32. Taman

13 3 0
                                    

Langkah kecilnya membawanya menaiki tangga sekolahan. Entah kenapa ia ke gedung ini, gedung IPA. Hanya berjalan-jalan di waktu istirahat. Sejujurnya Sema tak tahu harus melakukan apa selagi Haru masih sibuk dengan futsal nya. Ditemani Keyra tentunya selaku pacar sah dari Haru. Biasanya Sema yang menemani tapi akhir-akhir ini keadaanya berbeda. Semakin rumit.

Baru Lima tangga yang ia tapaki, namun kakinya berhenti melangkah saat sepasang mata menyambutnya. Dari arah berlawanan, Sema menengadah seakan larut dalam netra gemilang. Secerah semesta.

"Mau kemana?" Tanya nya datar. Kendati Desta sering berkata dengan nada dingin seperti itu, namun Sema tetap saja agak takut dengan tatapan mengintimidasi.

Sema meneliti sekitar, merasa ia tak menemukan sesuatu sebagai alasan mengapa ia kemari, ia akhirnya berbalik badan. Memunggungi Desta, keduanya hanya terpaut tiga undakan tangga. Sema mulai melangkah turun sebelum tangannya tertarik dari belakang membuatnya kembali berbalik badan. Dirinya membeku sesaat kala wajahnya berpapasan dengan dada bidang Desta. Pemuda itu menunduk, netranya berubah dalam sekejap. Sementara Sema mendongak karena posisi. Hanya diam beberapa saat, membiarkan diri menikmati tatapan yang saling bersinggungan.

Sema mengerjap berulang kali mencoba mengais kesadarannya. "G-gue salah jalan." Ucapnya. Terdengar konyol mengingat sudah tiga tahun mereka bersekolah disini. Desta memiringkan kepalanya, senyuman tercipta walaupun hanya sebentar. Sema terpaku. "Lo kenapa?" Tanya nya.

"Gue mau balik ke kelas." Ucap Sema. Nadanya tegas.

"Ya, yaudah." Balas Desta. Sema mencebik kemudian tatapannya tertuju pada tangan Desta yang masih menggenggamnya miliknya. Desta mengikuti arah pandang itu, lantas cepat-cepat melepaskan pegangannya. Wajahnya berubah kikuk, merah sampai telinga. Hal itu membuat Sema tertawa keras.

"Kenapa Lo?"

"Nggak apa-apa."

"Ayo ke kantin." Desta berjalan lebih dahulu menuruni anak tangga terakhir. "Tapi Gue kan mau ke kelas." Sahut Sema yang masih tetap dalam posisinya tadi. Desta mengerjap dua kali, ia membalikkan badan. "Jadi Lo kesini bukan mau ngajak Gue ke kantin?" Tanya nya kelewat santai, bahkan menerbitkan senyuman kecil seperti mengejek.

"Enggak."

Desta manggut-manggut dengan mulut membentuk huruf 'O'

"Tapi kalo Lo maksa, yaudah ayo." Gadis itu menuruni tiga anak tangga terakhir hingga tepat berada di samping pemuda itu. Desta memperhatikan dengan seksama membuat Sema menciut nyali nya. "Ayo!" Sema berjalan lebih dulu tetapi baru beberapa langkah sudah berbalik lagi.

"Ayo Desta keburu seblak nya habis!"

"Iyaaa." Desta mengikuti langkah gadis itu. Walaupun Sema berjalan lebih dulu, pun langkahnya dibuat cepat tetap saja selalu berakhir beriringan dengan Desta. Kaki pemuda itu kelewat jenjang, tidak perlu melangkah cepat seperti Sema pemuda itu selalu bisa menyusul Sema.

Akhir-akhir ini empat remaja yang menjadi topik panas pembicaraan mulai pudar. Entah bosan atau bagaimana. Yang jelas saat Sema bersama Desta, gadis itu tak pernah mendengar bisik-bisik memekik. Tak juga harus menelan pahit-pahit ucapan dari orang luar. Mereka tau apa memangnya?

Keduanya kini telah sampai di kantin yang sesak. Kali ini keberuntungan tak berpihak pada mereka karena kursi kantin yang semuanya penuh. Sema mendesah kecewa, tidak dapat menikmati seblak yang ia inginkan.

"Sekarang gimana?" Tanya nya pada Desta. Ya gimana lagi, Desta juga bingung sebenarnya. "Pesen, makan di kelas." Ucapnya. Sema mengangguk, ia kini mengantri untuk memesan. Tujuannya tak lagi seblak, diganti menjadi siomay saja biar mudah makannya.

Beberapa saat kemudian keduanya telah membawa makanan masing-masing. Kembali berjalan beriringan dalam hening. Keduanya sibuk pada pikiran masing-masing. Desta mengentikan langkahnya tepat pada undakan tangga pertama. Dilihatnya langkah mungil yang senantiasa mengikutinya kini turut berhenti.

Ditatap begitu membuat Sema bingung. "Kenapa berhenti?" Tanya sang gadis dengan siomay dan es coklat kesukaannya. Kedua tangannya penuh. "Lo mau kemana?" Tanya Desta. Pemuda itu menenteng makanan dan minumnya dalam satu tangan.

"Makan. Katanya makan di kelas." Desta kini sedikit memiringkan kepalanya, alisnya naik sebelah. "Lo mau makan di kelas Gue?" Sema cukup sadar setelah mengerjap berulang kali. Gadis itu mengubah arah. "Gue mau ke kelas." Ucapnya walau ketara sekali gugupnya.

Dengan ragu gadis itu melangkah, menjauhi Desta. Kemana saja, jantungnya sedang berkecamuk. Antara malu dan bingung dengan dirinya sendiri. Pandangannya menunduk, tak sanggup menatap orang-orang. Mungkin begitu, sampai mata nya menangkap sepasang sepatu yang membuatnya mendongak.

"Ngapain?" Tanya Sema, gadis itu menghentikan langkahnya. "Makan di bangku taman. Kelas ada AC nya." Ujarnya.

Sema mengangguk, Desta memang tak langsung mengajaknya namun dari kalimat remaja itu jelas ada unsur mengajak walaupun tersirat. Keduanya kembali berjalan menuju salah satu bangku taman. Dari sini, teriknya matahari menerpa. Untung tertutup pohon rimbun. Angin sepoi-sepoi turut menerbangkan dedaunan kering. Pemandangan yang pas untuk mereka melepas lapar dengan makanan masing-masing.

Seperti biasa, Desta hening menikmati makanannya. Sema juga sudah terbiasa, sembari terus mengunyah pikirannya ia alihkan untuk menciptakan teori-teori baru, sangat random tapi biasanya gadis itu akan berfikir semacam itu jika sedang bosan.

Dari tempat mereka duduk, mereka dapat menyaksikan hiruk pikuk sekolahan. Mulai dari siswa yang berpacaran di pojok. Yang sedang mengobrol di koridor. Sampai yang sedang berjalan di lorong. Dari sini pula terlihat lapangan basket. Hanya ada beberapa orang yang tengah gabut memainkan bola besar tersenyum.

Pokoknya semuanya tak luput dari mata Sema hingga somay terakhirnya berhasil lolos melalui mulutnya. Ditutup dengan es coklat yang manis nan segar. Selama bermenit-menit itu mereka makan tanpa suara.

"Nanti malem Gue harus dateng jam berapa?" Merasa diajak bicara Sema pun menoleh. Mendapati pemuda itu tengah memasukan sampah bungkus makanan ke dalam kresek. "Jam tujuh." Jawab Sema.

"Kenapa?" Tanya gadis itu berusaha memperpanjang topik pembicaraan. Jam istirahat kira-kira masih dua puluh menit lagi. Masih lama, untuk sekedar berbincang dengan pemuda yang akhir-akhir ini menjadi dekat dengannya. Tidak terlalu dekat sih, tidak juga spesial. Hanya saja daripada dulu sekarang lebih mending.

"Gue ada les seni lukis." Ucap pemuda itu jujur. Terlihat raut kecewa dari Sema. "Jadi Lo nggak bisa?" Tanya gadis itu. Sejujurnya tadi pagi ia sudah melihat sang Mama membeli bahan masakan begitu banyak. Jelas sekali sang Mama ingin berterimakasih kepada Desta atas pertolongan Desta waktu itu.

"Gue nggak bilang gitu." Desta tergerak menjadikan satu sampah miliknya dan Sema, lalu membuangnya pada tempat sampah di dekat mereka.

"Maksudnya Lo bisa dateng?" Sema memperhatikan yang dilakukan pemuda itu.

"Kayaknya."

Sema berdecak kesal. "kok plinplan gitu sih. Ntar Mama kalo udah masak banyak gimana?" Tanya Sema agak emosi.

"Ya tinggal delivery rumah Gue lah." Jawaban Desta membuat Sema semakin kesal. Padahal kemarin Desta bilang pasti datang.

"Mau kemana?" Tanya Desta kala Sema berdiri dari duduknya. "Mau ke kelas." Ucapnya enggan berbalik.

Dari tempat duduk Desta, pemuda itu melihat punggung mungil yang kian menjauh. Rambut yang diikat bergoyang-goyang seiring dengan langkah cepat di pemilik. Lagi-lagi untuk kesekian kali, senyum tipis tertarik tanpa sadar.

SEMESTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang