12. Manjanya Seorang Diaz

1.4K 154 4
                                    

"Sorry, tadi gue ga sengaja dengerin lo ngomong soal Diaz. Diaz kenapa?" Tanya seseorang yang sukses membuat Satria mengalihkan atensinya.

Satria mengangguk, "Sakit, jadi hari ini gabisa masuk sekolah dulu. Kenapa? Lo ada perlu sama Diaz? Soalnya jarang - jarang lo main ke kelas gue" ujar Satria yang langsung dijawab kekehan pelan oleh sosok tersebut. Aiden, sosok tersebut tidak lain adalah Aiden.

"Tadinya ada, tapi gapapa sih. Nanti aja nunggu dia masuk dulu"

"Kalau lo ga keberatan lo bisa ngasih tau gue kok, nanti biar gue sampeiin langsung ke dia"

"Serius gapapa?" Tanya Aiden yang langsung dijawab anggukan pelan Satria.

"Jadi gini, gue ada niat buat nawarin dia gabung di club basket gue. Lo tau kan kalau grup kita lagi minim banget anggota, dan setelah gue liat - liat, Diaz keknya punya bakat" ujar Aiden yang sukses membuat Satria mengangguk paham.

"Okaydeh, nanti coba gue sampein ke dia. Kali aja dia mau gabung kan?"

Aiden terkekeh, "Thank's ya, gue berharapnya sih dia mau gabung. Dia punya bakat, jadi kasian kalau kebuang sia - sia"

"Nanti coba gue omongin ke dia lagi"

"Okay, kabarin kalau gimana - gimana ya. Kalau gitu, gue tinggal ke kelas dulu" ujar Aiden yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Satria.

Sedangkan disisi lain kini sosok Danial terlihat tengah berlatih dilapangan, keringatnya bahkan sudah membasahi setengah seragam sekolahnya. Dibawah teriknya sinar matahari, sosoknya sukses menjadi pusat perhatian semua orang.

Danial, sosok dingin yang dikagumi oleh hampir semua kaum hawa disekolahnya. Tatapan tajam yang sukses membuat orang - orang enggan mencari masalah dengannya. Serta otak emasnya yang membuat dirinya disayangi oleh semua guru.

Bak dewa yunani, Danial terlalu sempurna untuk semua hal. Kecuali sikap, dirinya terlalu dingin meskipun hanya untuk bertukar sapa. Dirinya terlalu frontal dalam mengungkapkan sesuatu, tidak peduli jika lawan bicaranya mungkin akan sakit hati karena perkataannya.

Danial tidak suka berbasa - basi, jika ia membenci seseorang maka ia akan mengatakannya. Begitupun sebaliknya.

"Tadi gue habis dari kelasnya Diaz" ujar Aiden yang sukses membuat Danial menghentikan aksi bermain bolanya.

"Gue tau lo gabakal suka ini, tapi kita juga ga ada pilihan lain selain nyuruh dia gabung ke tim basket kita, Dii. Inget pertandingan kali ini gabisa kita remehin gitu aja, dengan minimnya waktu dan anggota. Cuma Diaz yang bisa bantu kita" ujar Aiden yang sukses membuat Danial menghela nafas pelan. Sosoknya bahkan melempar asal bolanya di tangannya hingga menggelinding kesisi lapangan.

"Terus lo ketemu sama dia?" Tanya Danial yang langsung dijawab gelengan pelan oleh Aiden.

"Dia ga masuk, katanya sakit"

"Ohhhh"

"Sekali ini aja. Please percaya sama gue, gue berani jamin kalau dia gabakal nyusahin tim kita"

"Seyakin itu lo?"

"Diaz punya kemampuan"

"Gue ga lagi bahas soal itu. Yang gue tanya, seyakin itu lo kalau dia bakal mau gabung sama ke tim kita?"

"Gue rasa usaha ga bakal menghianati hasil. Seenggaknya kalau lo udah mau nerima dia, itu aja udah cukup bagi gue. Soal dia mau gabung atau engga, itu urusan belakangan"

"Up to you!"

"Thank's Dan"

***

Diaz membawa langkah pelannya menuruni anak tangga rumannya. Sosoknya tersenyum tipis tepat setelah netranya tidak sengaja melihat keberadaan sang ayah tengah duduk di ruang tamu. Tanpa pikir panjang lagi, Diaz langsung berjalan menghampiri Reksa dan memeluknya dari belakang.

"Ayahh lagi ngapain?"

"Inii lagi ngurus berkas - berkas buat besok"

Diaz mengangguk pelan sebagai jawaban, "Ayah mau pergi lagi?"

Reksa tersenyum, "Ayah gapergi kok, apalagi dengan kondisi kamu yang lagi sakit kaya gini. Besok sehabis meeting ayah langsung balik"

"Tapi ayah pasti capek banget kalau kaya gitu"

"Seenggaknya itu jauh lebih baik daripada harus ninggalin kamu disini sendiri"

"Diaz gapapa kok. Sekarang aja udah mendingan"

"Tetep aja ayah gabisa tenang, Dii"

"Tap—"

"Udahh gausah banyak tanya lagi. Mending sekarang kamu balik ke kamar, udah tau sakit malah keluyuran sampe ruang tamu"

"Diaz kan kangen ayah"

"Kangen? Palingan juga ada maunya" ujar Reksa yang sukses membuat Diaz terkekeh pelan.

"Keluar yuk yah, kemana gitu. Aku bosen diem dirumah"

"Nggak - nggak. Diluar cuacanya lagi ga bagus, gabaik buat kesehatan kamu, Dii" tolak Reksa cepat yang sukses membuat Diaz menghela nafasnya pelan.

"Lain kali aja ya" lanjut Reksa

Diaz mengangguk malas sebelum memilih merebahkan kepalanya pada pangkuan sang ayah. Sedangkan Reksa? Laki - laki itu hanya bisa menggelengkan kepalanya heran. Tidak aneh lagi baginya jika Diaz akan bersikap semanja ini jika sedang sakit. Jadi untuk sekarang Reksa lebih memilih untuk menyudahi pekerjaannya, dan beralih meladeni putra manjanya ini.

TBC

00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang