15. Jersey

17 3 0
                                        

Desta berulang kali mencuri pandang ke sisi kanannya. Pertama kalinya dalam hidup, gadis yang kini menatap keluar jendela membuat ponsel Desta tak lagi menarik baginya. Padahal berjuta komik online menantinya untuk dibaca, berjuta musuh menantinya untuk dikalahkan dalam game online. Semua yang kini Desta sukai mendadak tak menarik lagi, tergantikan oleh rasa yang aneh ketika melihat gadis itu nampak murung.

Senja sudah menyelimuti kota orang sejak Desta dan Sema memasuki mobil. Perjalanan kembali ke hotel terasa jauh lebih panjang. Seolah ini jalur lain dengan jarak lebih jauh.

"Tetep ada kata 'Juara' di 'Juara dua' kan?" Entah apa yang mendorong Desta mengatakan hal itu. Bersedih atau kecewa ketika hasil tak sesuai apa yang kita harapkan memang bukan hal yang aneh, terhitung cukup biasa. Memangnya kenapa kalau juara dua? Ia tetap disebut Juara, pun ada piala dengan hadiah nya juga kan?

Sema mengalihkan pandangannya. Benar kata Desta tetapi terlalu sulit mendengarkan kata mutiara disaat keadaan mental benar-benar kecewa. Mengingat beberapa saat lalu, kalimat andai terus berputar tak ingin berhenti.

Andai tidak lupa soal itu.

Andai soal yang tadi diteliti lagi.

Atau Andai kemarin tidak makan udang berujung alergi yang membuat Sema kurang konsentrasi hari ini. Pusingnya masih terasa sedikit-sedikit.

Pasti sekarang piala dua tingkat bertuliskan juara satu yang digenggam Sema. Bukan piala juara dua. Itulah manusia dengan segala kata andai nya. Serakah tapi itulah kenyataannya.

Mendapati hanya helaan napas berat sebagai respon kalimatnya tadi, Desta kini berdecak. "Emangnya kenapa sih kalo juara dua? Emangnya Lo bikin malu nama sekolahan?" Sarkas Desta. Pemuda itu tak tahu bagaimana mengecewakan sejuta harapan.

"Lo sering juara satu mana tau rasanya, udah mati-matian berusaha tapi hasilnya sia-sia." Desta mengerutkan keningnya. "Lo pikir dari sekian banyak peserta cuma Lo yang berusaha mati-matian? Kalo Lo nggak mau piala itu biar Gue yang bawa." Desta hendak meraih piala di genggaman Sema, tetapi si empu segera menggeser tangannya. Pandangannya masih masam. Labil, entah apa yang membuat Sema sedikit emosi.

"Semua udah lewat, Lo nggak lihat Bu Nila sama Bu Rosa bahagia pas nama Lo diumumin jadi juara dua? Itu artinya Lo udah hebat." Desta merutuk setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Entah sejak kapan kalimat klise seperti itu ia ucapkan setelah prinsip 'tidak ikut campur urusan orang lain' ia tegakkan tinggi-tinggi.

Sema, akhirnya menghela napas lagi. Entah keberapa kali. Desta sedikit ada benarnya. Menyesal tidak membuat Sema memutar waktu lalu juara satu kan? Tidak ada gunanya. Lagipula keluarganya saat dikabari tadi juga sangat senang. Bahkan hendak mengadakan syukuran. Sementara Haru, pemuda itu masih merajuk. Dibiarkan saja dulu, membujuknya secara online hanya akan berakhir sia-sia.

"Aneh ya?" Ucap Sema mendapat kerutan dahi dari lawan bicaranya.

"Juara dua nggak aneh." Sanggah Desta cepat.

"Bukan."

"Hah?"

"Bukan juara dua yang aneh, ish."

"Terus?"

"Lo!"

"Hah?" Sema memutar bola matanya malas. Sejak kapan Radesta Genius Kadava telat berfikir seperti ini.

"Lo yang aneh." Ulang Sema sedikit jelas.

"Gue?" Tanya Desta.

Sema membuang muka keluar jendela, menyaksikan kepadatan kota dari jendela mobil. Ia sengaja membiarkan pertanyaan Desta mengudara beberapa saat, sebelum kemudian menjawab tentang 'Aneh' yang dimaksud Sema tadi.

"Sejak kapan Lo jadi banyak ngomong?"

—o0o—

Langkah ringan Keyra membawanya kesini. Gugup menyelimutinya sedari tadi. Wajah cantiknya nampak anggun dengan rambut tergerai tersibak angin. Bergoyang-goyang ketika ia melangkah.

"Haru!" Panggil gadis itu ketika telah sampai di ambang pintu ruangan kelas. Yang dipanggil tentu saja menoleh, tak hanya yang dipanggil saja. Tetapi atensi pemuda yang sedang berkumpul di pojokan kelas bersama Haru, dan juga teman-teman lainnya sontak tertuju pada Keyra.

Sorakan kini terdengar memenuhi kelas. Tak jauh-jauh dari mengejek Haru dan Keyra. Membuat pemuda yang tadi sibuk dengan gamenya mendengus.

"Uuuu, disamperin mbak crush."

"Best couple nih."

"PJ dong Ru."

"Diem-diem Haru gercep juga."

"Lah, ditinggal olim Sema udah taken aja sama Keyra. Haru pro player banget sih."

"Buaya elite ya gini."

"Sabi kali habis ini traktir kita, ya nggak?"

"Diem Lo pada!!!" Sentak Haru membuat teman-temannya terdiam sesaat. Walaupun eskpresi wajah mereka menjengkelkan. Mau tak mau Haru menghampiri Keyra, membawanya keluar kelas agar tak lagi mendapat sorakan.

Gadis itu gugup tetapi tak peduli, sudah sering menjadi pusat perhatian.

Tapi jantungnya terpacu saat Haru sudah berada di depannya.

"Kenapa?" Suara berat Haru membuat Keyra tersentak sesaat. Mendadak kalimat yang tersusun sedari kelas tadi lenyap bersama degupan yang semakin cepat. Keyra menghela napas, mencoba biasa saja. Ia tersenyum manis lalu menyerahkan paper bag dari tangannya.

"Apa ini?" Tanya Haru sebelum menerima paper bag itu.

"Jersey, Gue denger Lo suka bola? Bokap Gue baru balik dari Inggris. Dia juga suka bola makanya beli Jersey banyak. Ini buat Lo." Ungkap Keyra dengan maksudnya memberikan Haru sebuah Jersey. Bukannya langsung menerima, pemuda itu malah mengerutkan keningnya bingung.

"Terus tujuan Lo ngasih ke Gue?" Tanya Haru. Hubungannya papa Keyra yang suka bola dengan memberikan Jersey kepada Haru apa? Toh, Haru mampu membeli sendiri.

Keyra dengan senyuman mengangkat tangan kiri nya memperlihatkan gelang yang melingkar cantik. Sama seperti si pemakai. "Gue suka gelang, ini hadiah dari Lo kan? Hadiah Lo sama Sema nggak ada namanya, tapi Gue yakin ini dari Lo kan?" Tanya Keyra.

Haru yang memang tak tahu isi hadiahnya hanya mengangguk kosong. Tapi kalau dilihat-lihat... Haru dengan cepat membulatkan matanya saat menyadari gelang itu sama persis dengan yang dipakai Sema.

"Makasih ya Ru, Gue suka. Sebagai balasannya Gue mau ngasih Jersey ini ke Lo." Keyra meraih tangan Haru, walaupun pemuda itu sempat kaget lalu menjauhkan tangannya, kini Keyra lantas memberikan paper bag itu.

"Gue nggak minta dibales kan?" Tanya Haru menatap lekat paper bag yang kini sudah berpindah tempat di tangannya. Lagipula pikirannya masih loading, harusnya Haru waktu itu lihat dulu apa yang di pilihkan oleh mbak-mbak di toko kado waktu itu.

"Iya sih, anggep aja Gue ngasih Jersey ini ke Lo. Lagian nggak mungkin juga Gue make Jersey. Dah ya Ru, Gue duluan." Keyra segera pergi sebelum Haru mengatakan kalimat-kalimat lainnya.

Hingga berada lumayan jauh dari kelas Haru, Keyra bersandar pada tembok. Merasakan jantungnya nyaris lepas. Interaksi sebentar itu nampaknya berpengaruh besar. Ia kembali menatap gelang yang ia pikir hadiah dari Haru.

Ia tersenyum manis.

Kali ini Keyra harus meminta maaf telah membawa nama ayahnya. Bohong kalau Keyra bilang Ayahnya yang super sibuk menyukai bola. Bohong juga kalau Jersey itu memang dibeli ayahnya lantaran suka. Sebab faktanya sebelum ayahnya pulang Keyra meminta sebuah Jersey istimewa. Limited edition kira-kira. Sampai ayah Keyra hampir mencari di seluruh penjuru Inggris. Demi anak perempuannya tidak masalah bagi ayah Keyra.

Keyra kembali tersenyum. Satu langkah menuju tujuannya baru dimulai.

SEMESTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang