29. Rasa yang Tak Asing

1.1K 158 14
                                    

"Dan, ini kita dimana sih? Kenapa coba tempatnya makin serem gini" ujar Diaz seraya memperhatikan sekitar.

"Kalau gue tau, kita gamungkin nyasar!"

"Guee capek"

"Tahan dulu bisa ga sih? Emang lo mau istirahat di tempat kaya gini? Kalau ngomong cape, gue juga cape anjing" ujar Danial sarkas yang sukses membuat Danial menghela nafas pelan.

Danial benar, seharusnya ia bisa melawan rasa lelahnya. Ia tidak boleh terlihat lemah disini.
Diaz menghela nafas pelan sebelum akhirnya kembali mengikuti langkah Danial.

"Suara airnya udah makin kedengeran, kita udah deket" ujar Danal bersemangat, laki - laki tersebut bahkan sampai berlari kearah sumber suara saking antusiasnya.

"Hati - hatii Dan, lo bisa jat—"

"Argghhh" belum selesai Diaz mengucapkan kalimatnya, sosok Danial justru lebih dulu terpleset bebatuan yang baru saja ia injak.

"Danialll" teriak Diaz sedikit panik sebelum akhirnya berlari kearah Danial.

"Udah gue bilang hati - hatii kan? Sini gue bantuin" seru Diaz seraya mengulurkan tangannya kearah Danial.

"Pelan - pelan bego, lo tau sakit ga sih?"

"Udah untung gue mau bantuin, bukannya bilang terimakasih ini malah ngatain gue bego" gerutu Diaz.

"Dududk disini dulu" lanjutnya seraya membantu Danial duduk disebuah bebatuan. "Kayaknya kaki lo kesleo, lo yakin bisa jalan dengan kondisi kaya gini?"

Danial menatap kakinya sebentar sebelum akhirnya menghela nafas pelan. "Gue rasa engga"

"Mau tunggu agak baikan dulu ga?" Diaz menawarkan.

Danial mengalihkan atensinya kearah benda yang melingkar apik ditangannya, "Udah jam segini, yang ada keburu malem. Gue ga jamin bakal aman kalau kita kelamaan ada disini, apalagi sampe malem" ujar Danial yang langsung membuat Diaz mengangguk paham.

"Kalau lo mau, lo bisa balik duluan kok. Di tas gue ada dua senter, jadi lo bisa pake satu"

"Terus ninggalin lo sendirian disini? Engga" jawab Diaz mutlak. Sebenci - bencinya ia dengan Danial, ia juga tidak sampai hati meninggalkan sosok tersebut seorang diri didalam hutan. Apalagi sekarang posisi mereka sedang tersesat.

"Gue gapapa, serius. Nanti kalau kaki gue udah baikan, gu—"

"Kita berangkat bareng, baliknya juga bareng!" Tegas Diaz sekali lagi.

"Yang ada kalau lo tetep disini sama gue, bakal bahaya Dii. Aplagi cuacanya lagi mendung, kalau hujan gimana? Lo yakin lo bakal aman? Jadi udalah gausah pikirin gue, pikirin diri lo sendiri. Mending lo balik duluan, lo cuma tinggal ngikutin alur sungai aja biar bisa sampai camp"

Diaz memutar bola matanya malas sebelum akhirnya berjongkok didepan Danial "Gausah banyak ceramah, mending sekarang lo buruan naik"

"Lo mau ngapain? Gausah ngadi - ngadi"

"Mau buang lo ke sungai! Ya menurut lo aja, buruan naik mumpung gue lagi berbaik hati mau gendong lo"

"Engga? Gue gamau!"

Diaz menghela nafas pelan, "Yaudah kalau gitu, kita diem aja disini sampe malem, terus kehujanan semoga sih ga ada binatang buas ya!"

"Lagian lo ngapain pake segala mau gendong gue sih?"

"Ya karena kaki lo sakit bego"

"Gu—"

"Gausah keras kepala bisa? Lagian kalau lo sama gue ga usah pake mikirin gengsi segala! Buruan naik"

"Tap—"

"Buruan naik Danial" kali ini nada suara Diaz sedikit melembut, sedangkan Danial mau tidak mau hanya bisa menuruti kemauan sosok dihadapannya. Lagipula ia juga takut jika tiba - tiba ada binatang buas disekitar sini.

"Lo yakin lo kuat gendong gue?"

"Gendong lo doang gabakal bikin gue mati, Dan"

"Syukur dehhh" balas Danial yang hanya dijawab senyuman tipis oleh Diaz.

Keduanya tampak kembali menyusuri sungai dengan Danial yang saat ini berada dalam gendongan Diaz. Keduanya bahkan memilih diam selama perjalanan, tidak ada perdebatan seperti sebelumnya. Keduanya bahkan tampak sibuk dengan pikiran mereka masing - masing. Terutama Danial, entah kenapa laki - laki itu merasa nyaman bisa sedekat ini dengan Diaz. Meskipun ia sendiri mengakui jika dirinya sangat membenci Diaz, tapi entah kenapa dilubuk hatinya yang paling dalam ia seperti memiliki ikatan yang begitu kuat dengan sosok tersebut. Meskipun baru mengenal beberapa bulan, tapi hatinya mengatakan jika mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

Entah kenapa, seperti dejavu— Danial seperti pernah berada diposisi ini. Posisi dimana dirinya terluka dan seseorang membantunya. Tapi bedanya, sosok dimasalalunya itu jelas bukan Diaz. Mereka justru jauh berbeda dalam segala hal. Baik dari sifat maupun sikap, Danial berani jamin jika kedua sosok tersebut adalah dua orang yang berbeda.

Danial berusaha menepik perasaannya jauh - jauh sebelum akhirnya beralih menatap kearah Diaz yang saat ini masih tenang dalam diamnya. Danial mengernyit pelan saat menyadari ada perbedaan dari raut wajah Diaz.

"Diii, lo gapapa?"

"Hmm?"

"Lo gapapa? Muka lo pucet?"

"I'm oke, emang gue keliatan kaya orang sakit ya?"

"Gue bahkan liatnya kaya lo mau mati besok tau ga si"

"Kalau gue beneran mati, lo pasti seneng kan?" Balas Diaz lengkap dengan kekehannya. Tapi entah kenapa Danial tidak menyukai perkataan Diaz tadi.

"Mending kita istirahat dulu"

"Tapi kita harus jalan terus biar cepet sampe Dan, takutnya keburu malem"

"Gue pegel, pengen duduk dulu" alibi Danial, berharap usahanya bisa membuat Diaz menurut. Karena percaya atau tidak, Danial yakin jika Diaz sedang tidak baik - baik saja.

Diaz mengangguk paham sebelum akhirnya menurunkan Danial dari gendongannya, kemudia membantu sosok tersebut duduk dibawah dahan pohon yang bisa dibilang cukup rindang untuk mereka berteduh dibawah gerimis hujan yang entah sejak kapan sudah mulai jatuh kepermukaan.

"Dannnn"

"Hmmm?"

"Gue boleh nyender bentar ga di pundak lo?" Tanya Diaz lirih, sedangkan Danial? Laki - laki tersebut tampak mengamati Diaz dalam diam.

"Kalau gaboleh gapapa kok, gue sen—"

"Udah sini senderan aja" balas Danial seraya membenahi posisi tidur Diaz di bahunya. Diaz tersenyum, sebelum akhirnya tersenyum pelan dalam tidurnya.

Satuhal yang saat ini Diaz rasakan, nyaman.

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang