diaz yang saat ini masih kewalahan dengan rasa sakitnya.

Satria yang merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya tersebut langsung beranjak menghampiri "Dii, lo gapapa?"

Diaz menggeleng pelan, "Gue gapapa"

"Muka lo pucet, lo sakit?" Tanya Satria sedikit khawatir, sedangkan Diaz? Laki - laki tersebut hanya bisa mengulum senyum tipisnya, berusaha bersikap seolah - olah tidak ada yang perlu di khawatirkan.

"Lagian lo ngapain sih pake segala nerima tantangannya Danial? Bukannya dari awal lo emang ga minat masuk tim basket mereka?"

"Danial kalau dibiarin kaya gitu mulutnya makin ngelunjak, gue gasuka"

"Ya ga harus lo tanggepin juga kan?"

Diaz menggeleng seraya menghela nafas pelan, "Terus soal bokap lo gimana? Bukannya dia udah ngewanti - wanti lo banget buat ga ikut basket lagi"

"Asal mulut lo ga lemes, gue harap sih bakal baik - baik aja"

"Tap—"

"Sat, please jangan buat gue overthinking gara - gara bacotan gajelas lo"

"Okay, gue ganteng gue diem" ujar Satria pada akhirnya. Sedangkan Diaz, laki - laki itu hanya bisa menghela nafas pelan untuk yang kesekian kalinya.

Apa ini yang dinamakan takdir? Disaat ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak bergelut dibidang olahraga lagi, tapi takdir justru berkata sebaliknya.

"Kenapa diem?" Tanya Diaz seraya mengalihkan atensinya kearah Satria

"Bukannya tadi lo yang nyuruh gue diem?"

"Yaaa — i-yaa sih"

"Yaudah gue diem"

"Auah pusing gue lama - lama sama lo"

Satria terkekeh sebelum akhirnya beranjak dari duduknya, "Mending sekarang kitaa ke kantin, gue traktirr"

"Dihh, tumbenn baik. Dalam rangka apa lo mau nraktir gue?"

"Dalam rangka kekalahan lo ngelawan si Danial"

"Mau kesel tapi lo Satria"

"Canda elahh, baper amat luu" ujar Satria seraya merangkul sosok dihadapannya tersebut.

***

Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore, sekolah bahkan sudah dibubarkan sekitar lima belas menit yang lalu. Dan saat ini, tujuan utama Diaz adalah rumah. Mengingat jika badannya benar - benar lelah seharian ini, jadi tak salah bukan jika Diaz tiba - tiba merindukan tempat tidurnya?

Tapi sepertinya semua tidak berjalan sesuai dengan ekspetasi yang baru saja Diaz bayangkan, karena saat ini sosok Danial justru muncul dihadapannya lengkap dengan bola basket di tangan kanannya.

"Mau kemana lo?" Tanyanya lengkap dengan gaya temgil khas andalannya.

Diaz mengernyit bingug, "Menurut lo?"

"Hari ini tim kita ada latihan basket, dan lo sebagai anggota baru di tim gue wajib ikut latihan hari ini"

"Dihh, siapa lo ngatur - ngatur gue?"

"Kalau lo lupa, gue ini ketua tim. Jadi mau ga mau, lo harus ikutin semua perkataan gue"

"Lo bisa aja maksa gue buat gabung ke tim basket lo, tapi lo ga punya hak buat ngambil waktu gue cuma buat latihan ga penting kaya gini"

Danial terkekeh, "Gue? Maksa? Lo lupa? Atauuu mau gue ingetin lagi soal kekalahan lo tadi?"

"Terserahh" ujar Diaz lengkap dengan nada abainya, mengabaikan jika saat ini sosok Danial justru menatap tajam kearahnya.

"Gausah ngarep, gue gabakal buang waktu berharga gue cuma buat latian ga penting kaya gitu" ujar Diaz sebelum akhirnya memilih melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Danial yang saat ini hanya bisa mengepalkan kedua tangannya erat - erat.

"Gimana?" Tanya Aiden yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping Danial

"Gue tebak dari raut muka lo, udah dipastiin kalau Diaz lagi - lagi nolak lo kan?"

"Apa gue bilang? Diaz emang beda banget dari orang lain, disaat orang - orang pengen banget gabung di tim basket kita, dia justru nolak. Padahal kalau soal skill, dia lumayan banget" lanjut Aiden yang entah kenapa sukses membuat Danial membenarkan perkataan Aiden dalam hati.

Sedangkan kini, disisi lain sosok Diaz baru saja sampai dirumahnya. Diaz membawa langkah gontainya menuju ruang tamu, yaitu tempat dimana ayahnya berada saat ini.

"Kok baru pulang, Dii?" Tanya Reksa tepat setelah netranya melihat kedatangan putranya.

"Cieee nungguin, kangenn yaa?"

Reksa memutar bola matanya malas, sebelum akhirnya beranjak menghampiri putranya "Tadi Dokter Reyhan telfon, katanya hari ini kamu ada jadwal cek up ya? Kenapa kamu ga bilang sama ayah?"

"Jangankan ayah, aku aja lupa seriuss"

"Kebiasaann, untung aja dokter Reyhan inget. Coba kalau engga. Ayah gamau kamu kenapa - napa"

"Aku udah sehat kok yah, buktinya sekarang Diaz masih bisa berdiri terus senyum kearah ayah iiiiiiiii" ujar Diaz lengkap dengan cengiran lucunya. Mengabaikan jika saat ini Reksa hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Mending sekarang kamu kekamar, mandi terus ganti baju. Badan kamu keringetan, pasti diluar cuacanya lagi panas banget" ujar Reksa yang langsung dijawab anggukan cepat oleh Diaz.

Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Diaz langsung membawa langkah panjangnya menuju kamar. Melempar asal sepatunya sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya pada kasur kesayangannya.

Diaz menghela nafas pelan, netranya menatap kosong kearah langit - langit dikamarnya. Sejenak, ia berpikir apakah ia bisa menyembunyikan semua ini dari ayahnya. Rasanya Diaz telah menjadi anak paling durhaka karena telah melanggar janjinya. Tapi disisi lain ia juga tidak ada pilihan lain.

"Maafin Diaz yah, Diaz janji kalau Diaz gabakal kenapa - napa. Diaz gabakal ninggalin ayah, apalagi buat ayah sampai khawatir" batinnya

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang