43. Harus Sabar

706 81 4
                                    

"Maaf ya"

"Buat?"

"Soal Davin" ujar Danial sebelum akhirnya memilih untuk merebahkan tubuhnya. Kini dirinya sedang berada di lapangan. Selesai latihan tadi dirinya memang sengaja mengajak Diaz untuk berbicara sebentar.

"Bukan salah lo kok"

"Tapi Davin udah keterlaluan sama lo"

Diaz tersenyum, entah kenapa ia merasa senang saat Danial membelanya. "Cuma salah paham doang, gapapa"

"Tapi lo baru aja sembuh Dii"

"Gue gapapa Danial, ga ada yang perlu lo khawatirin. Gue baik - baik aja. Dan soal Davin, gue udah maafin dia. Mungkin dia cuma salah paham aja sama gue"

"Tapi lo ga ada niat buat jauhin gue kan?"

"Maksud lo?"

"Setelah kejadian Davin tadi, lo ga ada niat buat jauhin gue kan?"

"Kok nanya gitu? Kalau emang baiknya gue harus jauhin lo ya mungkin gue bakal lakuin itu. Karena ga mungkin juga kan gue egois dan biarin hubungan lo sama adik lo kacau. Mau gimanapun dia adik tetep adik lo, darah jauh lebih kentel daripada air"

"Tapi lo adik gue, Dii. Kita lahir dengan darah yang sama. Andai lo tau itu"

"Kenapa bengong? Lagian kenapa juga lo tiba - tiba ngomong gitu. Bukannya dulu lo paling anti banget sama gue? Kenapa sekarang jadi soft gini? Mana nih Danial yang sering marahin gue dulu?" Lanjut Diaz lengkap dengan tawa renyahnya. Mengabaikan jika saat ini Danial hanya bisa tersenyum sendu.

Andai Diaz tau, apakah dia akan tetap pada pilihannya? Apakah Diaz akan tetap menjauhinya?

"Lo gaperlu repot - repot jauhin gue. Untuk selanjutnya gue bakal coba kasi pengertian ke Davin" ujar Danial yang hanya dijawab anggukan pelan oleh Diaz. Sejujurnya dia tidak terlalu memikirkan perkaranya dengan Davin, lagipula dirinya juga tidak pernah memiliki niat untuk merebut Danial dari Davin. Oh ayolah, apakah semua orang yang memiliki kakak akan bersikap seperti Davin?

"Lo pulang naik apa?" Tanya Danial seraya beranjak dari tidurnya.

"Gue bareng Satria"

"Dia belum pulang?"

"Gue suruh dia nungguin, paling tu anak lagi nongkrong di kantin sekarang"

"Kenapa ga bareng gue aja? Kasian Satria nunggu lo lama"

"Lebih gaenak lagi kalau gue bareng lo, Dan. Yang ada Davin makin salah paham nantinya, selain itu rumah kita juga ga searah. Jadi gue gamau repotin lo"

"Terus Satria?"

"Satria udah gue anggep kakak gue sendiri. Dan bokap juga udah mercayain gue sama dia"

Danial tersenyum kecut, entah kenapa dadanya terasa nyeri. Ada perasaan tidak rela ketika mendengar penuturan Diaz tadi. Ingin rasanya Danial mengatakan yang sebenarnya, tapi disisi lain ia juga tidak boleh egois. Tindakannya bisa saja membuka luka lama yang sudah Diaz dan papanya kubur dalam - dalam.

"Danial? Haiiii? Lo barusan bengong? Mikirin apa?"

"Hahhh? Engga. Ga mikirin apa - apa kok"

"Ohhhh"

"Yaudah kalau gitu cabut yuk. Gue temenin lo nyari Satria" ujar Danial yang langsung dijawab anggukan oleh Diaz.

Keduanya kini tampak menyusuri koridor sekolah dengan begitu santai. Koridor tampak begitu sepi, mengingat jika jam pulang sekolah telah berbunyi sekitar satu jam yang lalu.  Sekolah saat ini hanya dipenuhi oleh anak - anak osis dan juga anak extra kurikuler.

Tujuan utama mereka saat ini adalah kantin, tapi siapa sangka jika kini langkah keduanya terpaksa terhenti karena kedatangan seseorang. Diaz tanpak menghela nafas pelan, sedangkan Danial? Tanpa menunggu aba - aba laki - laki tersebut dengan siaga langsung berdiri didepan Diaz. Antisipasi jika sosok dihadapannya ini tiba - tiba melakukan hal yang tidak terduga.

"Udah gue duga. Lo pasti lagi bareng sama anak baru ini" ujar Davin lengkap dengan tatapan remehnya.

"Diaz, namanya Diaz. Bukan anak baru"

"Gue gapeduli. Mau namanya Diaz, babi atau anjing sekalipun. Gue gapeduli Danial. Yang gue tau, dia udah berhasil cuci otak lo"

"Jaga ucapan lo, Davin. Sejauh ini gue gapernah ya ngajarin lo buat berlaku ga sopan sama orang lain"

"Gue bisa kok sopan, asal orangnya bukan dia" ujar Davin sambil menunjuk tajam kearah Diaz.

Diaz menghela nafasnya pelan, jujur dirinya paling tidak suka berada didalam situasi seperti ini.  "Sejauh ini gue bisa aja sabar ngadepin sikap lo yang kekanak - kanakan. Didiemin bukannya sadar, ternyata lo makin ngelunjak ya?"

Davin tertawa remeh sebelum akhirnya mendorong kasar tubuh Diaz. "Udah berani ngomong lo sekarang? Kenapa? Udah merasa menang karena Danial terus - terusan belain lo"

Diaz tertawa remeh sebelum akhirnya tatapan tajamnya sukses membuat Davin tercekat. Tatapan ini? Sejak kapan Diaz memiliki tatapan setajam ini? Bukan hanya Davin, tapi Danial juga merasakan hal serupa.

"Pikiran lo terlalu childish" bisik Diaz sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan kedua sosok tersebut.

Diaz memutar bola matanya malas seraya membersihkan seragamnya yang baru saja dipegang oleh Davin. Pupus sudah kesabaran yang berusaha ia bangun selama ini. Ternyata menjadi anak baik seperti yang ayahnya minta tidak semudah yang ia kira. Biasanya ia yang menindas, tapi sekarang justru dirinya yang ditindas.

"Sabar Diaz. Lo harus tahan, seenggaknya ini demi ayah" ujarnya pada dirinya sendiri.

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang