17. Joging

18 3 0
                                    

Hari Minggu, hari paling menyenangkan dari tujuh hari lainnya menurut beberapa orang. Beberapa aktivitas memang libur pada hari Minggu membuat jalanan kota semakin padat dengan kendaraan besi. Taman-taman penuh, bahkan di taman komplek dekat perumahan Sema. Biasanya dipenuhi oleh pasangan yang hendak joging pagi. Sekalian bucin begitu maksudnya. Lumayan untuk bahan instastory.

"Ma, Sema nyamperin Haru dulu ya." Pamit Sema kepada sang Mama yang tengah menyirami tanaman di depan rumah. Sembari mengikat tali sepatu olahraga, gadis itu nampak cantik dengan jaket pink pastel dan celana training, tak lupa kaos berwarna putih polos.

"Kok tumben? Biasanya Haru yang kesini?" Tanya Mama Sema. Heran saja dengan keanehan pagi ini. Terutama Sema, gadis itu baru sampai di rumah jam sembilan malam kemarin. Tidak lelah apa ya? Sudah siap pukul enam pagi, mau pergi ke rumah Haru. Biasanya sih jam segini Haru yang sudah ketok-ketok pintu dan Sema yang masih ingin tidur tapi dipaksa joging bersama. Biar sehat.

"Ngambek dia Ma." Jelas Sema membuat Mama nya mengangguk.

"Naik apa?" Tanya Mama.

"Ojek online, udah nunggu depan rumah." Jawab Sema. Setelah pamit, ia segera melesat menuju tempat tujuannya kali ini.

Rumah besar Pak Heru Radhika.

Kira-kira sepuluh menit, kaki Sema sudah menapak pada halaman rumah besar itu. Ia tak takut sekalipun karena memang sudah terbiasa. Bahkan menginap disini pun pernah. Sampai-sampai ada kamar khusus untuk Sema di rumah ini, itupun atas permintaan Haru ketika sakit dulu. Inginnya di dekat sahabatnya terus, tanpa peduli Sema punya rumah dan orang tua sendiri. Pak Heru sampai pernah ingin mengadopsi Sema, tapi melihat bagaimana hubungan mereka sekarang membuat Pak Heru urung. Daripada mengadopsi, ia sudah punya rencana lain. Menjadikan Sema mantu nya. Like father like son.

Sema menekan bel di depan rumah. Dua kali sampai pintu besar itu terbuka dari dalam.

"Pas banget pawangnya datang." Sapa wanita paruh baya itu pertama kali melihat Sema di depan pintu. Sema mengerutkan keningnya lantaran bingung. "Ayo masuk Sema, Tante udah nyerah bangunin Haru. Cuma kamu satu-satunya harapan Tante." Ucap wanita itu, Tante Gina yang tak lain tak bukan adalah ibu negara nya Haru. Istrinya bapak Heru. Wanita itu masih cantik bahkan di umurnya yang menginjak kepala tiga.

Sema mengikuti langkah wanita itu sampai di depan pintu bercat putih. Di depannya ada sebuah lukisan kecil tentang planet. Lumayan cantik, Sema yang membelinya waktu mereka masih SD dulu. Sema ingat betul ia menabung selama satu Minggu untuk memberikan hadiah ulang tahun Haru. Sampai sebesar sekarang Haru masih meletakkan lukisan itu di depan pintu. Agar semua orang bisa melihatnya.

"Tante ke bawah dulu ya, kalo Haru udah bangun, Sema langsung makan di bawah. Oke cantik?" Tante Gina membelai singkat wajah Sema, Sema tersenyum menanggapi.

Setelah menghela napas, Sema segera membuka pintu kamar Haru. Bau khas pemuda itu langsung menyambut Indra penciumannya. Memberikan efek tersendiri bagi gadis itu. Sementara si pemilik kamar masih berada dalam dekapan selimutnya. Dengan posisi memeluk guling, Haru agaknya masih enggan bangun.

Sema tak langsung membangunkan Haru. Gadis itu menuju arah jendela, lalu membuka semua gorden hingga cahaya matahari pagi ini dapat menerobos masuk dalam kamar bernuansa maskulin itu.

"Ma, Haru masih ngantuk." Rancau pemuda kala tidurnya terganggu, suara yang serak kian memberat. Ia menutup kepalanya dengan selimut. Menghalangi cahaya yang menerobos wajahnya.

Sema duduk di tepi ranjang, menggoyangkan badan Haru pelan. "Haru ayo bangun!" Ucapnya. Sementara di dalam selimut, pemuda itu langsung membuka matanya saat tau suara itu bukan berasal dari Mama nya, melainkan Sema.

Haru ingin langsung bangun tetapi ia ingat ia sedang merajuk. Jadi ia memilih berbalik badan memunggungi gadis itu.

"Maaf." Ucap Sema lirih. Namun Haru enggan berbalik badan membuat Sema sedikit jengkel. "Haru!" Panggilnya lagi tak lupa mengguncang pelan tubuh Haru.

"Ayo dong bangun, kita joging." Ajak Sema.  Haru bergeming dibalik selimut.

"Gue lagi nggak mood joging." Sahut Haru membuat Sema berdecak. Gadis itu ingin kembali bersuara sampai teleponnya berdering. Sema mengerutkan keningnya, kala nama 'Desta' mengisi layar ponselnya. Senyuman gadis itu terbit setelahnya. Lebih ke arah senyuman jahil sebenarnya.

Tanpa pikir panjang lagi Sema segera mengangkat telepon itu.

"Halo Desta! Ada apa?" Sapa Sema, membuat Pemuda yang masih di dalam selimut kembali membuka matanya. Ia membuka telinganya untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

"Kepencet, sorry."

"Joging? Sekarang?"

"Hah? Maksud Lo apaan?"

"Di taman kota?"

"Ngapain ke taman kota?"

"Eum, gimana ya, oke deh."

"Nggak jelas Lo."

"Nggak usah jemput Gue, ini Gue udah otw kesana kok."

"Otw kemana? Apaan sih Lo?"

"Iya kok nggak apa-apa nggak usah dijemput. Bye Desta."

"Maksudnya apa—"

Tittt.

Sema mematikan secara sepihak. Menahan dirinya sendiri. Ia tidak yakin setelah ini mampu melihat wajah Desta lagi.

Sema beranjak setelahnya, tetapi ia terduduk lagi karena sebuah tarikan cukup keras hingga membuat gadis itu terhuyung menimpa Haru. Sema tersenyum kecil, tidak sia-sia ia merelakan sedikit harga dirinya di depan Desta.

Haru menyibakkan selimut dengan wajah masam pertama kali terlihat setelah selimut terbuka. "Mau kemana?" Tanya Haru. Pemuda itu semakin kesal ketika mendengar ucapan Sema dan mayat hidup di telepon. Ia memang tak mendengarkan ucapan Desta tapi ia kan mendengar suara Sema.

"Joging lah." Jawab Sema enteng, tidak peduli wajah Haru semakin masam setelahnya.

"Yaudah tungguin, Gue mandi bentar." Haru bangkit dari ranjang.

"Ngapain? Katanya nggak mood joging. Lagian Gue juga udah diajak sama Desta." Ujar Sema. Diajak sama Desta apanya, Haru mudah sekali dibohongi. Kasihan.

Pemuda itu malah berjalan ke arah pintu, lalu memutar kunci dan mencabut kunci dari pintunya. "Diem disini, tungguin Gue." Ujar pemuda itu dingin, tak lupa membawa kunci itu bersamanya.

Ngeri juga kalau dilihat. Tapi kan yang penting misi nya berhasil.

Sementara Haru sedang bersiap, Sema menatap ponselnya, tepat pada roomchat milik Desta. Chat, tidak, chat, tidak, chat, tidak. Dua kata itu terus berputar pada benak Sema. Hingga pada akhirnya dengan sedikit menahan gengsi Sema memberikan penjelasan terkait tadi.

DESTA 'IPA

|Maaf ya, tadi itu Gue terpaksa.

Hanya itu kalimat penjelasan yang dimaksud Sema. Ia menanti cemas jawaban pemuda itu. Semoga tidak bertanya yang aneh-aneh.

Tapi setelah dering notifikasi berbunyi, Sema menghela napas lega. Ada untungnya Desta bersifat dingin.

DESTA 'IPA

|Maaf ya, tadi Gue terpaksa.

|Y

SEMESTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang