"Diaz Diaz Diaz, mau sampai kapan sih lo mau bahas dia di depan gue? Lagian apa spesialnya anak baru itu sampai lo pengen banget dia gabung di tim kita?" Entalah, rasanya Danial benar - benar muak dengan kelakuan sahabatnya saat ini.
"Gue milih orang juga ga asal milih, Dan. Gue juga mikirin orang itu pantes atau engga, bisa atau engga, dan masih banyak lagi. Tap—"
"Dari sekian banyak orang di sekolah ini, kenapa harus anak baru itu?"
"Ya kenapa kalau dia anak baru? Emang ada larangannya anak baru gaboleh masuk tim basket kita? Engga kan?"
"Dan sayangnya lo lupa kalau gue paling ga suka berurusan sama anak baru, Den" ujar Danial seraya menyorot tajam kearah Aiden.
"I know, dan gue juga ga lupa. Tapi ini juga demi kebaikan tim kita, Dan. Bentar lagi Olimpiade pekan olahraga antar sekolah, dan gue yakin lo juga gamau kalah karena sekarang tim kita lagi kekurangan satu anggota"
"Terserah lo mau milih siapa aja, gue gapeduli. Tapi kalau lo kekeuh mau ngajak anak baru itu, gue keluar!" Ujar Danial sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi dari sana.
"Dann, Danial—" "Arghhhh" teriak Aiden seraya mengusak kasar rambutnya.
Sedangkan disisi lain, Danial terlihat membawa langkah panjangnya menuju rooftop. Tempat yang akhir - akhir ini mungkin menjadi tempat favorite nya.
Tapi siapa sangka, niat awalnya yang ingin menenangkan diri justru terusik karena keberadaan seseorang. Dan sayangnya, sosok tersebut justru masuk kedalam list orang yang ingin Danial hindari keberadaannya.
"Danial? Lo ngapain disini?"
Danial memejamkan matanya sebelum beralih ingin meninggalkan tempat tersebut, tapi baru saja sosok tersebut ingih membawa langkahnya pergi— tiba - tiba tangan Diaz justru mencekalnya lembut.
"Lepas!"
"Lo mau kemana? Lo baru juga nyampe disini"
"Bukan urusan lo. Sekarang lepasin tangan gue!"
"Ya kenap—"
"Lo ngerti bahasa manusia ga sih? Gue bilang lepas ya lepas anj*ng" sarkas Danial yang sukses membuat Diaz langsung melepaskan tangan Danial.
Danial menggeleng pelan seraya memutar bola matanya malas sebelum akhirnya benar - benar pergi dari sana. Meninggalkan Diaz yang saat ini hanya bisa menatap bingung kearah Danial.
"Apa sikap lo emang sekasar itu sama semua orang?" Lirih Diaz sebelum akhirnya menghela nafas pelan.
Diaz memejam sejenak sebelum akhirnya mengalihkan atensinya kearah semesta, "Kenapa sakit ya?"
***
"Dan" panggil Diaz seraya menyusul langkah sosok di depannya, Danial.
Tapi bukannya berhenti, Danial justru memilih untuk mempercepat langkahnya. Berurusan dengan Diaz, merupakan sebuah petaka baginya. Jadi sebisa mungkin Danial tidak ingin berurusan dengan sosok atas nama Diaz.
"Dan, tunggu"
"Daniall"
"Bisa ga sih lo ga usah ngikutin gue?"
"Lo kenapa sih? Gue rasa kita belum pernah kenal sebelumnya, tapi kenapa gue ngerasa kalau lo itu benci banget sama gue?"
"Justru karena kita ga kenal makannya gue benci sama lo!" Ujar Danial sebelum kembali membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Diaz yang lagi - lagi hanya bisa menghela nafasnya pelan.
"Kalau lo ga kenal gue, kenapa kita ga kenalan aja? Siapa tau setelah itu lo mau temenan sama gue" ujar Diaz yang entah kenapa sukses membuat Danial menghentikan langkanya dan beralih menatap kearah Diaz.
"Gausah mimpi!" Ujar Danial penuh penekanan sebelum akhirnya memilih melanjutkan langkahnya kembali.
"Dasar anehh" gumam Diaz seraya menggelengkan kepalanya heran. Padahal dirinya hanya ingin berteman, tapi respon Danial justru sangat berlebihan. Diaz kan jadi takut.
Diaz mengedikkan bahunya abai sebelum akhirnya beranjak menuju kelas untuk mengambil buku serta tas-nya, mengingat jika bel pulang sekolah baru saja berkumandang dengan indahnya.
Waktu baru saja menunjukkan pukul satu siang, sekolah memang sengaja di bubarkan satu jam lebih awal mengingat jika sekarang adalah hari sabtu. Jadi tak heran jika Diaz merasa semuanya berjalan begitu cepat.
Seluruh siswa tampak berhamburan keluar dari kelas, bahkan saat ia sampai di kelasnya pun hanya tinggal beberapa orang yang tersisa. Diaz melirik ke bangku disebelahnya, dan rupanya Satria juga sudah meninggalkan kelas lebih dahulu.
"Kebiasaan emang, main tinggal - tinggal aja" gerutu Diaz sebelum akhirnya membawa langkahnya menuju parkiran.
***
Tak butuh waktu lama bagi Diaz untuk sampai dirumah, karena kini sosok tersebut telah sampai di rumah tercintanya. Dan tanpa pikir panjang lagi Diaz langsung saja membawa langkah panjangnya menuju rumah "Ayahhhh, Diaz pulang"
Reksa, yang sedari tadi tengah asik menonton TV segera mengalihkan atensinya. "Tumben cepet"
"Hari sabtu kan emang pulang cepet, yah" jawab Diaz seraya duduk di sebelah sang ayah.
"Capek ga?"
"Sedikitttt"
"Ayah masakin ya? Kamu mau makan apa?"
"Ayahh, tolong ya— Diaz itu lagi capek, bukan laper" ujar Diaz yang sukses membuat Reksa terkekeh pelan seraya mengusak rambut putranya.
"Yaudah sini tiduran kalau gitu, tangannya mau ayah pijitin?" Tanya Reksa seraya merebahkan kepala Diaz pada pahanya.
"Gausah dipijit"
"Kenapa? Katanya capek?"
"Nanti ayah yang capek"
"Kalau ayah capek kan giliran kamu yang mijitin ayah"
"Badan ayah tebelnya kek kingkong, males banget mijitin kingkong"
"Ehhh dasarr ya" ujar Reksa yang sukses membuat Diaz tertawa karenanya.
"Oh iya, yah. Diaz mau nanya sesuatu"
"Apa?"
"Ayah tau ga? Kenapa kalau kita minum yakult itu gaboleh di kocok?"
"Emang iya?"
"Ayah mau tau ga jawabannya?"
"Emang jawabannya apa hm?" Tanya Reksa seraya mengernyitkan alisnya bingung. Emang iya kalau minum yakult ga boleh di kocok? Setaunya boleh - boleh saja. -kayaknya
"Menurut riset, yakult ga boleh di kocok karena mengandung bakteri baik"
"Ya terusss?"
"Ya ayah bayangin aja, kalau yakultnya ayah kocok terus bakterinya marah dan berubah jadi bakteri jahat gimana? Ayah mau tanggung jawab"
"Hehhhh tuyullllllll!"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
00.00
Teen Fiction00.00 Orang lain bisa menyebutnya sebagai awal, tapi tak sedikit pula yang menyebutnya sebagai akhir. Diaz, laki - laki humoris yang tidak sengaja bertemu dengan laki - laki sedingin Danial. Mereka tidak ada hubungan apapun dan mereka bahkan tidak...